“Assalamualaikum,” ucapku sambil membuka pintu. Kulihat istriku tengah duduk sembari menjahit celana punyaku yang robek saat mencangkul di sawah tadi. Aku lantas menghampirinya.
“Jangan lupa baca salawat dan qulhu ketika masuk rumah, biar lancar dan barokah rezekinya,” setelah menjawab salamku dia langsung berpetuah. Aku juga pernah mendapat ijazah bacaan itu dari kiaiku, cuma aku sering lupa membacanya.
“Dari mana saja? Masak salat jamaah isya sampai satu jam?” protes perempuan yang baru kunikahi beberapa bulan yang lalu itu. Aku diam beberapa saat sambil membelai rambutnya yang tidak tertutupi kerudung. Cantik juga istriku ini ternyata, aku membatin.
“Diajak ngopi sama teman-teman, mau nolak nggak enak Dik,” sahutku.
“Katanya sih ngopi, tapi isinya nggosip,” tukasnya ketus. Aku tertawa geli melihat ia menggerutu.
“Nggosip memang dosa. Tapi kalau tidak ada budaya nggosip yang masih rajin maksiat tak akan merasa bersalah. Minimal, sanksi orang berbuat dosa di dunia ini adalah dicela orang di sekitarnya. Dan itulah pekerjaan tukang nggosip,” aku menimpali sekenanya.
“Pinter ngomong ternyata ya sampean, Mas. Ingat, menghalalkan perkara haram, ataupun mengharamkan perkara halal, adalah salah satu sebab kemurtadan,” dia berpetuah lagi.
“Nggeh ustadzah Cinta…” sahutku sambil mencubit hidungnya. “Aku juga pernah ngaji kitab sullamut taufiq bab itu. Nah, maksudku tadi bukanlah menghalalkan nggosip. Ngrasani tetaplah perbuatan dosa. Tapi, kadang-kadang dengan adanya rasan-rasan seseorang yang berbuat maksiat jadi malu. Bukankah malu untuk berbuat maksiat itu hal positif?” kataku sambil ndusel di sampingnya.
Kami lantas ngobrol hingga larut malam.
Menjadi alumni pesantren memang susah-susah gampang. Terlalu membaur ke masyarakat bisa terbawa arus. Budaya-budaya pesantren yang luhur bisa tergerus. Tapi kalau terlalu menjauhi mereka berarti semakin jauh pula kesempatan untuk menyebarkan kebaikan. Ada banyak hal positif yang bisa diperoleh dari bergaul dengan orang awam. Bahkan menggunjing suatu kali bisa menjadi kontrol sosial, untuk mengontrol ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Aku berpikir demikian karena memahami pola pikir anak-anak muda di warkop tadi. Di antara kata-kata kasar orang-orang yang menggunjingkan Mbah Bejo tadi, aku kemudian punya pemikiran seperti itu. Bahwa di antara kehebatan Allah adalah kemampuan menciptakan hikmah di semua hal, bahkan di balik kejelekan sekalipun.
“Kau tahu ke mana uang hasil amal jariyah masjid itu, Dul? Ke kantungnya Mbah Bejo sendirilah!” celoteh Sarkum di antara kepulan-kepulan asap rokok ketika di warkop tadi.
“Benar! Uang untuk membayar listrik dan air tak akan menghabiskan uang kotak amal! Paling cuma separonya,” teriak Sukri lantang.
“Mungkin uang kotak amal digunakan untuk beli rokok! Sawahnya kan sudah dijual anaknya tahun lalu? Mau dapat uang dari mana dia kalau tidak ambil sisa uang kotak amal?” Abdul mengakhiri kalimatnya dengan tawa lebar. Kulihat biji-biji kopi yang hitam itu masih menempel di sela-sela giginya.
Sebagai orang yang belum lama tinggal di rumah tentu saja aku tidak tahu tentang tabiat Mbah Bejo di usia tuanya kini. Aku baru tinggal di rumah beberapa bulan yang lalu saat menikah. Dulu aku hanya mengenalnya sebagai seorang guru ngaji yang keras dalam mengajar. Tak jarang sebilah bambu kecil akan dipukulkan ke jemariku mana kala bacaan iqro-ku salah. Kalaupun sekarang ada sifatnya yang berubah, itu baru kuketahui dari jamaah kopi dan rokok warung Si Sarkum tadi. Sebenarnya aku ingin mengingkari ucapan mereka. Tapi semakin lama aku mendengarkan bualan mereka, aku semakin penasaran tentang penyelewengan yang telah dilakukan oleh ketua takmir itu.
“Jangan begitu Brow, jelek-jelek gitu dia masih istiqomah menjadi imam masjid,” aku ikut nimbrung, mencoba menetralkan suasana.
“Itu bukan istiqomah, Din. Takut jabatannya sebagai imam tergantikan!” timpal seseorang di belakang.
“Benar. Orang tua yang lidahnya sudah tidak fasih seperti dia sudah sepatutnya pensiun. Kamu saja yang maju jadi imam, Din, lebih layak,” usul Si Abdul.
“Apalagi Mbah Bejo sering tersengal-sengal oleh batuk ketika baca al-Fatihah. Bisa nggak sah salat orang satu masjid tuh!” timpal Sukri.
“Ganti takmir saja. Percuma imam ganti kalau takmir tetap. Bisa-bisa bangunan masjid dijualnya ke pedagang beras kalau dia tetap jadi takmir!” pekik seseorang. Suasana warkop semakin tak terkendali.
Aku ceritakan semua perbincangan di warkop itu. Istriku khusuk mendengarkan.
“Jadi, Mas mau maju jadi calon ketua takmir?” tanya istriku menyimpulkan ceritaku.
“Nggak tahulah, Dik. Ini pilihan yang sulit. Maju nggak enak sama Mbah Bejo, kelihatannya dia masih semangat menjadi takmir. Kalau mundur rasanya seperti tak mematuhi amanat kiai untuk berkhidmah pada umat, menjadi orang yang berguna di tengah-tengah masyarakat.”
“Ya sudah kalau begitu Mas. Saya mendukung setiap keputusan Mas. Yang penting keputusannya bukan atas dasar pertimbangan nafsu. Mungkin ini memang saatnya buat Mas untuk mulai berkiprah. Kalau memang dipercaya masyarakat tidak usah pura-pura tawadhu dengan pura-pura menolaknya,” lanjut petuah istriku.
Waktu pun terus berlalu. Peristiwa kecil menghilang ditelan lupa. Peristiwa besar terkubur oleh waktu. Tapi seringkali peristiwa besar masih menyisakan bahagia. Tak jarang pula peristiwa besar itu kemudian menyisakan luka di kemudian hari. Dan luka atau bahagia akan tetap ada di setiap langkah kehidupan manusia, sepintar dan sewaspada apa pun mereka. Garis-garis kehidupan telah ditata oleh Yang Maha Menata. Manusia hanya sebatas menjalaninya. Berjalan sembrono berisiko terpeleset. Berjalan hati-hati pun bisa saja tergelincir. Tapi akan menjadi lucu kalau ada orang yang ingin selamat tapi tak mau hati-hati. Maka hati-hati adalah pilihan sikap bagi orang yang bijaksana. Dan seperti itu pulalah yang aku lakukan malam ini. Aku berusaha menjaga sikap agar tidak terpeleset ke dalam kesalahan.
Proses pemilihan ketua takmir masjid berjalan lama karena ternyata dari golongan tua ada yang menolak pemilihan itu. Selama Mbah Bejo masih ada tak pantas ada orang yang mau menggantinya. Lagi-lagi aku berada di posisi sulit. Sebenarnya selama ini aku menjalin silaturahmi yang baik dengan mereka. Para sesepuh di kampungku itu sebagian besar merupakan teman dekat mendiang bapakku. Dan dengan golongan pemuda pun aku tak mengambil jarak. Bahkan merekalah yang memaksaku untuk mencalonkan diri jadi takmir seperti ini.
Malam menukik tajam. Setelah perdebatan panjang akhirnya pemilihan takmir tetap dilaksanakan. Sudah menjadi ketetapan-Nya kalau akhirnya akulah yang menjadi ketua. Sebagian besar warga memang sudah tidak senang dengan kepemimpinan Mbah Bejo. Walapun begitu kemenangan ini bukanlah keinginanku. Sama sekali aku tak bernafsu menjadi ketua. Justru ada sudut di ruang hatiku yang merasa tak enak dengan keadaan ini. Apalagi ketika kulihat Mbah Bejo keluar dari masjid dengan raut kecewa. Orang-orang sempat menahan langkahnya karena acara belum selesai, tapi Mbah Bejo telah menentukan keputusannya untuk pulang. Aku tak bisa apa-apa.
Keesokan harinya aku bersilaturahmi ke rumah Mbah Bejo. Kubawa rokok kesukaannya.
“Para pemuda itu jiwanya belum matang. Masih mencari identitas diri. Dan mereka itu, Din, ngaji saja mereka malas. Kini tiba-tiba mau tampil di depan, sok mau ngatur-ngatur,” kata Mbah Bejo penuh semangat. Mungkin yang dimaksud para pemuda oleh Mbah Bejo adalah teman-teman remaja masjid yang mengusulkan diadakannya pemilihan ketua takmir ini. Aku tak merasa bermusuhan dengan Mbah Bejo.
“Ilmu nggak ada kok mau ngatur-ngatur. Padahal ibadah tanpa ilmu bisa salah dan tidak akan diterima. Ibadah yang sudah benar secara syariat pun masih bisa salah kalau niatnya salah,” ucapan Mbah Bejo kemudian terhenti oleh batuk-batuk kecil. Aku diam memahami keadaan.
“Lha para pemuda itu ingin di depan karena niatnya ingin cari popularitas. Tidak ikhlas. Mana mungkin Tuhan mau membalas ibadah yang tidak ikhlas?” Mbah bejo kemudian batuk lagi. “Tasbih mereka jadikan kalung biar kelihatan agamis, cuih!!! Lebih baik mati berkalung kabel listrik daripada mati berkalung tasbih demi pencitraan!”
Aku bergidik ngeri mendengar ucapannya. Suasana ruang tamu menjadi kaku. Kami saling membisu hingga beberapa saat.
“Mungkin mereka ingin beribadah dengan usahanya itu. Kalau tidak beribadah apanya yang perlu diikhlaskan Mbah? Bukankah ikhlas ada karena adanya sesuatu yang diikhlaskan?” tanyaku hati-hati. Suaraku telah kuatur sedemikian rupa agar tidak menyinggung hatinya.
Pertanyaanku tak kunjung dijawabnya.
“Kami yang muda-muda ini butuh sesepuh seperti jenengan agar tetap bisa ikhlas beramal, Mbah,” aku menyambung kalimat berikutnya dengan perkataan merendah.
“Bukankah kamu sekarang ketua takmirnya? Apakah seorang ketua takmir masih perlu cari tahu caranya ikhlas beramal? Aku sudah pensiun.”
Aku menarik napas panjang mendengar jawaban ketusnya.
“Kamu ini ngajinya lama tapi masih terpengaruh juga sama mereka. Atau jangan-jangan kamu cari ilmu agama hanya untuk menandingi guru ngajimu ini?”
Pertanyaan itu menyentakku. Aku kesulitan untuk menahan diri menolak tuduhannya.
“Sama sekali tak ada niatan seperti itu, Mbah. Aku mau menjadi ketua takmir karena dulu jenengan pernah menyuruh kami untuk mengamalkan ilmu. Menyebarkan kebaikan,” ucapku pelan.
“Lihat saja. Apakah ke depan masjid ini semakin makmur atau malah hancur. Lihat saja,” ucapnya bersungut-sungut. Dia kemudian menyeruput kopi yang terhidang di depannya. Aku menandaskan kopi untuk kemudian segera pulang. Niatku bersilaturahmi untuk menjalin hubungan baik dengannya ternyata gagal. Aku pulang dengan langkah lunglai. Ternyata ada juga manusia yang seperti itu.
Dua bulan berikutnya adalah bulan Rajab. Teman-teman remaja masjid mengusulkan diadakan pengajian di masjid. Dan aku menyetujuinya. Serangkaian acara dipersiapkan. Tim banjari dari pondok terdekat juga didatangkan. Kiai Hamim dari kota telah dihubungi jauh-jauh hari untuk memberi mauidzoh hasanah. Uang khas masjid yang kini dikelola remaja masjid ternyata cukup untuk membiayai semua rangkaian kegiatan. Kami sangat yakin kegiatan akan berjalan lancar. Dan memang acara berjalan lancar sampai ketika tiba-tiba lampu masjid mati. Rangkaian acara terhenti karena gelap sekali. Ini terasa ganjil karena ternyata rumah-rumah di sebelah masjid lampunya tetap menyala. Aku berusaha mencari lampu cadangan agar suasana di masjid tidak panik. Sebagian panitia kuminta mengecek saluran kabel yang terhubung ke rumah Mbah Bejo. Listrik di masjid mengambil saluran dari rumah Mbah Bejo; ini alasan kenapa bertahun-tahun lamanya dia yang memakai uang kotak amal masjid untuk membayar listrik serta air. Setelah kepengurusan takmir yang baru ini bayarnya fifty-fifty. Dan ternyata sisa uangnya memang masih banyak.
Beberapa saat kemudian terjadi keriuhan. Hampir semua jamaah semburat menuju rumah Mbah Bejo. Aku yang sedang menemani Kiai Hamim hanya bisa menunggu apa yang sedang terjadi. Rasa penasaran sampai menjalar ke ubun-ubun melihat di tengah kegelapan orang-orang berlarian. Dan akhirnya teka-teki itu terjawab ketika Abdul datang memberitahuku bahwa lampu mati karena saluran kabel terputus. Dan hal yang nyaris membuat jantungku copot adalah ternyata kabel itu melilit leher Mbah Bejo. Tubuh orang tua itu telah kaku. Selain itu sebuah tangga bambu menindih tubuhnya.
Bantur, 21 April 2020