Ulama Menurut Tafsir Milenial

215 views

KH Mustofa Bisri, yang biasa dipanggil Gus Mus, di dalam acara Mata Najwa (Trans-7), memberikan beberapa tafsir atas kata ulama. Secara harfiah, etimologi aksara, kata ulama berasal dari Bahasa Arab, العلماء yang merupakan kata jamak dari عالم, yang mempunyai arti orang yang berilmu.

Dengan demikian, secara etimoligi, alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang berilmu. Ilmu apa saja, tanpa ada pembedaan antara ilmu agama dan ilmu lainnya. Menurut Gus Mus, ulama sebagai kata serapan ke dalam bahasa Indonesia, mengalami pergeseran makna, setidaknya dari jamak menjadi tunggal (mufrad). Dengan demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama bukan lagi kategori kata jamak, melainkan kata tunggal —menunjuk pada orang seorang.

Advertisements

Setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, masih menurut pengasuh PP Raudhatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini, pengertian ulama adalah orang yang berpengetahuan dalam ilmu agama, khususnya Islam. Di dalam KBBI dijelaskan bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam.

Jika dipandang sebagai makna umum, orang-orang yang berpengetahuan, maka setiap individu yang mempunyai pemahaman terhadap bidang kajian tertentu dipandang seharusnya juga disebut sebagai ulama. “Secara bahasa, (ulama itu) orang yang mempunyai pengetahuan. Habibie itu minal ulama, Todung Lubis ya ulama, Einstein ulama, Galileo ulama, karena alim itu orang yang memiliki pengetahuan, pengetahuan apa saja,” kata Gus Mus dalam acara Mata Najwa, 13 Juni 2018.

Kemudian, dalam penjelasannya, KH Mustofa Bisri, yang dikenal sebagai seorang ulama, tokoh masyarakat, dan seorang penyair, ini mengkategorikan ulama menjadi beberapa bagian. Aspek pembagian ini didasarkan atas karakter ulama yang terjadi di era milenial dengan ragam tafsir lahirnya ulama yang berbeda-beda.

Karena itu, masyarakat perlu memahami agar ulama yang dipilih benar-benar orang yang berpengetahuan mumpuni, sebagai pewaris Nabi. Gus Mus melihat, dalam realitasna, ada banyak wacana ulama yang diketahui dan diyakini oleh khalayak.

Pertama, ulama dari perspektif sosiologi, yaitu ulama yang diangkat oleh masyarakat sekitar. Karena keilmuan dan kharismanya, masyarakat beranggapan bahwa orang tersebut pantas menyandang predikat ulama. “Menurut sosiolog Arief Budiman, ulama itu, kiai itu, ada yang produk masyarakat, karena masyarakat melihat ilmunya, lakunya, maka masyarakat menyebut dia ulama atau kiai,” demikian Gus Mus mengutip sosiolog Arief Budiman.

Umumnya, ulama atas persepektif sosiologi ini cenderung lebih menjamin atas terjadinya nilai ulama yang sebenarnya. Masyarakat melihat kepada kedalaman ilmu, tingkah laku, dan kharisma yang tersemat dengan sendirinya. Ulama dalam perspektif ini tidak memerlukan legitimasi legal, namun bukan tidak mungkin, karena suatu problematika, ulama ini tercoreng oleh perilaku di luar syariat Islam. Maka unsur keulamaannya menjadi gugur dengan sendirinya.

Kedua, ulama produk pers, yaitu ulama yang dibikin oleh aliansi pers. Media yang memberikan predikat ulama kepada seseorang sehingga pada orang tersebut melekat sebutan ulama. Gus Mus menyatakan bahwa ulama produk pers banyak sekali jumlahnya. “Ada yang produk pers, karena pers menyebut-nyebutnya sebagai ulama, maka terbentuk opini sebagai ulama dan ini banyak sekali,” kata Gus Mus dengan kekhasan suaranya yang serak namun lembut.

Realitasnya, pers atau media seringkali menjustifikasi seseorang sebagai ulama, umumnya, karena ketenarannya. Tidak perlu melakukan riset yang lebih mendalam. Jika ada seseorang yang secara kasat mata dipandang sebagai ulama, maka pers dengan serta-merta mengangkat orang tersebut sebagai ulama. Jadi ulama pers tidak distandarisasi sebagai orang yang paham agama (Islam) dengan perilaku yang mencerminkan ulama (juga). Pers memandang orang ini dari aspek kemasyhurannya dan memberikan efek “laku” terhadap media yang dimiliki.

Ketiga, ulama produk politik, adalah ulama yang sengaja diciptakan oleh politikus untuk sebuah tujuan. Biasanya, tujuan dari “ulama politisi” ini sudah sangat jelas, demi membangun cita-cita politik dalam kelompok politik itu sendiri. Ulama model politisi akan memberikan fatwa atau ungkapan-ungkalan ke-fatwa-an sesuai dengan kemauan partai. Dengan berbagai dalih, atau cara apa pun diformulasi agar sebuah kebijakan partai sejalan dengan kaidah syariat. Maka pada akhirnya, cara apa pun yang digunakan akan dianggap sebagai bagian dari prestasi keagamaan.

Ulama yang politisi, atau politisi yang ulama, ini akan memberikan fatwa atau persepsi hukum yang akan membawa kemanfaatan bagi partainya. Oleh karena itu, ulama produk politikus ini selalu dan senantiasa membangun tuturan dan ujaran yang mendorong terhadap kebijakan partai. Dicari segala cara dan jalan, agar kebijakan partai sejalan dengan yang diinginkan. Memutar-balikkan ayat al-Quran, membangun keselarasan hadits, demi terjalinnya kebijakan partai.

Keempat, ulama bentukan pemerintah, dalam hal ini adalah ulama yang diangkat oleh pemerintah. Manjlis Ulama Indonesia (MUI) adalah temasuk dalam ulama bentukan pemerintah. Hakikatnya, tidak semua personil yang ada di dalam wadah lembaga MUI berkompeten dalam pengetahuan agama. Namun, karena dipandang memiliki kelebihan lain, misalnya di bidang IT dan lain sebagainya, maka orang ini diangkat oleh pemerintah sebagai bagian dari MUI.

Kelima, ulama klaim diri sendiri, adalah seseorang yang memandang dirinya sendiri sebagai ulama. Jenis ulama ini hanya bermodalkan peci putih, sorban, dan beberapa ayat atau hadits. Kemudian, dengan sedikit acting, orang tersebut bergaya sebagai seorang ustadz atau ulama. “Ada lagi yang sekarang, bikinan sendiri, produk sendirilah, dan ini murah sekali. Peci haji itu paling Rp 5000, sorban kira-kira Rp 50.000, kalau yang agak wibawa yang hijau. Kemudian menghafalkan kira-kira 3-4 ayat yang pendek-pendek saja yang biasa digunakan untuk umum. Hadits juga, diambil dari Arbain Nawawi juga ada itu, pendek-pendek. Terus sedikit kemampuan acting,” ungkap Gus Mus.

Ulama model ini, masih menurut Gus Mus, sangat berbahaya. Karena bisa saja memberikan fatwa yang bertentangan dengan agama. Misalnya, menghalalkan fitnah, mengadu domba, membikin kekacauan, dan mengacau negeri sendiri. Jika ini yang terjadi, maka orang awam akan terprovokasi dan beranggapan bahwa berbuat anarkis itu sah-sah saja.

“Yang sangat berbahaya, jika dia melakukan sesuatu, mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Misalnya menghalalkan fitnah, menghalalkan ujaran kebencian, mengadu domba, mengacaukan rumah sendiri. Itu bahaya karena orang-orang awam, tahunya itu dia memang ustadz betul, kyai betul, ulama betul,kata ulama kelahiran Rembang ini.

Sesungguhnya, ulama adalah pewaris Nabi. Ulama jenis ini merupakan seseorang yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Menjaga marwah etika dengan tidak berkata kasar, tidak membuat keributan, dan tidak melakukan kegiatan makar. Sebab, Nabi yang mewariskan nilai-nilai ketuhanan kepada para ulama membawa nilai-nilai keagungan dan kemuliaan. Selalu berkata lembut, memandang orang lain dengan penuh kasih, serta menjadikan musuh sebagai wahana dakwah.

Saya memiliki definisi sendiri, karena merujuk pada Nabi, karena mereka selalu mengatakan ulama itu pewarisnya Nabi. Dan ada di dalam Quran pemberian Allah tentang Nabi itu. Yang paling menonjol perilaku Nabi sebagai pemimpin, Nabi itu tidak tahan melihat penderitaan umatnya,” ungkap Gus Mus.

Jadi sudah jelas bahwa sebagai pewaris Nabi, para ulama harus membawa nilai luhur kenabian. Sabar, tabah, memiliki kharisma/marwah, tidak menghina, tidak berkata/berlaku kasar, dan menjaga perasaan orang lain. Maka, kesejatian ulama perlu menjadi kaidah agar tidak beranggapan bahwa dirinya sebagai ulama, sementara tingkah laku sama sekali tidak ada cerminan sebagai pewaris para Nabi. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan