Di pondok pesantren tentu tidak terdengar asing dengan istilah pegon. Guna memudahkan memahami makna kitab berbahasa Arab, selain dengan bantuan ilmu alat, dituangkannya pemaknaan di bawah setiap lafaz-lafaz redaksi kitab. Itulah pegob. Bahkan, ilmu alat turut dikolaborasikan dengan makna jawa supaya lebih memudahkan santri menyelaraskan makna dan memahamkan. Sebagai salah satu misal, mubtada’ disimbolkan dengan huruf mim yang dimaknai jawa dengan ‘utawi’.
Permulaan Mengenal Pegon
Masing-masing santri memiliki permulaan waktu yang berbeda dalam mengenal pegon. Santri dengan notabane sama sekali belum pernah mempelajari kitab klasik jawa, atau karena hanya sekolah umum sebelumnya, maka akan baru memulainya saat pertama kali masuk di pesantren. Ini akan menjadi suatu hal yang sangat baru dalam dunia belajarnya.
Tapi ada santri yang sebelum masuk pesantren telah memiliki bekal ilmu penulisan pegon. Ilmu itu didapatkan di lingkungan rumah tempat ia mengaji, baik musala, masjid, atau madrasah diniyah nduduk dari pesantren. Kecil-kecilan saja, seperti kitab Tarikh Nabi tentang sejarah Nabi, Fasalatan tentang ilmu fikih ibadah keseharian, Mitro Sejati tentang ilmu akhlak, Nahwu Jawan tentang ilmu nahu paling dasar, dan beberapa kitab jawa pegon lainnya.
Dua perbedaan latar belakang yang telah disebutkan, memicu mayoritas pesantren membuat kebijakan tes pegon bagi santri baru, untuk kemudian dipetakan kelas mengaji atau diniyah agar sesuai dengan kebutuhan setiap santri. Apabila santri tidak lolos tes pegon, maka akan dimasukkan kelas khusus pegon selama waktu yang ditentukan.
Kelas khusus pegon di pesantren, dalam beberapa kasus yang saya temui, adalah pengajaran secara teori, kemudian praktik soal-soal. Begitu siklusnya sampai santri benar-benar mampu memahami bagaimana cara menulis pegon.
Ada pula pada tahapan lebih lanjut, yaitu dengan cara imla’ atau menulis pegon yang diucapkan oleh pengajar (mendengar-menulis). Ini ditujukan untuk melatih ketangkasan memaknai kitab yang identik dengan mendengar-menulis.
Meski demikian, saya rasa, pembelajaran pegon secara teori dengan praktik menulis, hingga mendengar-menulis, efektivitasnya masih kurang sempurna. Kurang sempurna bukan berarti tidak bagus. Akan tetapi, ada salah satu metode pembelajaran yang ketinggalan atau kurang maksimal, yakni membaca. Kelas khusus pegon terlalu memfokuskan teori dan praktik tulis saja. Namun, praktik membiasakan membaca pegon terbilang kurang.
Pembelajaran Sejak Dini
Metode pembelajaran yang baik adalah terpenuhinya semua komponen literasi, seperti membaca, menulis, dan mendengarkan. Dalam kasus kelas pegon yang diperuntukkan bagi santri yang sama sekali belum pernah mengenal pegon, sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa praktik membaca kurang diimbangi. Fokusnya hanya memahami teori dan menulis. Atau dalam kata lain, metode yang digunakan adalah mendengarkan-menulis.
Mempelajari pegon melalui pembelajaran kitab-kitab kecil Jawa klasik seperti Tarikh Nabi, Mitro Sejati, Fasalatan, Nahwu Jawan, Syifaul Jinan, dan lain sebagainya sejak dini akan sangat efektif. Pembelajaran itu bisa diadakan di surau-surau, masjid, pesantren di desa, atau di mana pun tempat sekitar lingkungan tempat tinggal. Dapat dikatakan, cara seperti ini sebagai cara paling efektif mempelajari pegon secara berkelanjutan. Sebab, komponen literasi terpenuhi seluruhnya, seperti mendengarkan, membaca, dan menulis.
Keterbiasaan anak dalam mendengar, membaca, kemudian menulis, secara tidak langsung terekam ke dalam otak dengan lekat. Sebab teori saja tidak cukup untuk menumbuhkan kecakapan menulis pegon Jawa. Kecakapan tersebut akan bertumbuh dengan sendirinya seiring ia terbiasa memaknai kitab kuning. Tapi hal itu memerlukan waktu, tidak bisa dalam waktu sekejap.
Hal ini dikarenakan tulisan pegon jawa tidak semuanya disesuaikan dengan kaidah penulisan pegon sebagaimana teori yang diajarkan. Ada penulisan familiar, seperti kata ingsun, iku, ingatase, ingdalem, dan lainnya, yang ditulis dengan menyingkat pada bagian tertentu supaya lebih simpel sebab seringnya kata-kata itu muncul. Ada pula kata serapan, seperti kata Nabi, wudhu, salat, haji, dan lain sebagainya. Dua hal ini supaya menguasai dibutuhkan keterbiasaan santri berkecimung terhadap pegon.
Saya tidak menyalahkan adanya kelas pegon, namun memberikan solusi kepada calon santri yang hendak memasuki pesantren. Hal ini supaya santri mampu memaksimalkan kecakapan penulisan makna pegon Jawa sebagai komponen utama dalam metode pembelajaran di pesantren. Apabila di lingkungan tempat tinggal terdapat tempat mengaji yang mewadahi pembelajaran kitab Jawa Klasik, maka akan bagus memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar di tempat tersebut sebelum memasuki pesantren.
Akan tetapi, apabila di lingkungan tempat tinggal khususnya daerah perkotaan, tidak mewadahi pembelajaran kitab klasik di TPQ, masjid, musala, atau tempat lainnya, maka tidak ada kata terlambat mempelajari pegon. Pesantren telah mewadahi kelas pegon bagi para santri yang belum mendapatkan kesempatan mengenal pegon. Kuncinya adalah membiasakan mendengar, membaca, dan menulis, kemudian menjadi terbiasa.
Dengan demikian, mempelajari kitab Jawa klasik yang diadakan di surau-surau kecil, musala, masjid, maupun madrasah diniyah pesantren suatu pesantren di desa adalah cara jitu membentuk kecakapan santri sebelum mengembara masuk pesantren di luar daerah sendiri. Sebab, komponen literasi secara keseluruhan telah tercakup di dalamnya.