Banyak orang menyebutku seorang petualang. Itu karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan komunitas motorku. Dari satu desa ke desa lainnya, melingkar luar kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga menyeberangi pulau. Rasa penasaranku akan kehidupan yang membuatku nyaman menjalani hidup seperti ini.
Ijazah sarjana pertanian nampaknya malah membuatku sering menyusuri debu jalanan, bukan rangkaian tanaman.
Sebagai keluarga keturunan petani dari generasi ke generasi, tampaknya itulah alasan bapak-ibu menyekolahkanku di jurusan pertanian. Sedang aku, sebagai anak tunggal, hari-hariku malah lebih banyak di depan layar televisi, gadget, melakukan perjalanan, atau terkadang mengurung diri di kamar sembari membaca buku-buku sastra.
Kalaupun terpaksa turun ke sawah, aku hanya mengantarkan bekal makanan untuk para pekerja tetap di sawah bapak. Kalaupun hatiku lagi berdamai, sekadar berbaik muka, aku pun akan menanyakan keadaan keluarganya, apa yang ditanam, bagaimana cara menanamnya, hingga kapan panennya.
Aku pun masih tidak paham cara membaca cuaca para petani desa untuk mengawali musim tanam. Aku pun tidak tahu filosofi mengapa orang menanam padi harus mundur teratur. Aku pun tak habis pikir mengapa para kuli bapak masih setia mengabdi meski harus di sawah dari pagi hingga sore dengan upah empat puluh ribu rupiah saja. Padahal, itu sama dengan uang jajanku sehari pada masa itu.
Setelah lulus sarjana, tak lantas aku turun ke sawah. Aku cerdas dan punya banyak akal meski itu hanya menurut pandanganku saja. Aku panggil Pak Saidi, kuli sekaligus teman akrab bapak yang paling lama dan berpengalaman untuk memimpin pekerjaan di sawah. Mulai tanam, perawatan, pemumpukan, panen, pascapanen kuserahkan sepenuhnya pada Pak Saidi. Sampai saat ini pun, aku tak hafal semua petak-petak sawah milik bapak. Aku sudah sangat percaya dengan Pak Saidi untuk mengurusnya.
Aku malah memilih untuk menunggu lamaran kerja sebagai abdi negara di kementerian atau dinas daerah. Bersih, terjamin, dan disegani pikirku; jika aku menjadi seperti itu. Tak perlu berpanas-panasan, kaki pecah-pecah sering berkawan dengan lumpur dan tanah, atau tangan kapalan karena terlalu lekat dengan cangkul dan sabit.
“Bagaimana panen kita tahun ini Pak Saidi?” tanyaku.
“Alhamdulillah Mas Hanif. Bagus sekali,” jawab Pak Saidi.
“Berapa kira-kira seluruh keuntungannya?”
“Ya. Mungkin cukuplah untuk membeli mobil keluarga keluaran terbaru.”
Aku tertegun melihat jawaban Pak Saidi. Aku pun mulai merasa harus mengakui kehebatan Pak Saidi. Bagaimana bisa, di sebuah desa kecil seperti ini, hasil pertaniannya ternyata luar biasa. Yang tak habis pikir lagi, bagaimana Pak Saidi yang terlalu setia bertahun-tahun lamanya melihat ratusan juta hasil panennya, sedangkan selama ini bapak hanya menggajinya seumumnya saja.
“Pak Saidi sudah tahu dari dulu hasil sawah kita bisa sebesar ini?” tanyaku lagi untuk menjawab rasa penasaranku.
“Iya. Ada apa Mas Hanif berpikiran seperti itu?” tanya balik Pak Saidi.
“Pak Saidi ikhlas digaji tak seberapa bertahun-tahun lamanya?”
Bu Khusnul, istri Pak Saidi, yang sedari tadi mencabuti rerumputan pun segera beranjak. Bu Khusnul bercerita tentang kebaikan bapak yang selalu disembunyikan dari pandangan banyak orang, salah satunya dari anaknya. Bu Khusnul mengatakan kalau bapak selalu membayar pekerjanya umumnya saja karena ingin menghargai petani lainnya, apalagi kebanyakan hanya petani kecil. Jika upah dinaikkan atau dilebihkan, tentu petani-petani kecil kehilangan pekerja apabila memerlukan.
“Lalu, apalagi tentang Bapak?”
Diceritakannya lagi kalau bapak senang berderma. Masjid, musala, dan madrasah desa selalu menjadi langganan pelarian hartanya. Belum lagi kalau ada warga yang sakit, bapak ibu selalu menyelipkan ratusan ribu untuk membantu biaya pengobatan.
“Lalu, ke Pak Saidi?”
“Alhamdulillah, bapakmu selalu menyelipkan sesuatu untuk anak-anak bapak. Kalau musim kembali ke pesantren atau awal ajaran baru. Sekolahkan anak-anakmu yang tinggi pesan, bapakmu dulu,” jawab Bu Khusnul mulai menitikkan air matanya.
Aku mulai menemukan simpul dari semua ini. Pantas saja aku tak menemukan kemewahan di rumah ini. Semua tampak biasa-biasa saja. Aku pun juga; barang-barang pemberian bapak ibu sewajarnya saja. Sebagai anak pemilik setengah luas sawah di desa dan ratusan juta per tahunnya, hampir tak pernah kulihat bapak ibu membeli barang yang kelewat mahal harganya.
“Pak Saidi juga masih sekolah anak-anaknya?”
“Yang pertama sudah berkeluarga. Yang kedua masih kuliah semester akhir sambil mondok di pesantren dekat kampusnya, tetapi sesekali pulang ngurusi organisasi di desa ini. Yang terakhir masih madrasah aliyah.”
Aku mulai yakin bahwa sawah sudah dipimpin oleh orang yang tepat dan bertanggung jawab. Sosok Pak Saidi dan Bu Khusnul yang sederhana dan bisa dipercaya. Apalagi setelah Bu Khusnul memberikan catatan lengkap seluruh biaya dan hasil panen dari sawah-sawah yang dikelola.
“Apa pesan bapak ibuku dulu semasa hidup?” tanyaku seketika tanpa berpikir panjang.
“Bapak ibu selalu memikirkan dan membicarakan Mas Hanif. Maka Bapak merasa bersyukur dipercaya mengurusi sawah-sawah ini,” jawab Pak Saidi.
“Ada satu lagi sebenarnya. Tapi kami tak ingin memberitahukannya,” ujar Bu Khusnul menyela.
Pak Saidi langsung mencubit istrinya. Aku hanya terdiam saja dan tak berusaha mengorek ceritanya. Aku ingin yang memang rahasia biarlah menjadi rahasia tanpa mengundang tanya.
“Bu Khusnul, boleh saya tanya tentang warga di desa ini?” pikiranku justru mengarah pada seorang gadis yang berpapasan di masjid kemarin
“Oh tentu saja boleh. Asal jangan pertanyaan saya tadi,” perkataan itu diiringi dengan cubitan Pak Saidi lagi.
Aku pun menceritakan pertemuanku dengan seorang gadis desa. Mahasiswa tingkat akhir sebuah kampus terkenal di Yogyakarta. Ya, aku mulai mengaguminya. Sebagai mantan Ketua IPPNU, dan kini berkiprah di Fatayat, ia sering aktif berkegiatan di desa. Apalagi saat ia memberikan semacam nasihat atau ceramah; tema-tema ringan, kekinian, dan menyentuh hati para remaja yang membuat aku dan mungkin lelaki di desa ini malah terpesona.
“Hanif ingin menikah. Ada gadis desa ini yang mengusik hati Hanif,” kataku agak tersipu malu.
“Alhamdulillah kalau begitu. Tentu kami malah setuju,” kata Bu Khusnul.
“Saya minta bapak ibu sebagai wakil bapak untuk melamar gadis itu.”
“Kalau boleh tahu, siapa nama gadis desa itu?” tanya Pak Saidi.
“Namanya Ayuna. Saya belum tahu di mana tinggalnya. Yang pasti, Hanif sudah yakin dengannya dan ingin langsung menikahinya.”
Pak Saidi dan Bu Khusnul nampak kebingungan. Keduanya saling pandang dan tercengang seakan ada sesuatu yang begitu besar menimpa kepalanya. Keduanya memilih menjauh dan berdiskusi tanpa aku tahu isi perkataannya.
“Ada apa Pak Saidi? Ada apa Bu Khusnul?” aku meluncurkan kebingunganku.
Keduanya memilih mengakhiri pembicaraan kali ini. Menutup begitu saja dua rahasia dan tanya yang terlontar di antara kami bertiga. Aku pun enggan memaksa. Kubiarkan keduanya pulang ke rumahnya dalam temaram caya rembulan dan dingin angin.
“Lek Firman, aku ingin melamar seorang gadis di desa ini. Bisakah Lek Firman membantuku?” tanyaku pada Lek Firman, pamanku dari garis keturunan ibu.
“Kamu ingin melamar siapa? Hampir tidak akan ada perempuan yang bisa menolakmu. Kamu itu tampan, mapan, sarjana, apalagi harta peninggalan orang tuamu yang begitu banyaknya.”
“Tadi Hanif mengatakan maksudku ini malah ditinggalkan oleh Pak Saidi dan Bu Khusnul.”
“Memangnya siapa gadis itu?”
“Tapi janji ya Pak Lek akan membantu saya. Tidak akan seperti Pak Saidi?”
“Iya Hanif. Bagaimanapun, kamu juga merupakan tanggungan kewajibanku. Siapa nama gadis itu?”
“Ayuna.”
Lek Firman malah tertawa terpingkal-pingkal. Ia tak segera menjawab pertanyaanku. Dibiarkannya aku yang terus dalam kecamuk pertanyaan dan rahasia. Setelah puas menertawakan kebingunganku, akhirnya dia mulai bercerita.
“Memang beruntung sekali nasibmu Hanif. Dan mungkin tak lepas dari kebaikan bapak ibumu semasa hidup dulu.”
“Memangnya apa yang terjadi Pak Lek?”
“Ayuna itu memang luar biasa. Sudah lengkap sekali bekalnya kalau menjadi seorang istri mulai agama dan ilmunya. Dan lagi, sudah 20 juz hafalan Quran-nya.”
“Lalu? Apa aku yang tak pernah mondok ini tidak pantas mendapatkannya?”
“Ya jelas lamaranmu diterima. Memang itu sudah keinginan bapak-ibumu semasa hidup dulu punya menantu ahli ibadah. Apalagi orang tua gadis itu sudah sangat dekat dengan keluargamu.”
“Memangnya siapa Pak Lek?”
“Ya orang yang kamu curhati tadi. Itu orang tua Ayuna.”
Aku mulai bisa menyimpulkan kebingungan Pak Saidi dan Bu Khusnul tadi. Aku pun mengaitkan wasiat bapak yang enggan disampaikan untukku. Dan aku mulai bisa membaca, saat rembulan sedang terang-terangnya di tanggal 15 Dzulhijjah ini, besok pagi matahari pun akan bersinar dengan sempurna. Meski fenomena mbediding ini bisa lebih lama dan tidak terprediksi berakhirnya. Tapi aku semakin yakin, paling tidak hari raya tahun depan aku sudah bersama Ayuna.