Tempe Bacem Mbok Dar

209 views

Lho, saya ‘kan tadi ngasih uang lima puluh ribu. Masa kembaliannya cuma segini?” ucap salah seorang pembeli tempe bacem Mbok Dar di Pasar Pon bersungut-sungut.

Mbok Dar celingukan. Seingatnya, orang itu membayar dengan uang dua lembar sepuluh ribuan. Sedari pagi ia berjualan, belum ada yang membayar dengan uang lima puluh ribuan. Mbok Dar mencoba mencari-cari dalam keresek tempat ia menaruh uang. Tidak ada selembar pun uang lima puluh ribu di sana.

Advertisements

“Tapi di sini nggak ada uang lima puluh,” Mbok Dar membela diri sembari menunjukkan kantung keresek-nya.

Seingat Mbok Dar orang itu membeli tempe bacem senilai lima belas ribu, dan ia membayar dengan dua lembar sepuluh ribuan. Namun saat Mbok Dar memberikan kembalian lima ribu, orang itu langsung mencak-mencak mengatakan uangnya sebesar lima puluh ribu.

Nggak usah pura-pura nggak tahu, Mbok. Pokoknya saya minta kembalian tiga puluh lima!”

Pembeli tempe bacem Mbok Dar itu tetap ngotot bahwa uang yang ia berikan sebesar lima puluh ribu. Banyak yang mencibir Mbok Dar dan mengatakan ia berjualan dengan cara tidak jujur. Akhirnya, Mbok Dar mengembalikan uang orang itu sesuai apa yang dimintanya.

“Ada apa to, Mbok, kok rame-rame?” Yu Titik, sesama penjual di Pasar Pon bertanya pada Mbok Dar.

“Bukan apa-apa. Tadi saya cuma lupa ngasih kembalian. Lha wong sudah tua, kadang-kadang pikun,” sejurus dengan itu Mbok Dar terkekeh kecil. Ia memaklumi, barang kali dirinyalah yang salah.

Darminah namanya. Namun, ia beken dengan nama Mbok Dar. Mbok Dar sudah tidak ingat sejak kapan berjualan tempe bacem. Tetapi yang pasti, saat kerusuhan 98 ia sudah berjualan, bahkan jauh sebelum itu.

Mbok Dar hanya berjualan tempe bacem saat pasaran Pon tiba. Sesuai namanya, tempat berjualan Mbok Dar Pasar Pon yang hanya buka pada saat pasaran Pon. Selain pasaran Pon, Mbok Dar membuat tempe, kemudian dijual ke tetangganya, dan sisanya untuk dibuat bacem.

***

“Ning Sari nggak mau minum air gula, Mbok. Dari tadi nangis terus,” ucap Karjo, suami Mbok Dar.

Mbok Dar yang baru saja pulang dari pasar, langsung disambut tangisan Ning Sari, cucunya. Ning Sari yang baru berusia satu tahun tiga bulan harus ditinggal orang tuanya merantau di negeri orang, dan kini ia tinggal bersama simbok dan mbah kung-nya.

Ketika Mbok Dar berjualan di pasar, Karjo yang menggantikan Mbok Dar menjaga cucunya. Pun bila Karjo menggarap sawah tetangga, Mbok Dar yang menjaga Ning Sari.

Gimana, Mbok, jualan hari ini?” tanya Karjo sesaat setelah Ning Sari berhenti menangis di pangkuan Mbok Dar.

“Alhamdulillah, sedikit banyak ya disyukuri, Kung,” jawab Mbok Dar.

Mbok Dar tidak berniat menceritakan pada suaminya perihal apa yang ia alami di pasar tadi. Biar pun seandainya dirinya yang benar, Mbok Dar sudah mengikhlaskan dan memaafkan.

Mbok Dar mengusap pelan dahi cucunya. Ia tak tega dengan Ning Sari yang terus merengek ketika diberi air gula. Begitulah, Ning Sari yang seharusnya masih diberikan asi atau susu formula, tapi ia hanya diberi minum air gula. Mbok Dar hanya akan membelikan Ning Sari susu saat mendapat keuntungan lebih dari penjualan tempenya. Sebab, keuangan yang pas-pasan memaksa Mbok Dar memangkas uang untuk beli susu.

“Kalau ada uang lebih mending dibelikan susu aja, Mbok. Kasihan itu,” ujar Karjo beberapa saat kemudian.

“Utangku ke warung Yu Mar belum juga dibayar. Simbok sudah janji bayar hari ini,” balas Mbok Dar lirih. Lagi-lagi ia belum mampu membelikan susu untuk Ning Sari.

“Insyaallah, Pon depan simbok akan belikan susu,” tukas Mbok Dar.

***

Pagi-pagi sekali Mbok Dar sudah menggendong senik berisi dua baskom tempe bacem. Langkahnya pasti, untuk menjemput rezeki. Namun, selama perjalanan, Mbok Dar hanya menemui jalanan lengang. Hampir tidak ada aktivitas warga di luar rumah.

Mbok Dar tidak patah semangat. Barang kali rezekinya ada di pasar. Sesampainya di pasar, tak ada kegiatan jual beli satu pun. Pasar melompong. Hanya ada lapak kosong yang ditinggal penjualnya.

Bibir Mbok Dar berkomat-kamit. Jarinya seperti digunakan berhitung. Ia mencoba mengingat-ingat pasaran hari ini. Barang kali dirinya lupa kalau hari ini bukan pasaran Pon. Namun, sudah dihitung berkali-kali, hasilnya masih sama: hari ini pasarannya Pon.

Hari semakin siang. Pasar masih sepi. Dua baskom tempe bacem Mbok Dar belum berkurang satu pun. Tetapi Mbok Dar belum juga beranjak. Ia masih yakin, Allah akan mendatangkan pembeli untuknya.

Hingga azan Zuhur berkumandang, belum ada yang membeli tempe bacem Mbok Dar. Ia memutuskan untuk mengambil wudu kemudian melaksanakan salat Zuhur. Dalam sujudnya, Mbok Dar terus berikhtiar agar Allah membukakan pintu rezeki untuknya.

Usai salat, Mbok Dar kembali ke lapaknya. Ia menatap nanar dua baskom tempe bacem itu. Tidak biasanya seperti ini. Dalam benaknya Mbok Dar bertanya-tanya: ke mana orang-orang di pasar? Akankah mereka lupa bahwa hari ini pasarannya Pon?

Di tengah lamunan Mbok Dar, dari kejauhan tampak dua orang laki-laki berseragam menghampirinya. Wajah muramnya berubah menjadi senyum semringah. Boleh jadi dua orang itu adalah pembeli yang digerakkan hatinya oleh Allah.

Matur nuwun, Gusti Allah,” ucap Mbok Dar lirih.

Benar saja, doa orang laki-laki berseragam itu menghampiri Mbok Dar.

“Embah sedang apa di sini?” tanya salah seorang dari dua orang tersebut.

“Jualan, Pak. Dari pagi belum ada satu pun yang beli tempe bacem saya,” balas Mbok Dar dengan masih menyunggingkan senyum.

“Saat ini sedang dilakukan PPKM, Mbah. Pasar ini juga sedang disterilkan untuk beberapa hari ke depan. Tidak boleh ada aktivitas di sini,” lanjut laki-laki tersebut.

“Embah sudah melanggar peraturan dan melanggar protokol kesehatan dengan tidak memakai masker. Sekarang embah ikut kami ke kantor,” ujar salah seorang lainnya.

Dua orang laki-laki berseragam tersebut tidak lain adalah petugas keamanan. Salah satu dari mereka langsung membawa Mbok Dar ke kantornya untuk dijatuhi sanksi. Satu lainnya memanggul senik Mbok Dar.

Mbok Dar tercekat. Dengkulnya lemas. Mbok Dar tak lagi mendengar mereka berkata. Gendang telinganya penuh dijejali tangisan Ning Sari yang harus minum air gula lagi.

***

Yogyakarta, Agustus 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan