Acara haul Kiai Yahya, pendiri pesantren ini sekaligus kakek buyutku, masih seminggu lagi. Tetapi orang-orang sudah mulai sibuk melakukan persiapan-persiapan. Para perempuan banyak yang sudah berkumpul di dapur untuk membantu mengupas bawang dan membuat bumbu-bumbu halus. Mulai dari bumbu hitam, bumbu putih, dan bumbu merah. Ada juga yang sedang mengadon tepung untuk dijadikan kue-kue kering sebagai kudapan tamu. Sesekali terdengar gelak tawa di tengah obrolan-obrolan mereka. Sementara itu, di sekitar aula pondok, banyak lelaki mulai membersihkan rumput-rumput liar, memangkas pohon-pohon yang dahannya mulai menjulur tidak beraturan, serta melakukan pengecetan di tembok serta kusen-kusen jendela dan pintu.
Beberapa santri putra mulai mencopoti gorden ruangan, mengambili karpet-karpet, dan bergegas mencucinya di sungai di selatan pondok. Santri-santri putri berkumpul di ruang perabot untuk mengeluarkan cangkir-cangkir, piring, talam, sendok, mangkok, dan memeriksa jumlahnya. Setelah itu, secara bergantian mereka mencuci barang pecah-belah tersebut dan menatanya di dekat dapur setelah memastikan semuanya bersih.
Setelah mengetik beberapa halaman draf skripsi dan mulai merasa pening karena tidak tahu lagi mau mengetik apa, aku pun beranjak ke dapur. Awalnya hanya menonton saja karena bingung mau membantu apa, sebab sudah terlalu banyak orang yang sibuk bekerja di sana. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk ikut membantu orang-orang yang sedang membuat kue kering: mengolesi nampan kue dengan blue band, membantu mencetak kue dan menatanya dengan rapi, lalu sambil menunggu kue-kue itu masak, aku ikut ngobrol dengan orang-orang di sana.
Beberapa menanyakan soal perkembangan skripsiku yang tentu saja kujawab dengan kecut. Aku tidak bilang kalau progresnya masih di situ-situ saja, tetapi aku minta supaya mereka ikut mendoakan agar skripsiku lancar dan cepat selesai.
“Iya Ning, semoga Ning Isa lekas wisuda ya. Nanti setelah wisuda, mau tetap di sini atau kembali ke Jakarta?” tanya Bik Wardah.
“Nggak tahu ya, ummi, sepertinya betah di sini. Tapi kalau saya sih pengen pulang ke Jakarta,” jawabku menggantung.
Mereka mengucapkan “ooh” panjang dengan kompak. Suara “Assalamu’alaikum” dari seseorang di ambang pintu dapur akhirnya menghentikan pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang ditujukan padaku. Dengan gupuh, mereka mempersilakan tamu itu masuk. Setelah menemui mbah, ummi, dan bibi-bibi, tamu itu bergabung bersama kami untuk membantu membuat kue.
“Siapa?” tanyaku lirih sambil berbisik ke telinga Bik Wardah.
“Mak Sum itu, ibunya Tolak,” jawab Bik Wardah juga sambil berbisik.
“Ha? Tolak?” tanyaku nyaris tidak terdengar. Kemudian aku ingat nama itu.
Aku tahu, namanya Badriyah. Dan ia sendiri memang meminta orang-orang di sekitar sini untuk memanggil dirinya dengan nama Tolak.
Di daerah ini, panggilan Tolak mempunya asal cerita yang panjang. Panggilan itu memang dilekatkan di depan nama asli seseorang. Tentu saja penempatan panggilan itu bukan tanpa tujuan. Bagi anak-anak semata wayang orang tuanya, yang lahir dan hidup setelah beberapa kali kematian menimpa saudara-saudara mereka yang lebih tua, penempatan kata Tolak sama artinya dengan sebuah ikhtiar untuk menolak maut yang barangkali turut mengancam nyawanya. Sebagaimana maut merenggut nyawa saudara-saudaranya yang mati sebelum ia, maka nama Tolak itu menjadi sebuah upaya supaya si anak dengan panggilan Tolak ini bisa lolos dari maut dan berhasil hidup untuk waktu yang lama.
Dari penuturan salah seorang santri yang menjadi kerabat jauh Tolak Badriyah, anak itu nyaris saja mati saat umurnya 6 bulan. Ia tiba-tiba didera panas tinggi dan kejang dengan intensitas yang cukup mengkhawatirkan. Semua anggota keluarganya mengira kalau ia akan mati. Seperti saudara-saudara kandung sebelum ia yang lebih dulu mati ketika usianya baru belasan hari. Betul-betul berkat keajaiban Tuhan belakalah yang membuat Tolak Badriyah tetap bisa hidup sampai sekarang.
Imbas dari sakit panas dan kejang yang dideritanya semasa kecil itulah konon yang menyebabkan Tolak Badriyah “sedikit kurang”. Di mataku sendiri, meskipun tampak ganjil, ia toh terlihat normal-normal saja. Ia mampu bicara dan berkomunikasi dengan lancar. Bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan gamblang. Dan kulihat ia juga mampu bergaul baik dengan teman-temannya.
gambar: eva maulidiyah