Pagebluk virus Corona menjadi tantangan keseharian umat manusia saat ini. Hadirnya wabah Covid-19 yang hampir genap berusia satu tahun membawa berbagai fenomena baru yang sebelumnya mungkin belum pernah dihadapi umat manusia.
Pandemi Covid-19 hingga saat ini (15/2) telah merenggut kematian sebanyak 2.394.323 jiwa dari berbagai kasus yang terjadi di seluruh dunia, dan 33.367 dari total korban di Indonesia. Curahan data tersebut menjadi titik atensi bagi kita dalam menyikapi wabah yang kian menggejala hingga detik ini.
Kita dapat menemui banyak aspek yang mengitari kehidupan sosial kemasyarakatan di lingkungan kita ketika pandemi berlangsung. Sebutlah perbincangan mengenai ranah dimensi teologis dalam aktualisasinya di masa musibah yang menimpa publik secara komunal.
Pada awalnya, sempat terjadi kontradiksi antar-beberapa elemen dalam merespons wabah yang diinisiasi dari pijakan keagamaan tertentu, dalam hal ini Islam. Seperti larangan operasional tempat ibadah, larangan membuat perkumpulan dan keramaian dalam suatu tempat.
Apabila kita menilik lebih dalam, sebenarnya bagaimana relativitas wacana teologis dalam menindaklanjuti fenomena alam seperti pagebluk? Dengan kata lain, pada tataran yang lebih komperehensif, bagaimana doktrin-doktrin yang mengemuka mengenai eksistensi agama dalam melakukan sinergi untuk menghadapi pandemi ini?
Teologi dalam Musibah
Menurut Lorens (1996), teologi adalah sebuah doktrin, kepercayaan, serta pemikiran-pemikiran dari golongan-golongan agamawan tertentu tentang Tuhan dan ajarannya. Pada term yang lain, teologi dapat diartikan sebagai fondasi bagi manusia beragama dalam membangun konsep ide dan gagasan dalam menjalani kehidupan.
Sedangkan, pada tulisan ini, teologi dapat didefinisikan sebagai metode (theological approach) ketika bersinggungan dengan fenomena-fenomena alam seperti musibah dan sebagainya.
Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya (vol. 7/ h. 430) memaparkan, bahwa musibah dalam perspektif agama (al-Quran) mempunyai varian yang bermacam-macam. Maksudnya, musibah yang menimpa manusia tidak hanya berupa kerusakan-kerusakan secara fisik berupa robohnya gedung, tidak tersedianya komoditas tertentu, dan sebagainya.
Akan tetapi, varian lain seperti serangan psikis/mental, rusaknya sistem sosial pun dapat dikatakan sebagai musibah. Ia melanjutkan bahwa musibah tidak akan terjadi melainkan atas kehendak Allah walaupun dalam perkara riil, musibah juga tidak terlepas dari tindakan manusia kepada lingkungan sekitarnya.
Prof Machasin, Guru Besar UIN Yogyakarta, dalam suatu seminar menjelaskan bahwa terdapat jarak dalam memaknai bencana sebagai peristiwa alam dan wacana keagamaan. Menurutnya, dua pemaknaan tersebut hingga saat ini dianggap seperti objek yang terpisah pada dua kutub berbeda oleh beberapa kalangan. Sehingga, pada produk konsepsinya akan melahirkan pemahaman bahwa musibah adalah semata-mata takdir dan kuasa Tuhan yang terlepas dari segala kemungkinan alamiahnya.
Pada kasus Covid-19, kita masih menemui sebagian kelompok yang tidak mengindahkan protokol kesehatan dengan dalih-dalih keagamaan. Hal ini tidak selamanya salah, namun menurut penulis hanya tidak tepat apabila dikontekstualisasikan pada pagebluk Covid-19 ataupun bencana alam lainnya.
Teks keagamaan yang berbicara bahwa bencana adalah sebuah takdir merupakan sebuah representasi untuk manusia untuk beradaptasi menghadapi tantangan dan ujian yang diberikan Allah. Ujian ini menggambarkan sebuah pancingan dari Tuhan agar manusia dapat melakukan transisi yang adaptif terhadap keadaan-keadaan yang baru.
Idealnya, seorang muslim harus bisa mengkombinasikan antara doktrin keagamaan yang dipegang teguh dan upaya-upaya riil dalam menghadapi pagebluk Covid-19. Kombinasi dua elemen fundamental ini akan menyongsong pemulihan dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai yang bersifat fisik maupun psikis.
Dari sini, kita akan termotivasi untuk bisa melalui masa pandemi ini tanpa restriksi-restriksi yang menghambat ibadah dalam suasana ditimpa musibah. Mudahnya, kalimat “Alhamdulillah” masih bisa terucap setelah kata “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un”
Wallahu A’lam.