Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menggelar muktamar pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang pesantren dan pemberdayaan masyarakat, Jumat (20/9/2024).
Muktamar yang berlangsung di Gedung Wahid Hasyim UII tersebut menghadirkan beberapa pembicara. Mereka adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Abdul Hakim Mahfudz, putri KH Abdurrahman Wahid Alissa Wahid, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Prof Dr Zuhri, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Dr Arif Akhyat MA, dan dosen UII Dr Muhammad Roy Purwanto.
Muktamar ini terlaksana atas inisiai Ikatan Keluarga Alumni Ponpes Tebuireng (IKAPETE) Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Peserta muktamar yang hadir merupakan mayoritas warga Nahdhatul Ulama (NU) dan masyarakat akademis.
Rektor UII Fathul Wahid dalam sambutannya menegaskan, UII memang terbuka untuk segala macam pemikiran karena para pendiri selalu mengedepankan persamaan. Ia juga menyebut bahwa UII dilandaskan pada pemikiran ulama-ulama Nusantara, seperti pemikiran KH Hasyim Asy’ari.
“Alhamdulillah, para pendahulu selalu mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan. Kalau tanpa itu, saya yakin UII tidak akan pernah berdiri. Hal tersebut juga tidak lepas dari pemikiran terdahulu, termasuk KH Hasyim Asy’ari yang pemikirannya melampaui zaman,” jelasnya.
Pada muktamar ini, pidato kunci disampaikan KH Abdul Hakim Mahfudz. Ia secara khusus membahas tentang perjuangan yang dilalui oleh KH Hasyim Asy’ari.
“Kita tentu sama-sama mengenal Sarekat Islam (SI) yang bertujuan untuk memodernisasikan islam. Tetapi, bagi KH Hasyim Asy’ari, hal itu yang tidak bisa diterima. Karena, SI semua latar belakang muslim dimasukkan, akhirnya terjadi perpecahan. Itu awal munculnya konsep modernisasi dan tradisional. Di sisi lain, terjadi pergantian pemerintahan Arab Saudi yang memiliki kebijakan setiap jemaah haji yang datang akan dipaksa untuk menganut paham Wahabi,” jelasnya.
Lebih lanjut, a juga menerangkan sejarah berdirinya NU. “Di balik impitan tersebut, KH Hasyim Asy’ari serta pihak pondok-pondok pesantren yang telah lama mengajarkan bidang keilmuan Islam akhirnya berkonsolidasi. Banyak upaya dilakukan di saat perpecahan di mana pondok tradisional tidak memiliki wadah. Dengan demikian, terjadi suatu peristiwa yang sangat luar biasa, lahirnya Nahdhatul Ulama’tanggal 31 Januari 1926,” katanya.
Kemudian acara disambung dengan diskusi dengan para panelis yang telah hadir. Allisa Wahid sebagai panelis pertama membahas tentang peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kalau saya melihat dari apa yang diteladankan oleh Kiai Hasyim, pesantren betul-betul menjadi pusat kehidupan masyarakat, jadi bukan kiainya, tapi pesantrennya. Pesantren juga menjadi pusat transformasi kehidupan masyarakat, karena ia membawa moral yang bersumber dari nilai ketauhidan,” terangnya.
Pada bagian lain, Arif Akhyat membahas tentang peran kiai dalam menghadapi perkembangan zaman yang serba dinamis. Sementara itu, Zuhri menjelaskan mengenai literai keagamaan yang dimiliki oleh KH Wahid Hasyim. Panelis terakhir, Muhammad Roy Purwanto, membahas sejarah perkembangan Pesantren Tebuireng dari masa ke masa.