Mendengar berita bom bunuh diri di halaman Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3), cukup membuat saya merasakan dentuman di dada. Aksi yang dilakukan oleh sepasang suami-istri yang usia pernikahannya masih belum genap satu tahun, dan disusul dengan serangan teror di Mabes Polri, Rabu (31/3) mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Entah, agama apa yang menganjurkan untuk bunuh diri demi surga? Dan nabi siapakah yang mengajarkan membunuh kelompok yang agamanya tidak sama dengan kita?
Saya jadi teringat kisah yang cukup menarik, ketika Abu Hurairah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. “Ya Rasulullah, berdoalah supaya orang-orang musyrik itu celaka.” Kemudian, Nabi menjawab: “Sesungguhnya, aku tidak diutus sebagai tukang laknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).
Nabi, dengan belas kasihnya telah mengajarkan pada kita untuk selalu bersikap baik pada sesama makhluk Tuhan. Lebih-lebih terhadap manusia, selagi dia tidak membahayakan nyawa kita, tidak ada alasan untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Sederhananya, yang dikatakan Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah tidak menyakiti, apalagi membunuh, atas dasar keangkuhan sendiri.
Agama cenderung melahirkan mimpi-mimpi buruk, bagi mereka yang hanya fokus pada subyektivitas personal. Benih-benih keangkuhan dalam beragama kadang menjebak pemeluknya memiliki identitas kebenaran tunggal, dalam hal ini menciptakan kesakralan pada agama dan abai pada identitas lain. Jebakan-jebakan semacam inilah yang melahirkan semacam aksi-aksi teror di kehidupan masyarakat kita.
Saya akan mengutip pendapat Ahmad Najib Burhani dalam Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu (2001), mengenai sikap keberagamaan kita yang lebih dekat pada perpecahan, pertengkaran dan lebih-lebih menetaskan pertumpahan darah.
Fenomena semacam ini setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu, pertama, pendewaan agama. Manusia sering terjangkit virus untuk mendewakan agama, istilah-istilah yang diadopsi dari agama dan pemeluk agama. Menarik sebenarnya melihat agama yang hanya menjadi jargon-jargon pihak tertentu, cara beragama yang kaku, dan melupakan agama sebagai amalan dan ajaran yang ramah. Sehingga timbul sarkasme dari pandangan yang salah tersebut. Yang dalam bahasa Najib disebut bahwa agama berfungsi sebagai markas mafia teroris, jaringan radikalis, dan memuculkan manipulasi agama.
Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Akhir-akhir ini, atau mungkin memang sejak dahulu, umat beragama sering terjebak pada in group feeling, apatis terhadap kelompok yang tidak dekat dengan dirinya. Akibat dari pemahaman seperti inilah bisa menimbulkan penilaian yang tidak objektif dalam memandang apa pun yang di luar kita. Padahal kita tahu, bahwa masyarakat atau individu memiliki identitas ganda, lebih-lebih di Indonesia. Dia bukan hanya umat beragama, tetapi juga warga negara dan mempunyai afiliasi dengan medium-medium lain.
Ketiga, monopoli kebenaran. Kadang-kadang doktrin tunggal atas kebenaran agama perlu, dan itu hanya dilakukan di lingkaran pemeluknya. Karena bagaimanapun, sebagai umat beragama kita mempunyai kewajiban mengamini terhadap kebenaran agama yang kita peluk. Tapi, pada kenyataannya, hal tersebut menyerempet pada doktrin agama lain. Seperti yang saya katakan di atas, bahwa masyarakat yang berada di luar kelompok agama kita disepelekan, dianggap sebagai orang yang membahayakan dan jika perlu harus dihabisi secara besar-besaran.
Dari tiga poin di atas, kita sedikit merasakan kesulitan untuk bernapas, bila melihat fenomena-fenomena yang menimpa Indonesia akhir-akhir ini. Teror atas nama agama akan terus berlangsung, bahkan menjadi agenda tahunan di negara kita. Maka, untuk menutup saluran radikalisme yang berujung pada terorisme, alangkah baiknya kita menemukan motif dari aksi para kaum jihadis. Jangan-jangan kita masih terlalu belia untuk memahami agama sebagai rahmat yang membawa cinta pada alam semesta.