Saat penulis selesai berdiskusi dengan salah seorang teman yang paham dengan sejarah dan budaya jawa, Penulis merasa penasaran dengan wayang dan mulai membincangkannya dengan teman penulis tersebut.
Wayang, dalam pandangan teman penulis tersebut, bagi banyak orang ternyata tak hanya sebatas nguri-nguri budaya peninggalan nenek moyang. Melainnkan, kita haruslah setuju untuk ngurip-ngurip wayang itu sendiri.
Penulis yang mencoba memahami makna “nguri-nguri dan ngurip-ngurip”, sebenarnya memiliki pandangan yang berbeda namun berjalan berkesinambungan. Nguri-nguri mempunyai makna menjaga atau melestarikan, sedangakan ngurip-ngurip memiliki makna yang lebih luas, yaitu menghidupkan.
Kesenian wayang ini tak cukup hanya diceritakan dari mulut ke mulut, namun juga harus ditanggap atau dipentaskan sebagai sarana pengenalan budaya. Sedangakan, ngurip-ngurip wayang sebagai bentuk penjiwaan antara wayang itu sendiri dengan dalang ataupun para penonton kesenian wayang sehingga menghasilkan celetukan makna filosofis tentang seni dalam kehidupan.
Berbicara tentang makna filosofis dari pagelaran wayang, pastinya selain tak jauh dari nilai kehidupan, pasti juga dekat dengan nilai pendidikan yang memang telah menjadi sasaran para empu pembuat wayang. Entah wayang golek, beber, kayu, hingga katresnan yang kini eksis di tanah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Wayang Katresnan
Penulis tak terlalu dalam mempelajari seluk beluk atau asal muasal adanya wayang katresnan. Namun, penulis pernah menjumpai si empu pembuat wayang yang tinggal daerah Kecamatan Kandangan, Temanggung, yang bernama Ma’ruf atau biasa dipanggil Kang Ma’ruf.
Penulis terkadang bertemu dengan beliau walaupun tidak seintens yang mungkin dibayangkan pembaca. Penulis kerap bertemu dengan beliau di kedai kopi yang kebetulan menjadi salah satu tempat favorit penulis untuk sekadar menikmati kopi ataupun sebagai tempat diskusi-diskusi kecil dengan kawan. Lewat kedai kopi tersebut pula, tak dapat dimungkiri bahwa penulis sering merasakan aura dalang Kang Ma’ruf saat beliau memberikan wejangan seputar kehidupan hingga pernah sekali mengaitkan dengan sistem pendidikan kita.
Beliau pernah mengatakan kepada penulis tentang betapa prihatinnya beliau dengan kualitas pendidikan kita, di mana banyak siswa sekolah yang kurang menghormati guru, sekolah hanya dianggap sebagai tempat mencari ijazah, dan masih ada beberapa hal yang salah kaprah tentang sistem dan kualitas pendidikan yang dihasilkan oleh bangsa kita.
Hingga puncaknya, si empu pembuat wayang katresnan ini, Kang Ma’aruf, kurang lebihnya menyimpulkan bahwa semakin mudahnya ilmu dicari dalam era digital membuat guru kurang dihargai. Selain itu, kepekaan orang tua dengan keluh kesah guru juga semakin membuat kurang majunya sistem dan kualitas pendidikan bangsa kita.
Mungkin aura dalang beliau yang terpancar dalam memberikan wejangan dan solusi dalam menyikapi hal tersebut, sehingga mengantarkan beliau lebih dipercaya untuk menjadi koordinator paguyuban wali siswa sebagai wadah untuk mengatasi permasalahan yang menerpa siswa dengan strategi kolaborasi dengan guru.
Mitologi Pendidikan
Jujur, saya belum secara spesifik mempelajari tentang wayang katresnan ini. Namun, jika boleh sedikit beropini tentang wayang katresnan, maka penulis memiliki persepsi yang mungkin unik untuk digambarkan.
Dalam keterangan laman Kemendikbud.go.id, wayang merupakan cerita yang bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabarata yang kemudian dikembangkan dalam tradisi pertunjukan wayang. Wayang itu sendiri merupakan boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan cerita wayang (drama tradisional) di Jawa, Bali, Sunda, dan sebagainya yang biasa dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang dengan iringan musik tradisional gamelan.
Pertunjukan wayang biasanya menggunakan kelir, selembar kain sebagai pembatas antara dalang dan penonton. Tradisi seni pentas itu dikenal sebagai seni pedalangan. Aspek tuturan (cerita) dalam wayang terdiri atas narasi (wacana) dan dialog (antawacana) yang secara keseluruhan ditampilkan sebagai satu pertunjukan orkestra, biasanya berlangsung semalam suntuk.
Sedangkan, menurut Mbah Hadi, salah seorang sejarawan budaya Jawa, katresnan berasal dari bahasa Jawa tresno. Katresnan bisa dimaknai sebagai kecintaan. Beliau juga menambahkan jati dari kata penggalan sejati. Jika kemudian disambungkan menjadi katresnan jati, dapat diartinya sebagai kecintaan kita yang sejati.
Akhir kata, bukan maksud penulis tak ingin lebih panjang beropini tentang wayang katresnan gubahan Kang Ma’ruf. Lebih dari itu, penulis malah mengingat kesenian wayang katresnan di lingkungan desa Gesing dengan dalang Mas Huda dan Mas Rambat yang berasal dari Lesbumi NU Kandangan pada waktu itu.
Isi dari pagelaran “pementasan” wayang itu mengajarkan tentang nilai-nilai pendidikan dibungkus dengan hal ruhaniah “agama”. Pagelaran yang kebanyakan dihadiri oleh orang tua dan anak-anak itu mendapatkan pesan menyentuh lewat lagu Ilir-ilir karya Sunan Kalijogo.
Sesaat mendengar lirik “tak ijo royo-royo” yang mengandung arti dibuat tumbuh subur. Menekankan tentang penampilan pribadi muslim yang menyenangkan, sehat jasmani dan rohaninya. Dari benih ‘iman’ yang baik, dirawat dengan baik, maka tumbuh iman yang baik pula, yang dilambangkan dengan tanaman yang ijo royo-royo.
Selain itu, lirik tersebut menyimpan makna mendalam seputar nilai pendidikan, di mana saat seorang siswa telah mengenal iman, maka ia akan dengan sepenuh hati menghormati gurunya, orang tuanya, maupun lingkungan di sekelilingnya. Karena, dalam realitanya, rida Tuhan berada pada rida orang tuanya, jika di rumah orang tua kandungnya yang menjadi walinya, maka di sekolah gurunya menjadi orang tua atau wali di sekolah tempat ia menimba ilmu.