Kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Edward Burnett Tylor).
Mohammad Hatta, melalui Kongres Kebudayaan pertama tahun 1948 di Magelang, dalam pidatonya menyatakan bahwa “Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian dari kebudayaan.”
Baru mereda kasus penendangan sesajen di kawasan erupsi Semeru yang menganggap dapat mengundang murka Allah SWT, baru-baru ini mencuat persoalan baru yang tidak kalah pelik. Budaya dan agama kembali dibenturkan seolah sesuatu yang berseberangan.
Sebuah video pendek berdurasi kurang dari dua menit tersebar di media sosial menunjukkan potongan ceramah seorang ulama kondang, Khalid Basalamah, Lc., M.A. yang menjawab pertanyaan dari jemaah kajiannya tentang tobat seorang dalang dan hukum wayang. Beliau menjawab permainan wayang dilarang dalam ajaran agama Islam. Jika ingin tobat bisa dengan tobat nasuha. Jika memiliki wayang lebih baik dimusnahkan, dalam arti kata dihilangkan.
“Wayang merupakan peninggalan nenek moyang yang bisa dikenang sebagai tradisi orang dulu. Tetapi, bukan berarti harus dilakukan karena dalam Islam dilarang sehingga harus ditinggalkan,” ujar Ustaz Khalid Basalamah dalam video tersebut.
Pernyataan tersebut menuai kecaman dari pelbagai pihak. Pun kontras dengan undang-undang yang telah menjamin pemajuan kebudayaan. Lebih-lebih wayang telah diakui menjadi Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya yang indah dan berharga oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003.
Sebagaimana Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Keberadaan budaya dan tradisi tidak cukup dengan dikenang saja. Budaya adalah suatu elemen yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat suatu bangsa. Apa jadinya bila budaya sekadar dikenang tanpa adanya upaya dan kesadaran untuk melestarikan? Hilangnya jati diri bangsa menjadi konsekuensi logis akibat pasifnya setiap elemen masyarakat dalam menjaga identitas dirinya sebagai bangsa yang besar karena budayanya.
Bung Karno pernah berkata, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya ini.”
Pernyataan tersebut sempat dijadikan isu politik, dan mendiskreditkan ajaran Bung Karno itu sendiri. Melalui pernyataannya bukan berarti Bung Karno menolak agama sebab beliau adalah orang yang beragama. Kalimat terakhir yang berbunyi, ‘Tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya ini’ menekankan bahwa ajaran agama dan ketauhidannyalah yang harus ditempuh dipatuhi setiap umat. Bukan mengikuti kebudayaan bangsa lain, seolah Indonesia adalah bangsa yang tidak memiliki jati diri.
Bila dilihat dari sudut historis, sejarah masuknya agama ke bumi nusantara menggunakan pendekatan budaya. Agama Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan diterima karena adanya persamaan kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan nusantara. Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa melalui pendekatan kultural, salah satunya menggunakan media wayang. Di dalam kesenian wayang Sunan Kalijaga mengajarkan nilai-nilai tasawuf. Ia memunculkan ajaran Islam melalui watak dari tokoh-tokoh dalam pewayangan. Akulturasi budaya inilah yang menjadikan agama Islam dapat diterima masyarakat dengan cara yang elegan.
Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang ramah, terbuka, bangsa yang mudah membaur dengan adat dan kebudayaan lain, dan bisa menerima kultur serta budaya asing, namun tetap mempertahankan identitas budayanya sendiri, yang membentuk identitas suatu bangsa. Identitas nasional sendiri pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Melalui ciri yang khas tersebut suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain.
Hal yang perlu dilakukan adalah menjaga keberagaman, menebarkan nilai-nilai agama dengan tidak mengusik keberadaan tradisi dan budaya yang sudah hidup ratusan tahun. Sebaliknya, jangan sampai budaya mengingkari nilai-nilai agama yang pokok. Kedua aspek harus berjalan beriringan menjadi kesatuan yang membentuk kekuatan dan kekayaan Bangsa Indonesia.
Kembali pada permasalahan wayang, semua kepada konteksnya. Apabila media wayang digunakan untuk kemaksiatan, sesuatu berbau kesyirikan, tentu hal ini dilarang dalam Islam karena dapat menyekutukan Allah SWT. Namun, sebaliknya apabila wayang digunakan sebagai hiburan, upaya pelestarian budaya, dan sarana dakwah, hal ini mubah adanya. Segala sesuatu tidak dapat dipukul rata tanpa mempertimbangkan aspek lainnya.
Menyikapi budaya dalam negeri yang kaya raya akan budaya ini tidak bisa dilakukan dengan hanya memandang dari satu sisi saja. Bentuk kedewasaan berpikir adalah memandang segala sesuatu melalui pandangan objektif, bukan mengedepankan pandangan subjektif semata.
Wayang tidak serta-merta akan musnah hanya karena diharamkan atau dilarang. Tetapi, wayang akan musnah bila generasi mudanya enggan melestarikan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Rasa cinta dan bangga akan budaya Indonesia sudah semestinya senantiasa dipelihara, bukan sekadar dikenang tanpa melakukan tindakan apa-apa. Sebab, dengan terjaganya eksistensi budaya yang berbasis dan mengakar masyarakat akan makin memperkuat identitas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya.