Tentang Kontroversi Tafsir-tafsir al-Razi

151 kali dibaca

Imam Fakhr al-Din al-Razi adalah seorang mufassir dan filsuf terkemuka pada abad ke-12. Ia dikenal dengan pemikirannya yang mendalam mengenai teologi dan tafsir. Karya-karyanya, terutama Al-Tafsir al-Kabir dan Al-Mahsul, tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan dan  pengetahuan Islam, tetapi juga menimbulkan berbagai kontroversi.

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya memang menempuh jalan berbeda dengan para pendahulunya. Yang dilakukannya seperti sebuah transformasi tafsir. Karena, dalam tafsirnya, al-Razi kerap  menggabungkan hal yang bersifat kalam dengan filsafat dan mantik. (Abd al-Fattah Lasyin. [t.t.]. Balagah AlQur’an fi Asar Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. Cairo: Matba’ah Dar al-Qur’an. hlm. 727).

Advertisements

Pandangannya yang sangat kritis terhadap beberapa aspek dari dogma Islam, seperti akidah, keadilan Tuhan, dan otoritas hadis, sering dianggap radikal oleh kalangan tradisionalis. Tidak sedikit argumen dan komentarnya yang oleh tidak dipahami dengan tepat oleh masyarakat kebanyakan. Karena itu, karya tafsirnya kadang dianggap bertentangan dengan pandangan mainstream.

Imam Al-Razi memang dikenal karena pendekatan rasionalnya dalam teologi. Salah satu pandangannya yang paling kontroversial adalah analisisnya tentang hubungan antara iman dan amal.

Dalam Al-Tafsir al-Kabir, Al-Razi berargumen bahwa iman dan amal tidak selalu harus berjalan bersamaan dalam setiap kasus. Ia menulis: “Iman dan amal bukanlah dua hal yang selalu terikat secara langsung. Terkadang seseorang mungkin memiliki iman tanpa amal, dan amal tanpa iman, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan keberadaan Tuhan dan kesadaran manusia terhadap-Nya.” (Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Jilid 5, hal. 123).

Pandangan ini bertentangan dengan banyak pandangan tradisional yang menganggap iman dan amal sebagai dua aspek yang tidak terpisahkan. Al-Razi berpendapat bahwa iman yang benar mungkin ada tanpa amal, terutama dalam konteks pengetahuan dan pemahaman tentang Tuhan.

Dalam Al-Tafsir al-Kabir, Al-Razi juga membahas masalah keadilan Tuhan dengan cara yang memicu perdebatan. Ia mempertanyakan pandangan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bentuk keadilan Tuhan.

Al-Razi pernah berdebat dengan kalangan Mu’tazilah tentang perbuatan manusia. Ia berargumen, “Jika ketaatan sesuai dengan Kehendak Allah, apakah yang melakukan menginginkannya? Jika dia tidak menginginkannya, maka ketaatan bukan sesuai kehendak, karena ini bisa bermakna bahwa kadang-kadang Allah memerintahkan sesuatu yang tidak sesuai kehendak. (Lebih lanjut lihat, Fakhruddin Al-Razi. Vol. 10. hlm. 127-128).

Sehingga, al-Razi menulis, “Keberadaan penderitaan dan kejahatan di dunia tidak selalu dapat dianggap sebagai manifestasi keadilan Tuhan. Kita harus mempertimbangkan bahwa ada aspek-aspek dari keadilan yang mungkin tidak sepenuhnya kita pahami.” (Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Jilid 2, hal. 456).

Pernyataan ini memicu kontroversi karena ia menantang pandangan umum bahwa keadilan Tuhan meliputi segala sesuatu yang terjadi, termasuk penderitaan manusia. Ini menunjukkan pendekatan al-Razi yang rasional dan kritis terhadap masalah teologis.

Al-Razi juga dikenal dengan sikap kritisnya terhadap beberapa riwayat hadis. Dalam Al-Mahsul, ia menyatakan, “Hadis-hadis yang tidak memiliki sanad yang kuat atau dianggap lemah tidak bisa dijadikan dasar hukum tanpa analisis mendalam. Kita harus berhati-hati dalam menerima hadis yang tidak memenuhi standar autentisitas.” (Al-Razi, Al-Mahsul, Jilid 3, hal. 89).

Pandangannya ini juga tidak kalah kontroversinya di kalangan banyak ulama yang sangat menghargai hadis sebagai sumber utama ajaran Islam. Kritiknya terhadap hadis yang dianggap lemah sering kali dipandang sebagai tantangan terhadap metode tradisional dalam menetapkan hukum Islam.

Al-Razi juga terkenal dengan penafsirannya yang sering kali berbeda dari pandangan mainstream. Dalam tafsirnya, ia menggunakan pendekatan rasional dan filosofis untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Misalnya, mengenai ayat Qul huwallahu ahad (Surah Al-Ikhlas), ia berkomentar, “Ayat ini tidak hanya menyatakan keesaan Tuhan secara literal, tetapi juga mencerminkan konsep filosofis tentang keesaan yang tidak terpisahkan. Penafsiran ini harus mempertimbangkan konteks rasional dan metafisik dari keesaan Tuhan.” (Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Jilid 8, hal. 321).

Interpretasi ini menunjukkan bagaimana al-Razi berusaha untuk menggabungkan pemahaman filosofis dengan ajaran agama, yang kadang-kadang bertentangan dengan tafsir tradisional yang lebih literal.

Dalam karyanya yang lain, al-Razi juga mengkritik beberapa pandangan filsafat Yunani yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam Al-Mahsul, ia mengatakan, “Filsafat Yunani, meskipun memberikan kontribusi penting, tidak selalu sejalan dengan ajaran Islam. Beberapa prinsipnya harus ditinjau ulang untuk memastikan kesesuaiannya dengan wahyu dan akal sehat.” (Al-Razi, Al-Mahsul, Jilid 4, hal. 145).

Komentar ini mencerminkan sikap kritisnya terhadap penggunaan filsafat dalam teologi Islam. Ini menunjukkan upaya al-Razi untuk menyeimbangkan antara logika dan wahyu.

Imam al-Razi merupakan seorang pemikir yang berani menantang tradisi dengan pendekatan rasional dan kritis terhadap berbagai aspek dari dogma Islam. Pandangannya tentang akidah, keadilan Tuhan, hadis, tafsir, dan filsafat Yunani telah menimbulkan berbagai kontroversi, namun juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam.

Meskipun banyak pandangan kritisnya dianggap radikal oleh beberapa kalangan, kontribusinya dalam memperluas cakrawala pemikiran teologis dan filosofis Islam tetap dihargai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan