Awal abad ke-19 menjadi pintu masuk industrialisasi di Barat. Tentu, ini berkaitan erat dengan awal mula bangkitnya konsumerisme. Yang dalam bahasa Karl Max diasumsikan bahwa kepemilikan atas alat-alat produksi mampu mendikte kesadaran manusia. Lebih jauh, Karl Max mengatakan bahwa tujuan dari kapitalisme hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dari industri (pemodal). Maka, cara yang digunakan sudah jelas, dengan menjadikan pekerja (buruh) sebagai objek yang harus dieksploitasi dan diperas hak-hak kebebasannya.
Jadi, seperti yang dikatakan S Nurist dalam Posmodernisme dan Budaya Konsumen (2018), bahwa untuk mendapat nilai surplus (dalam hal ini uang), jalannya diperoleh dari hasil penjualan produk yang dijadikan sebagai komoditas. Titik tekan dari industri lebih kepada hasil yang diperoleh dari kerja keras buruh, kemudian hasil itu ditawarkan kepada khalayak umum untuk memperoleh akumulasi kekayaan. Tentu ini berbeda dengan Jean Baudrillard, yang lebih tertarik pada komsumsi sebagai sesuatu yang penting dari aktivitas ekonomi, bukan lagi produksi seperti yang diwacanakan oleh Karl Max.
Kebiasaan masyarakat untuk memuaskan keinginan dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan dari pola konsumtif. Maka, wajar bila tidak bermazhab pada kebutuhan yang ada, hal ini menjadi sesuatu yang paling urgen untuk ditelaah lebih lanjut. Karena, bagaimanapun, ketika lebih mengedepankan keinginan dan bukan kebutuhan, justru mematikan rasionalitas, kebuntuan berpikir, dan tidak bisa membedakan antara yang nyata dengan yang hanya imajinatif. Bisa kita lihat di sekitar, dalam kehidupan masyarakat perkotaan, misalnya.
Jean Baudrillard akhirnya memetakan ciri-ciri dari masyarakat konsumeris, sebagai masyarakat yang di dalamnya sudah banyak terjadi penyimpangan logika konsumsi. Yang artinya, bahwa ada perpindahan dari logika kebutuhan menuju logika hasrat. Inilah yang menjadi tren dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Meskipun, di sisi lain, kita tahu bahwa masyarakat perkotaan identik dengan masyakarat yang berpikir rasional, modern, dan tentu mempunyai kecepatan tinggi dalam melakukan aktivitas apa pun. Tetapi, hal ini justru menjadi pintu masuk dalam lingkaran konsumerisme.
Fenomena seperti ini mengilhami Jean Baudrillard dalam menghadirkan kerangka berpikir, bahwa dalam logika sosial, konsumsi hanya fokus terhadap produksi dan manipulasi atas penanda sosial, tidak pernah terlintas sedikit pun yang mengarah pada pemanfaatan atas nilai guna suatu barang dan jasa yang digunakan oleh individu (Ritzer, dalam Baudrillard, 2006). Inilah peta kehidupan masyarakat yang dipotret oleh Baudrillard, sebuah kehidupan postmodern yang disebut sebagai hiperealitas. Media cetak dan media online tidak bisa menghadirkan realitas yang nyata, melainkan hadir dalam kerangka menjelma realitas itu sendiri atau bahkan bisa lebih nyata dari realitas yang ada.
Media mampu menjebak masyarakat komsumerisme di perkotaan untuk terus menikmati hidangan iklan, promo, dan aneka ragam macam produk baru hadir dalam genggaman dunia virtual ataupun cetak. Pertarungan kapital di atas malah menjadikan fenomena semacam ini sebagai ajang untuk mempromosikan produknya lewat iklan-iklan dan promosi di platform digital. Karena bagaimapun, masyarakat modern tidak bisa lepas dari kehidupan dunia maya. Jadi akses terhadap produk baru yang kadang masih belum diproduksi bisa diketahui hanya lewat sentuhan jari-jari. Baudrillard mengatakannya sebagai hiperealitas, yang tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, atau nyata dan mitos.
Diakui atau tidak, kehidupan masyarakat perkotaan sudah berada dalam ruang yang bias. Perbedaan antara sesuatu yang nyata dan mitos jadi kabur. Masyarakat perkotaan setiap waktu dibanjiri oleh citra informasi. Sehingga mampu membuat simulasi dan citra menjadi impian yang diminati dalam kebudayaan masyarakat postmodern. Simulasi menjadi hal penting dalam membentuk hiperealitas, dalam hal ini sejak dalam platform media sosial, mall, restoran, dan tempat-tempat hiburan yang dekat dengan masyarakat perkotaan menyajikan sesuatu yang menarik dan mempunyai daya tawar tinggi.
Dalam salah satu teorinya, Charles H Cooley lebih menekankan terhadap peranan interaksi. Bagi Charles, self concept seseorang tumbuh melewati jalur persinggungan dengan indvidu atau kelompok lain. Hal ini yang disebut dengan looking-glass self.
Looking-glass self bisa terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, membayangkan bagaimana penampilan kita di hadapan yang lain. Kedua, membayangkan bagaimana penilaian orang tersebut terhadap penampilan kita. Ketiga, membayangkan semacam ada perasaan bangga, malu, dan merasa sudah naik kelas ataupun sebaliknya.
Hal semacam ini melahirkan persepsi atas perasaan tersebut dengan menampilkan sesuatu yang menarik versi iklan dan industri. Hal itulah yang sesungguhnya disebut mitos, atau sesuatu yang sesungguhnya tak nyata.