Wacana Keragaman Tubuh dalam Islam

292 kali dibaca

Kita menyakini bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahkluk paling mulia di antara mahkluk-mahkluk lainnya. Penganugerahan nafsu menjadikan manusia berbeda dengan mahkluk lainnya.

Mafhum kita ketahui bahwa banyak sekali keragaman pada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Keragaman tersebut tidak hanya berkutat pada kemajemukan suku, budaya, bahasa, ras dan agama, namun juga ‘tubuh’.

Advertisements

Namun, kini keragaman tubuh dianggap hal yang tabu. Keunikan tubuh yang beragam malah dianggap sebagai keanehan dan tidak dapat ditolerir bahkan dicap sebagai penyelewengan.

Hannan Bishara (2020) dalam karyanya Sex and Sexual Fantasy among the Arabs in the Middle Ages menyebutkan bahwa pembahasan mengenai seksualitas ditemukan di berbagai kitab, di antaranya Nuzhat al-Albab fi ma la Yujad fi al-Kitab karya at-Tifasyi (w. 1253 M), Tawq al-Hamamah fi al-`ulfah wal-Ullafi karya Ibn Hazm al-Andalusi (w. 1064 M), ar-Rawd al-Atir fi Nuzhat al-Khatir karya Syekh an-Nafzawi, Hazz al-Quhuf fi Syrh Qasidah Abi Shadouf karya Yousuf Muhammad al-Syarbini, dan lain sebagainya.

Sementara itu, dalam khazanah pesantren di Indonesia, pun diajarkan kitab-kitab yang berbau seksualitas, seperti halnya Qurratul Uyun karya Syekh Muhammad at-Tihami Ibnu Madani, `Uqudul Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani, Fathur Izzar karya Abdullah Fauzi (Amar Alfikar, 2023)

Padahal dalam khazanah Islam klasik telah mengenal beragam istilah yang merujuk pada keragaman tubuh seperti halnya mukhannas yang kini dapat ditafsirkan seabgai transpuan, mutarajjilat yang berarti transpria, dan khunsa yang berarti interseks.

Mengingat hal itu, terdapat cerita menarik yang termaktub dalam kitab al-Qusyairi (1989) karya Imam Qusyairi. Diceritakan terdapat seorang sufi bernama `Abdul Wahhab bin `Abdul Majid as-Saqafi yang turut membantu pemakaman jenazah seorang mukhannas (transpuan).

Diriwayatkan dari `Abdul Wahhab bin `Abdul Majid as-Saqafi, dia berkata: Suatu ketika aku berjumpa dengan tiga orang lelaki dan satu perempuan yang tengah mengusung sebuah keranda. Aku meminta perempuan itu berhenti mengusungnya supaya aku saja yang membantu mereka mengusung keranda itu hingga ke makam. Aku ikut menyalati dan menguburkannya hingga selesai. Usai menguburkan jenazah itu, aku bertanya pada perempuan tadi, “Siapakah jenazah itu? Kenapa hanya kalian berempat saja yang mengusungnya? Apakah tidak ada tetangga yang ikut?”

Perempuan itu kemudian menjawab, “Dia anak saya. Kami tentu punya tetangga, tapi mereka jijik dan tidak sudi dengan anak saya.”

Sang Sufi bertanya lagi, “Mengapa demikian?” Perempuan itu berkata, “Karena anak saya mukhannas (transpuan).”

Abdul Wahhab kemudian mempersilakan perempuan itu ke rumahnya untuk disuguhi makanan, diberikan uang, pakaian, dan gandum. Lantas kemudian ia pulang.

Malam harinya, ketika ‘Abdul Wahhab tidur, dalam mimpinya ia didatangi sesosok orang dengan aura wajah berbinar-binar, berpakaian putih bak purnama, dan tubuhnya terang serupa cahaya. Sosok terang itu menyampaikan terima kasih kepada ‘Abdul Wahhab.

“Anda siapa?” tanya ‘Abdul Wahhab kepada sosok cahaya itu.

“Saya mukhannas (transpuan) yang jenazahnya Anda bantu kuburkan tadi siang. Allah memuliakan saya lantaran semasa hidup saya, begitu banyak orang menghina dan mengucilkan saya.”

Dari cerita `Abdul Wahhab kita menyadari bahwa ketubuhan yang unik bukanlah kesalahan kita. Bukan pula tolok ukur atas penghambaan kita kepada Allah SWT.

Kini, dalam beribadah masyarakat modern seringkali berpaku pada aturan syariat yang begitu kaku. Kekakuan tersebut membawa pembacaan yang begitu statis dalam menerjemahkan ayat-ayat kauniyah Allah SWT yang berwujud pada keragaman. Alhasil, ketubuhan yang berbeda dibaca sebagai penyimpangan atas ciptaan Allah SWT.

Namun, apakah benar demikian? Apakah Allah SWT menilai hambanya dari bentuk tubuhnya?Jelas tidak!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan