Munculnya isu terorisme telah meresahkan kalangan pesantren, karena isu tersebut telah menimbulkan stigma negatif bagi kalangan pesantren. Atas dasar ini kemudian muncul polemik di kalangan masyarakat mengenai keterlibatan pondok pesantren dalam gerakan teror.
Beberapa pihak menentang rencana aparat untuk melakukan penyelidikan dan penggeledahan pesantren, karena dianggap melecehkan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang sakral dan perlu dilindungi. Sementara pihak berpendapat, demi penegakan hukum dan untuk membuktikan ketidakterlibatan pesantren dalam gerakan teroris, maka boleh saja polisi melakukan penggeledahan terhadap pesantren yang dicurigai asal dilakukan dengan prosedur yang benar dengan tetap menghargai etik pesantren. Akibatnya, perdebatan mengenai teorisme beralih dari isu kejahatan kemanusiaan menjadi isu agama.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar pesantren menjadi sarang teoris? Bagaimana seharusnya kalangan pesantren menanggapi dan menyikapi tudingan tersebut? Pertanyaan ini penting untuk dijawab guna menghindari terjadinya stigmatisasi terhadap dunia pesantren. Jawaban atas pertanyaan ini akan memperjelas hubungan antara pesantren, gerakan Islam dan terorisme, dan dengan demikian akan dapat meminimalisasi keresahan kalangan pesantren berkaitan dengan munculnya isu terorisme. Disamping itu, juga dapat meluruskan kesalahpahaman masyarakat terhadap kelompok pesantren.
Basis Perjuangan
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya, Clifford Geertz menyebutknya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (kususnya Jawa).
Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Pesantren sebagai pendidikan keagamaan memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat.
Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain belum berjalan secara fungsional, maka pesantren menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, mulai dari orang belajar agama, bela diri, mengobati orang sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh, sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah— semua dilakukan di pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai.
Figur kiai tidak saja menjadi pemimpin agama, tetapi sekaligus juga pemimpin gerakan sosial politik masyarakat. Karena posisinya yang menyatu dengan rakyat, maka pesantren memiliki akar yang kuat untuk menjadi basis perjuangan rakyat. Di samping memiliki jaringan sosial yang kuat dengan masyarakat, pesantren juga memiliki jaringan yang kuat dengan sesama pesantren, karena sebagian besar pengasuh pesantren tidak saja terikat pada kesamaan pola pikir, paham keagamaan, tetapi juga memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat (Jamakhsari Dhofir; 1982).
Hal lain yang menyebabkan kohesivitas dunia pesantren menjadi sangat kuat adalah adanya kesamaan ideologi. Hampir semua pesantren di Indonesia memiliki kesamaan referensi dengan metode pengajaran dan pemahaman keagamaan yang sama pula. Berdasarkan catatan Martin van Bruenssen, terhadap 46 pesantren besar di Indodnesia, yang semuanya menggunakan referensi kitab yang sama, khususnya dalam kitab fikih (Pesantren; 1989). Kesamaan referensi kitab kuning dalam dunia pesantren ini terjadi karena adanya seleksi yang cukup ketat di kalangan pesantren. Misalnya, adanya katagori kitab mu’tabar dan ghairu mu’tabar, di mana hanya kitab-kitab mu’tabar yang boleh dipelajari di pesantren.
Meski pesantren menjadi basis perjuangan terhadap kaum kolonial, namun pesantren tidak menanamkan ideologi fundamentalis yang mengesahkan tindak kekerasan. Hal ini dibuktikan dengan kitab-kitab yang dipelajari, dan sistem nilai yang diterapkan oleh dunia pesantren.
M Tholhah Hasan mensinyalir, pesantren hanya menerapkan kajiannya pada ilmu-ilmu terapan seperti fikih, tasawuf dan ilmu alat; terutama nahu-saraf (M Thalhah Hasan; 1989). Pesantren tidak mengajarkan pemahaman keislaman yang radikal, tetapi Islam yang kultural. Hal inilah yang menyebabkan pesantren bisa diterima oleh masyarakat karena dianggap lebih toleran dan fleksibel, mengerti perasaan dan jiwa masyarakat.
Bukti pemahaman keislaman pesantren yang toleran, inklusif, dan tidak radikal tercermin dalam penerapan kaidah fikih digunakan, seperti almukhafadzatu ‘ala qadiimisshalih wal akhdzu bi jadiidil ashlah (menjaga nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Kaidah ini mencerminkan adanya toleransi kalangan pesantren terhadap nilai-nilai dan tradisi yang ada baik lokal maupun universal. Dengan demikian, pada dasarnya pesantren tidak mudah terjebak dalam sikap puritan dan simbolik.
Kaidah lain misalnya, khud ma sofa wa da’ ma kadar (ambil yang jernih dan buang yang keruh). Kaidah ini mendidik masyarakat untuk tidak melihat jenis, golongan, dan asal-usul seseorang, tetapi harus melihat perilaku, moral, dan dampak yang ditimbulkannya. Siapa pun orang tersebut, dari mana pun asalnya suatu ajaran, kalau baik boleh diambil dan ditiru, demikian sebaliknya.
Pesantren juga menggunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada berniat kebaikan). Inilah beberapa prinsip yang dianut oleh kalangan pesantren dalam mensosialisasikan pemahaman keagamaan.
Dengan paham ini, pesantren terbukti dapat menjadi sumber kekuatan dalam melawan kolonialisme. Perlawanan terhadap kaum kolonial dilakukan dengan cara-cara cultural, yakni membangun counter culture yang efektif, menamakan kesadaran keislaman yang nasionalistik, dan sejenisnya. Perjuangan dengan cara-cara kekerasan dilakukan sebagai alternatif terakhir dengan pertimbangan yang matang, sebagaiamana terjadi pada peristiwa 10 Novemner 1945 yang terkenal dengan seruan Resolusi Jihad.
Transformasi Sosial
Pasca-kemerdekaan, pesantren berhadapan dengan arus modernisme. Akibatnya, terjadi perubahan format, bentuk, orientasi, dan metode pendidikan dalam dunia pesantren. Namun demikian, perubahan tersebut tidak sampai mengubah visi, misi, dan orientasi pesantren. Dapat dikatakan, perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara itu pada sisi dalam, yaitu ruh, semangat, pemahaman keagamaan, nilai-nilai, tradisi, dan ideologi pesantren masih tetap dipertahankan.
Secara umum ada tiga pola sikap pesantren menghadapi arus modernism. Pertama, menolak secara total. Sikap ini dibuktikan dengan menutup diri secara total terhadap modernisme, baik pola pikir maupun sistem pendidikan dengan cara menjaga otentisitas tradisi dan nilai pesantren secara ketat, baik dalam bentuk simbol maupun substansi. Pola ini diterapkan oleh Pesantren Tegalrejo di Magelang, Mathaliul Falah di Kajen Pati, dan Pesantren Lirboyo Kediri. Pesantren-pesantren ini tidak memasukkan pelajaran umum dan tetap menggunakan pola bandongan, sorogan, dan wetonan dalam metode pendidikannya. Mereka juga menolak penerapan formalisme pesantren sebagaimana tercermin dalam SKB Tiga Menteri.
Kedua, menerima modernisme secara total, baik pemikiran, model, maupun referensinya. Pola ini tercermin dalam Pesantren Modern Darussalam Gontor-Ponorogo, Pesantren Pabelan Magelang, dan sejenisnya. Di sini tidak saja diajarkan nilai-nilai agama dengan referensi kitab klasik, tetapi juga diajarkan pengetahuan umum. Kurikulum yang digunakan juga kurikulum umum, tidak lagi kurikulum pesantren yang menggunakan kitab mu’tabar.
Ketiga, ini yang mayoritas, menerima modernisme secara selektif. Pada pola ini ada proses kreatif dari kalangan pesantren dalam menerima modernisme, yaitu menerima sebagian modernisme kemudian dipadu dengan tradisi pesantren. Pola ini terlihat dalam mayoritas pesantren NU di Jombang, Krapyak, Yogyakarta, dan beberapa pesantren lainnya. Pada pola ini, pesantren menerapkan metode modern dalam sistem pengajaran, memasukkan referensi-referensi pengetahuan umum dalam pendidikan, namun kitab-kitab klasik dengan pola pengajaran ala pesantren tetap diterapkan..
Di samping ketiga pola tersebut, sejalan dengan meningkatnya intensitas interaksi sosial para tokoh dan pemimpin gerakan Islam, pada dekade 1990-an muncul pesantren-pesantren baru yang dipimpin oleh oleh orang-orang yang memiliki jaringan dengan beberapa gerakan Islam internasional. Pesantren jenis ini terbentuk tidak berdasarkan pada kohesivitas sosial masyarakat tempat berdirinya pesantren tersebut, tetapi lebih pada jaringan yang dibangun oleh pendirinya. Pesantren ini biasanya lebih tertutup dengan masyarakat sekitar, pemahaman keagamaannya lebih eksklusif, tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar dalam aktivitasnya. Akibatnya, sering terjadi konflik antara masyarakat dengan pesantren jenis ini, karena adanya kesenjangan sosial dan ideologis antara pesantren dan masyarakat.
Sikap Kritis Pesantren
Paparan tersebut menunjukkan telah terjadi pluralisme dalam dunia pesantren. Pesantren tidak lagi mencerminkan realitas tunggal sebagaimana pada era kolonial. Telah terjadi perubahan nilai, pola, pemahaman, dan ideologi dalam dunia pesantren. Pesantren tidak lagi merupakan lembaga pendidikan agama yang mengajarkan kesantunan beragama, semangat toleransi, dan berbasis pada realitas sosial masyarakat.
Secara faktual, ada pesantren yang tidak memiliki keterkaitan dengan masyarakat lokal, tidak berinteraksi dengan realitas sosial di sekitarnya, tetapi lebih berorientasi pada jaringan sosial mereka yang berada di luar masyarakat sekitar.
Kenyataan inilah yang perlu diperhatikan oleh para pengamat, analis, dan akademisi maupun para pengasuh pondok pesantren. Karena wajah pesantren tidak lagi tunggal dan homogen, maka sulit untuk membuat stigma tunggal terhadap pesantren. Artinya, bukan tidak mungkin ada salah satu pesantren yang menjadi sarang teroris, karena adanya jaringan, kesamaan pemahaman, dan pendekatan agama anatara pesentran tersebut dengan kelompok. Namun, hal ini bukan berarti semua pesantren menjadi sarang teroris, karena kenyataannya masih banyak pesantren yang dengan susah payah melakukan sosialisasi nilai-nilai agama yang toleran dan inklusif, meski dengan cara-cara yang tradisional. Dengana demikian, kita tidak bisa mengeneralisasi pesantren sebagai sarang teroris, dan sebaliknya mengeneralisasi pesantren sebagai subkultur yang mensosialisasikan Islam toleran dan tradisional.
Menghadapi situasi yang demikian, diperlukan kearifan dan kekritisan dalam menyikapi sebuah realitas. Pesantren tidak perlu menepis isu keterkaitan teoris dengan dunia pesantren dengan cara menutup diri terhadap segala upaya penyelidikan dan tindakan hukum terhadap para pelaku tindak kekerasan.
Sikap seperti ini sama artinya dengan memperkuat tuduhan pesantren sebagai sarang teroris. Yang perlu dilakukan oleh para pemimpin pesantren saat ini adalah melakukan klarifikasi secara intensif terhadap masyarakat bahwa pesantren mereka tidak memiliki keterkaitan dengan ideologi kekerasan, kemudian bertindak aktif melawan segala bentuk kekerasan.
Dengan demikian masyarakat akan tahu pesantren mana yang memiliki ideologi Islam radikal dengan pendekatan kekerasan dan pesantren mana yang memiliki idieologi Islam dengan pendekatan kultural-substansial yang lebih toleran dan inklusif.
Bagi pesantren yang memiliki karakteristik dan ideologi sebagaimana tersebut terakhir, rasanya tidak perlu risau dan tersinggung dengan berbagai tudingan teroris dan radikal karena sejatinya mereka bukan bagian dari gerakan radikal yang menggunakan cara kekerasan untuk mensosialisasikan gagasan.
Sikap menolak isu terorisme dalam pesantren secara emosional dan berlebihan akan menguntungkan terorisme itu sendiri, karena mereka akan merasa aman berlindung di balik pesantren, di samping itu juga akan lebih memperkokoh tudingan orang adanya keterkaitan pesantren dengan terorisme. Sebaliknya, sikap terbuka terhadap upaya hukum dalam pemberantasan teroris akan mempersempit ruang sembunyi kelompok radikal dan mempertebal keyakinan masyarakat bahwa pesantren bukan sarang teroris, tetapi lembaga pendidikan agama yang berbasis pada kekuatan tradisi dan masyarakat.