Bagi kaum ulama, zaman modern telah membawa erosi yang serius terhadap kekuatan dan otoritas tradisional mereka. Reformasi-reformasi pendidikan dan hukum sangat mengurangi dominasi peran ulama di bidang pendidikan dan hukum, mengurangi sumber-sumber penghasilan mereka, dan menimbulkan pertanyaan serius tentang kompetensi dan relevansi mereka. Hampir di semua negara Muslim, sistem pendidikan sekular modern dirancang berdampingan dengan sekolah-sekolah agama (madrasah).
Negara-negara tersebut cenderung mengutamakan sekolah-sekolah negeri, sebagaimana halnya minat para siswa yang ingin dididik dan bersaing untuk pekerjaan sebagai profesional modern. Madrasah lebih sering tidak mendapatkan dukungan dari negara dan lebih sedikit siswa yang pintar. Madrasah lebih dianggap sebagai “seminari” dari pada sebagai universitas; ijazah mereka tidak banyak berguna dan kurang laku.
Demikian pula, diberlakukannya hukum modern memperlihatkan kemunculan kelas baru pengacara dan lahirnya hakim-hakim baru, sementara keahlian ulama terbatas pada peradilan agama. Sementara, hukum Islam ditentukan oleh para sarjana agama, reformasi hukum modern dicapai lewat tindakan para penguasa atau badan-badan parlementer, yang hampir semua anggotanya adalah “orang biasa”, dan hukumnya ditegakkan oleh peradilan sipil.
Rasa ketersingkiran kaum ulama dipertajam dengan penghapusan wakaf atau pengambil-alihannya oleh pejabat-pejabat pemerintah, yang selanjutnya mengurangi independensi ekonomi dan peranan sosial ulama. Negara mengendalikan penghasilan membayar gaji, meningkatkan kontrolnya atas lembaga-lembaga keagamaan dan program-program kesejahteraan sosial. Apalagi, nilai yang lebih besar yang diletakkan pada pendidikan modern, juga mengakibatkan kecenderungan umum untuk menyalahkan ulama sebagai penanggung jawab kelemahan masyarakat Muslim.
Di kalangan Muslim Sunni khususnya, di kalangan kaum sekularisasi, modernis Islam, dan demikian pula neotradisionalis, selama abad kedua puluh, ada anggapan bahwa ulama adalah pemimpin agama yang masa bodoh dan gamang, yang tidak mampu memberikan kepemimpinan yang diperlukan. Seperti pada Sufisme, ulama seringkali dianggap sebagai penyebab utama kelemahan dan kemunduran Muslim.
Syahdan, jika kita bertanya kepada diri kita sendiri, bagaimana mungkin gerakan yang semula revolusioner, progresif, dari modern dapat menjadi agen pembekuan pemikiran dan kemandekan sosial. Refleksi kita akan menuntun kepada dua faktor yang aslinya tidak terdapat dalam peradaban Islam dan menjadi sedemikian kuat berakar, hingga orang mengiranya sebagai salah satu prinsip utama agama Islam.
Pertama adalah munculnya kasta ulama yang memonopoli tafsir agama, mengklaim bahwa kasta ini saja yang berhak berbicara atas nama agama. Faktor kedua adalah keyakinan kasta ini bahwa setiap hukum, aturan, dan solusi yang ditemukan dalam sumber-sumber agama awal adalah doktrin yang mengikat (wajib dilaksanakan). Entah aturan itu terkait dengan ibadah maupun berkenaan dengan urusan kehidupan sehari-hari.
Faktanya, mayoritas ulama tetap bersikukuh bahwa hanya mereka yang memiliki pendidikan agama yang diperlukan dan, oleh karena itu mereka adalah otoritas tertinggi dalam menetapkan apa hukumnya dan seharusnya.
Ayatullah Khomeini, misalnya, mengambil pendapat ini selangkah ke depan. Ia menyatakan bahwa, karena negara Islam adalah negara yang dijalankan dengan Syariah dan karena ulama adalah ahli hukum fikih, maka pemerintahan para fakih adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, sebelum kembalinya Imam yang sembunyi. Para pemimpin agama yang lain percaya bahwa dewan nasional atau parlemen harus bersandar kepada sebuah komite ulama, untuk memberikan nasehat kepada mereka tentang persoalan-persoalan hukum.
Namun demikian, semakin lama orang dapat menjumpai suara-suara Muslim yang meskipun tidak secara langsung menggugat keberadaan ulama sebagai sebuah lembaga, berupaya mendefinisikan kembali peran dan wilayah kompetensi mereka, hanya untuk membatasi cakupan otoritas ulama dan untuk membenarkan masukan awam. Mereka mengingatkan para pengikut mereka, bahwa Islam tidak mengenal lembaga kependetaan. Mereka berpendapat bahwa gelar alim cuma berarti orang yang tahu, yaitu orang yang memiliki pengetahuan atau ahli.
Jadi, gelar tersebut bisa disandang tidak hanya oleh kelompok pendeta, tetapi oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat. Pikiran ini diperjelas oleh Dr Hasan al-Turabi, seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin Sudan dan mantan jaksa agung, ketika membahas peran ulama dalam sidang-sidang parlementer mengenai legislasi dalam suatu negara Islam:
“Ulama mesti memiliki peran dalam prosedur ini, tidak sebagai otoritas tertinggi yang menentukan apa hukumnya, tetapi sebagai penasihat dalam permusyawaratan untuk memberikan wawasan kepada kaum Muslim tentang pilihan-pilihan yang terbuka bagi mereka. Apa yang saya maksud dengan ulama? Istilah ini secara historis berarti mereka yang ahli dalam pengetahuan agama. Namun, ulama tidak berarti ahli pengetahuan agama saja. Ini berarti siapa saja yang mengetahui sesuatu dengan sangat baik, maka ia dapat menghubungkannya dengan Tuhan. Karena semua pengetahuan itu ilahi dan religi. Maka seorang ahli kimia, insinyur, ekonomi, atau ahli hukum adalah ulama. Jadi, ulama dalam arti umumnya, entah mereka ilmuwan sosial atau tokoh masyarakat, filsuf, harus mencerahkan masyarakat.”
Namun demikian, bagi mayoritas ulama, setiap upaya untuk membatasi wilayah kompetensi mereka harus dilawan. Jadi, otoritas ulama, bersama dengan sifat hukum Islam dan persoalan reformasi hukum, masih menjadi isu penting yang dihadapi umat Muslim. Revivalisme, dalam kebangkitannya, mengundang perdebatan luas tentang peranan hukum Islam dalam masyarakat. Apapun perbedaannya dalam hal orientasi dan agenda. Inti revivalisme Islam di seluruh dunia Muslim adalah tuntutan untuk lebih diterapkannya Syariat. Ukuran yang digunakan untuk menilai komitmen dan sifat keislaman suatu masyarakat Muslim adalah, ada tidaknya hukum Islam. Kaum moderat maupun radikal memandang watak tak Islami masyarakat mereka sebagaimana terlambangkan dalam undang-undang hukum berbau Barat dan tuntutan penerapan hukum Islam.
Negeri-negeri dengan tingkat modernisasi dan Westernisasi yang berbeda seperti Mesir, Sudan, Libia, Iran, Pakistan, Nigeria, Malaysia, dan Mauritania harus menghadapi masalah ini. Banyak orang, terlepas dari keyakinan atau pandangan politik, menyatakan bahwa Syariat sebagai satu-satunya sumber hukum.
Pun, ketika klaim semacam ini sekadar sama dengan ketentuan konstitusional, bukannya perubahan yang mendasar. Misalnya Iran, Pakistan, Libya, dan Sudan mengundangkan legislasi untuk menegakkan sanksi-sanksi Islam tradisional atas pencurian dan perzinahan. Bahkan selanjutnya melarang perjudian, klub-klub malam, dan konsumsi alkohol, serta mengetatkan sensor atas televisi dan film. Republik Islam Khomeini membatalkan Undang-Undang Perlindungan Keluarga Iran, dan ulama konservatif di Pakistan menyerukan pencabutan Ordonansi Hukum Keluarga Pakistan.
Kenyataannya, penerapan hukum Islam seringkali hanya berupa penerapan kembali hukum-hukum tradisional, dan bukannya reinterpretasi dan reformulasi hukum-hukum dan aturan-aturan yang baru. Kecenderungan ini disebabkan oleh keunggulan Islam tradisional dan terus tidak bisa dibedakannya antara Syariat, hukum Tuhan dan wahyu dengan fikih, pemahaman dan perumusan hukum oleh para ahli fikih yang telah menghasilkan hukum Islam. Syariat diyakini sebagai hukum yang asli dari Tuhan, sementara fikih adalah produk gabungan antara wahyu dan penalaran atau ijtihad manusia.
Apa sajakah sikap Muslim terhadap perubahan? Haruskah penerapan hukum Islam berarti sekadar menerapkan kembali hukum-hukum tradisional? Apakah kembali kepada Islam! berarti penerapan kembali norma-norma masa lalu, atau dapatkah ini menjadi proses reformasi yang berwawasan tradisi hukum Islam, tetapi tidak dibatasi olehnya? Jika perubahan hukum harus terjadi, siapakah yang harus mengawasi proses ini?
Masalah sebenarnya di dalam hukum, sebagaimana dalam politik pada umumnya, adalah persoalan perubahan. Seberapa banyak perubahan dalam tradisi Islam diperlukan; seberapa jauh ia boleh meninggalkan tradisi? Kaum konservatif memandang tidak perlu atau tak ada pembenar untuk perubahan yang mendasar. Neotradisionalis yang pada prinsipnya mengakui ijtihad, dalam praktiknya hanya sedikit saja melakukan reinterpretasi. Mereka mencerminkan “mentalitas taklid.”
Meski pada prinsipnya mereka mengakui perlu dan mungkinnya perubahan, namun mereka sangat merujuk hukum tradisional hingga mereka segan untuk mendukung perubahan-perubahan yang mendasar. Mayoritas Muslim dipengaruhi oleh orientasi-orientasi ini, dan oleh karenanya kebangkitan Islam berarti sebuah proses revivalisme dan restorasi. Bukannya proses reformasi lewat penafsiran dan perumusan ulang tradisi. Wallahu A’lam…