Malam itu ratusan bahkan ribuan orang memadati seluruh halaman pesantrenku. Bibir mereka komat-kamit mengucapkan puji-pujian pada Sang Maha Kuasa. Para ulama dan kiai-kiai besar seluruh tanah Jawa Madura tampak hadir. Mereka berada di barisan kedua.
Saf paling depan ditempati oleh sosok bersahaja, yang usianya tak lagi muda. Guratan keras di wajahnya seolah menunjukkan bahwa dirinya telah melewati berbagai pengalaman pahit-manis kehidupan.
Dengan tubuh yang dibalut oleh kemeja hitam sederhana yang warnanya sudah mulai usang, ditambah lilitan sorban yang khas, semakin menguatkan auranya. Kiai Raden, begitulah masyarakat dan santri-santri memanggilnya.
“Khofi, umumkan pada kiai yang hadir agar tidak segera pulang ketika acara haul ini selesai. Suruh mereka berkumpul di ruang tamu. Ada hal penting yang ingin kubicarakan pada mereka,” perintahnya padaku yang sedari tadi setia duduk di sampingnya. Aku memang mengabdikan sepenuhnya diriku menjadi khadam Kiai Raden.
Tanpa basa-basi aku langsung menyampaikan pesan tersebut kepada para kiai yang hadir. Mereka membalas dengan anggukan penuh takzim.
Kiai Raden merupakan kiai sepuh yang disegani seluruh lapisan masyarakat, khususnya daerah Jawa. Ia sampai dijuluki “Sang Ksatria Kuda Putih” karena keberaniannya yang tak kenal takut dan rela mati ketika dulu melawan penjajah beserta antek-anteknya.
Ketika rentetan acara haul KH Ibrahim yang merupakan ayah Kiai Raden telah usai, jemaah membubarkan diri satu per satu. Begitu pun para santri, bergegas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Berbeda dengan lima belas orang,termasuk denganku yang berada di belakang mereka, yang terlihat berpakaian serba putih bergerombol menuju rumah Kiai Raden.
Kiai Raden tersenyum mendapati kehadiran mereka. Setelah semuanya dipersilakan duduk, ia memulai percakapan.
“Mohon maaf kalau saya mengganggu waktu santai kalian. Akan tetapi, persoalan ini lebih penting dari sekadar urusan keluarga apalagi harta, karena ini berkaitan dengan kepentingan agama.”
Semua yang hadir saling toleh kebingungan, begitu pun denganku. Akan tetapi, tidak ada yang berani bertanya apalagi menyela.
“Umurku sudah tidak lagi muda. Ada satu hal yang selama ini membuatku gelisah tak karu-karuan. Ini menjadi beban yang terus menerus menghantuiku. Makanya, saya mengumpulkan kalian agar sama-sama menikmati beban ini,” ujarnya dengan terkekeh membuat yang lain ikut tertawa. Mungkin ini cara untuk mencairkan suasana yang terlihat tegang.
“Dulu, ketika aku ingin boyong dari salah satu pesantren di Jombang, guruku menitipkan sebuah pesan padaku. Isinya, yaitu agar mendirikan lembaga yang secara khusus menggembleng para santri agar menjadi penerus perjuangan para ahli fikih yang mampu menjawab masalah-masalah baru dalam masyarakat. Mungkin guruku khawatir bahwa pada suatu saat nanti, umat Islam akan kehilangan orang-orang yang kompeten dalam mengurusi urusan keagamaan…”
Kiai Raden menghentikan sejenak perkataannya, sambil lalu menatap wajah-wajah penuh penasaran. Setelah menghirup napas panjang, ia kembali melanjutkan:
“Awalnya aku tak menanggapi serius pesan tersebut. Akan tetapi, akhir-akhir ini, guruku sering hadir dalam mimpiku seraya terus menerus menyuruhku untuk mewujudkan cita-citanya.”
Seketika semuanya menjadi paham ke mana alur pembicaraan Kiai Raden. Setelah dipersilakan berbicara, salah satu kiai dengan tubuh jangkung bertanya dengan penuh hati-hati:
“Mungkin, lembaga seperti apa yang ingin didirikan kiai? Bukankah dengan adanya pesantren yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan sudah cukup untuk mewujudkan cita-cita dari guru panjenengan?
Bukannya menjawab, Kiai Raden malah diam penuh ketenangan. Tampaknya, Kiai Raden tak ingin cita-cita ini terwujud hanya dengan semangat dan tekad diri sendiri. Ia ingin para kiai lainnya sama-sama memikirkan nasib pesantren ke depannya.
Keheningan melanda ruang tamu. Akhirnya para kiai sadar bahwa Kiai Raden menunggu tanggapan dari mereka. Tampak laki-laki dengan sorban yang dililitkan ke leher berdehem pertanda hendak berbicara.
“Saya rasa hal itu belum cukup. Saat ini, sama-sama kita sadari bahwa pesantren sudah disusupi oleh kurikulum pendidikan sekuler. Ini ada sisi negatif dan positifnya. Sisi negatifnya, konsentrasi para santri terhadap pelajaran agama Islam menjadi terbelah dan tidak intens. Sehingga untuk menciptakan seorang santri yang dapat dikatakan seorang fakih terbilang cukup sulit. Karena syaratnya harus menguasai tentang ilmu nahu, saraf, dan fikih-fikih dasar harus benar-benar matang di luar kepala. Dan untuk saat ini, harapan itu rasa-rasanya hanya dapat terwujud dengan adanya lembaga pesantren yang secara khusus mengader para santri untuk mewujudkan hal itu,” ujarnya.
Dirasa kurang puas aku memberanikan diri untuk turut andil mengeluarkan isi kepala.
“Mohon maaf sebelumnya para kiai. Tapi memang apa yang dikatakan sebelumnya cukup masuk akal. Apalagi saat ini banyak kiai-kiai alim yang telah berpulang ke Rahmatullah. Jika hal tersebut tidak dibarengi dengan usaha mencetak kader-kader ahli fikih yang mumpuni, maka ini mengkhawatirkan bagi berjalannya dakwah Islam. Ditakutkan nantinya akan lahir orang-orang yang tak paham agama tapi berani memberikan fatwa,” kataku dengan kepala sedikit menunduk.
“Setuju. Saya sangat setuju atas inisiasi dan terobosan dari Kiai Raden. Pokoknya rencana ini tidak boleh gagal dan harus dilaksanakan sesegera mungkin,” timpal salah satu kiai seraya mengepalkan tangannya ke udara. Ia terlihat sangat optimis atas program ini.
Akhirnya, para kiai mufakat atas usulan Kiai Raden untuk membangun lembaga takhassus yang mampu mencetak kader-kader ahli fikih. Kiai Raden sendiri tampak manggut-manggut mendengar keputusan akhir.
Akan tetapi Kiai Raden tidak lantas puas dan mengiyakan keputusan yang dihasilkan. Menurutnya ini hanyalah proses awal dari rencana mulianya tersebut.
“Khofi, kamu saya tunjuk menjadi ketua tim. Pilih sembilan kiai yang hadir dalam forum ini untuk mendampingimu. Selama sebulan ke depan, tugas kalian adalah mensosialisasikan rencana ini pada para kiai yang tersebar di pelosok-pelosok negeri. Tampung semua usukan dan saran yang muncul dari mereka,” ujar Kiai Raden sambil menatapku dengan penuh keyakinan.
“Sementara, aku akan berangkat ke Tanah Haram untuk berdiskusi pada ulama di sana. Diri ini belum yakin sepenuhnya jika belum mendapat restu dari ulama Makkah-Madinah,” Kiai Raden melanjutkan.
Aku yang sedang asyik menyeruput teh hampir saja tersedak mendengar titahnya. Bagaimana bisa, aku yang hanya guru dan khadam dl pesantren ini menjadi pemimpin dari orang-orang di hadapanku, yang reputasinya sudah tak diragukan lagi. Selagi pertanyaan masih berputar-putar di kepalaku, Kiai Raden beranjak dari kursinya. Kami lantas segera berdiri takzim sampai Kiai Raden menghilang, masuk ke dalam kamarnya.
Dengan keteguhan hati, aku segera melaksanakan tugas yang telah diamanatkan padaku. Sebenarnya tugas ini tidak terlalu berat jika dibandingkan tugas dari Kiai Raden yang rela melakukan perjalanan jauh meninggalkan pesantren demi misi mulia ini. Memimpin sembilan orang kiai, itulah yang membuatku merasa cangkolang.
Sebulan berlalu. Aku beserta sembilan kiai lainnya telah selesai melaksanakan perintah Kiai Raden. Tak ada kendala berarti. Semua kiai yang kutemui memberikan kesan yang sama, setuju atas inisiasi ini.
Begitu pun dengan Kiai Raden yang baru tadi pagi datang dari kunjungannya ke tanah suci menceritakan padaku bahwa usulannya diterima dengan baik oleh ulama di sana.
Keesokannya, selepas Isya kami berkumpul kembali di tempat yang sama untuk berembuk terkait langkah selanjutnya. Di sela-sela suara zikir yang terdengar masih nyaring berasal dari pengeras suara masjid pesantren, suara pacak Kiai Raden mulai terdengar pertanda telah selesai mengimami salat di masjid.
“Bagaimana proses sosialisasi yang kalian lakukan? Apakah ada kendala serius?” tanya Kiai Raden memecah keheningan di ruang tamu.
Aku sebagai ketua tim langsung merespon pertanyaannya. Dengan badan sedikit membungkuk, aku menyerahkan selembar kertas putih yang berisi tanda tangan dari seluruh kiai yang telah dimintai persetujuan. Sambil memutar tasbih antiknya, dengan seksama Kiai Raden melihat isi dari kertas yang kuberikan.
Mata Kiai Raden mulai berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa seluruh kiai mendukung usulannya. Spontan, ia berdiri dan berteriak dengan suara parau:
“Mun la olle restu deri olama’ Mekkah ben Kyaeh laennah, tadek burungnga mokkak lembaga riah. Ajeri santre jerea Fathul Qorib ben Fathul Muin. Alim tang santreh, alem! Alem! Alem.”
Aku dan para kiai yang hadir terkesiap tatkala mendengar teriakan Kiai Raden. Rasa bangga karena bisa mewujudkan impian guruku menyusup ke sendi-sendi tubuhku. Mataku pun ikut memerah melihat pemandangan yang menyejukkan jiwa. Terbayar lunas sudah rasa lelah satu bulan perjuanganku yang blusukan ke daerah-daerah terpencil di pelosok Nusantara.
Selanjutnya, Kiai Raden menghubungi seluruh masyayikh se-Jawa dan Madura untuk melanjutkan diskusi tahap terakhir terkait penetapan kurikulum, persyaratan untuk masuk ke lembaga ini, serta siapa saja tenaga pengajar yang akan dipilih.
Dari musyawarah yang dilaksanakan dari selepas Isya’ hingga larut malam ini ada beberapa hal yang disepakati. Salah satunya tentang Fathul Muin dan Fathul Wahab yang dijadikan acuan kitab pokok dalam bidang fikih. Ghayatul Wushul dan Jam’ul Jawami’ yang terkenal lumayan sulit mendampingi sebagai kitab usul fikihnya. Sementara itu, terdapat sekitar dua puluh nama kiai yang tersebar dari berbagai kota mendapatkan mandat untuk mengajar.
Tiga bulan berlalu, proses belajar mengajar di lembaga takhassus ini berjalan sesuai rencana. Tiga ratusan santri yang lulus seleksi menempati asrama khusus yang baru rampung dibangun. Mereka inilah yang digadang-gadang kelak menjadi penerus perjuangan Nabi dan para ulama.
Hari-hari dilalui Kiai Raden dengan wajah sumringah. Selama sepuluh tahun mengabdi padanya, baru kali ini aku merasakan ada hal lain yang terpancar darinya. Akan tetapi, wajah yang penuh kebahagiaan itu tak lama bisa kusaksikan. Pasalnya, akhir-akhir ini Kiai Raden sering sakit-sakitan yang membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang kamarnya.
Suatu waktu, saat aku sedang mengantar makanan ke kamarnya, Kiai Raden memanggilku:
“Khofi, sekarang saya benar-benar bahagia. Saya tidak punya tanggungan utang lagi pada guru saya. Aku menitipkan lembaga ini padamu. Ajari para santri dengan penuh telaten dan kesabaran. Percayalah, santri-santri saya akan alim.”
Aku menjadi salah tingkah mendapati perkataan yang tiba-tiba tersebut. Entah ini pertanda baik atau buruk, aku juga tak tahu.
Akan tetapi, semua teka-teki dan kebingungan yang ada di hatiku terjawab pada keesokan malamnya, ketika Kiai Raden sedang mengisi pengajian kitab Fathul Wahab yang rutin dilakukan bakda Maghrib hingga menjelang Isya. Ditemani cahaya lampu teplok dan purnama yang memancarkan cahaya redup, aku dan para santri yang lulus seleksi mendengarkan dengan seksama makna dan penjelasan darinya.
Sesekali suara batuk terdengar mengiringi pengajian. Meski sudah banyak yang menganjurkan agar beristirahat dan mewakilkannya pada pengurus yang lain, Kiai Raden bersikeras untuk istikamah mengajar. Aku dan para santri lainnya dibuat tak tega melihatnya.
Kiai Raden memang keras ketika berurusan dengan masalah pesantren apalagi soal mengajar. Bahkan, tamu yang datang dari jauh pun akan diabaikan ketika waktu mengajar telah tiba. Pernah suatu ketika gurunya yang datang dari daerah Jawa Barat menunggu hampir dua jam karena santri yang lain tak ada yang berani matur pada Kiai Raden yang sedang asyik mengajar kitab kuning.
Tak terasa azan Isya’ telah berkumandang membuat pengajian terhenti, dan Kiai Raden pun menutup kitabnya. Aku dengan sigap menuntun kursi rodanya untuk kembali ke kamarnya. Saat diri ini ingin kembali ke masjid untuk menggantikan peran Kiai Raden menjadi imam, terdengar suara teriakan histeris berasal dari rumah Kiai Raden. Aku yang panik langsung putar badan mencari tahu asal suara. Hati dan pikiranku menjadi bergemuruh tak karuan. Pikiranku juga melayang ke mana-mana memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.
Ketika belum sampai ke tujuan, tak sengaja aku berpapasan dengan salah satu santri yang terlihat baru saja datang dari ndalem. Dari gelagatnya, ia terlihat sangat berantakan. Aku yang tak sabar langsung menanyakan kejadian apa yang telah terjadi di rumah Kiai Raden. Dengan napas yang menderu, ia berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaanku meski dengan kalimat yang terbata-bata.
“Anu Kang, Kiai Raden. Kiai Raden baru saja meninggal. Sudah dulu ya Kang, aku disuruh untuk mengumumkannya di masjid pesantren,” jawabnya dengan gugup, lalu tiba-tiba menghilang dari hadapanku.
Seketika diri ini menjadi hilang kendali. Tubuhku ikut berlutut ke tanah seolah tak memiliki tulang-belulang. Air mataku tiba-tiba mengucur dengan deras. Sang Mujahid Kabir itu telah berpulang dengan tenang, mewariskan Lembaga Kader Ahli Fikih yang kelak menjadi tumpuan umat untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan keagamaan.
Kini beban itu beralih ke pundakku. Meski tak mudah, aku berjanji dengan segenap jiwa dan raga akan menjaga dan melestarikan warisan yang mengorbankan perjuangan dan keringat banyak kiai, lebih-lebih guruku, Kiai Raden.
Sukorejo, Senin, 28 Oktober 2024.