Siang itu, saya sedang makan di warung sembari menunggu pergantian jam kuliah. Sebuah adegan sinetron di televisi tiba-tiba menyita perhatian saya. Adegan itu memperlihatkan seorang lelaki menggendong seorang perempuan –yang diceritakan sebagai gebetannya– sambil berputar kegirangan. Keduanya tampak sedang menikmati waktu berdua di suatu tempat.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, hal-hal seperti inikah yang selama ini ditayangkan di layar televisi kita? Jika iya, maka tidak mengejutkan apabila banyak muda-mudi kita yang melakukan hal sejenis dan mempertontonkannya juga di media sosial.
Seketika saya teringat sebuah tulisan singkat yang menarik dari KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) di Majalah Suara NU Edisi Maret 2015. Saya lupa, apakah saya membacanya tepat pada tahun tersebut atau beberapa bulan setelahnya. Namun, saya masih ingat gambaran besar dari tulisan tersebut.
Dalam rubrik berjudul NU-Siana, Gus Yusuf menulis sebuah cerita fiksi berjudul “Wedus Cap Kirik”. Karena teks lengkapnya tidak berhasil saya temukan di Internet, berikut saya ceritakan secara ringkas isi dari tulisan tersebut.
Alkisah, ada segerombolan gentho kelaparan yang sedang nongkrong di poskamling. Pimpinan gentho ini bertanya kepada bawahannya, apakah mereka mau makan sate kambing? Para gentho tersebut seketika tertawa. Mereka berpikir, bagaimana bisa mereka mendapatkan seekor kambing jika sekadar nasi untuk mengganjal perut saja tidak ada. Sang pimpinan kemudian menjelaskan rencana yang muncul di otaknya. Mendengar rencana tersebut, para gentho kelaparan ini manggut-manggut tanda setuju.
Esok harinya, seorang santri ndeso berjalan menuntun seekor kambingnya ke pasar. Ia berniat menjual kambing tersebut. Di tengah jalan, salah seorang gentho mencegatnya dan bertanya, dengan harga berapa kirik (anak anjing) tersebut hendak dijual. Sang santri sontak menjawab bahwa yang ia bawa adalah kambing, bukan kirik. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menuju pasar.
Beberapa langkah kemudian, muncul lagi seorang gentho yang lain menanyakan hal yang sama. Santri ndeso ini menjawab dengan jawaban yang sama pula. Kejadian ini terus berulang hingga beberapa kali.
Pada mulanya, santri ini masih yakin bahwa hewan yang ia bawa adalah kambing, bukan kirik. Namun, setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan yang sama dari beberapa orang yang berbeda, keyakinan tersebut mulai goyah juga. Ia mulai meragukan apakah hewan yang ia bawa benar-benar kambing atau justru kirik.
Setibanya di pasar, seorang gentho mendekatinya dan menanyakan hal yang sama, berapa harga kirik tersebut. Sang santri akhirnya menyerah dan mengubah pendiriannya. Ia kini meyakini bahwa hewan yang ia bawa bukanlah kambing, melainkan kirik.
Karena santri ini orang yang paham hukum, ia tahu benar bahwa kirik itu najis dan jual-beli barang najis itu tidak sah. Daripada mengambil uang haram dari penjualan yang tidak sah, ia memilih untuk menyerahkan hewan yang ia bawa secara cuma-cuma.
“Sudahlah, Kang. Ternyata hewan yang saya bawa ini memang bukan kambing, tapi kirik. Tidak usah mbayar, ambil saja,” ujar santri tersebut sambil pasrah.
Sang gentho pun menerima tali yang mengikat leher kambing tersebut dan membawanya pergi. Sesampainya di markas, ia disambut dengan meriah oleh kawan-kawannya. Mereka bersorak-sorai merayakan kemenangan mereka atas seekor kambing tersebut. Pemimpin kawanan gentho pun menyeru,
“Mari kita berpesta menikmati sate wedus cap kirik!”
Di akhir tulisannya, Gus Yusuf menganalogikan kisah tersebut dengan masyarakat awam. Pada awalnya, mereka yakin bahwa tradisi yang mereka lakukan seperti yasinan, tahlilan, dan istighasah adalah hal yang benar. Akan tetapi, pendirian mereka bisa goyah jika terus-menerus mendapat seruan bahwa hal-hal itu adalah bidah dan harus ditinggalkan. Sama seperti santri ndeso dalam cerita tersebut yang pada akhirnya menyerah dan ikut meyakini bahwa hewan yang ia bawa adalah kirik.
Dari cerita tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sebuah pengulangan (propaganda) bisa mempengaruhi keyakinan tentang suatu kebenaran. Informasi yang disampaikan secara berulang-ulang akan lebih mudah diterima daripada informasi baru.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Aumyo Hassan dan Sarah J Barber menunjukkan bahwa partisipan menilai tingkat kebenaran suatu pernyataan lebih tinggi setelah pernyataan tersebut diulang beberapa kali daripada sebelumnya. Pengulangan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada keyakinan seseorang tentang kebenaran sesuatu.
Istilah untuk fenomena ini adalah “illusory truth effect” (efek ilusi kebenaran). Seseorang sangat mungkin memercayai sebuah informasi yang salah sebagai kebenaran setelah terpapar informasi tersebut berulang-ulang. Hal ini disebabkan manusia cenderung meyakini sesuatu yang terasa familiar baginya, alih-alih sesuatu yang baru. Sesuatu yang terus diulang lama-kelamaan akan menjadi terasa familiar sehingga dapat menjadi sebuah ‘kebenaran’ baru.
Meski pembahasan Gus Yusuf dalam tulisan tersebut terkait dengan pandangan masyarakat awam terhadap tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, saya melihat tulisan tersebut bisa dibawa ke konteks normalisasi suatu hal yang dulu dianggap kurang etis.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, informasi salah yang disampaikan berulang-ulang dapat diyakini sebagai kebenaran. Menurut saya, begitu pula hal buruk yang disuarakan secara terus-menerus. Ia bisa tampak menjadi sesuatu yang normal, bahkan baik. Apalagi jika banyak orang yang mendukung dan melaksanakan hal buruk tersebut.
Normalisasi semacam ini dapat kita temukan perwujudannya dalam perilaku kawula muda zaman sekarang. Salah satu contohnya adalah adegan yang saya ceritakan di awal tadi. Saat ini, jamak ditemukan laki-laki yang bepergian berdua dengan gebetannya. Mereka berboncengan, bergandengan tangan, bahkan dalam beberapa kasus hingga menggendong atau berpelukan. Padahal, status keduanya adalah bukan mahram dan belum menjadi pasangan sah.
Menurut norma di masyarakat maupun ajaran agama, hal-hal semacam itu adalah sesuatu yang buruk, bahkan salah. Akan tetapi, karena dilakukan oleh banyak orang dan dipublikasikan melalui berbagai perantara seperti konten media sosial dan tayangan televisi, ia terlihat sebagai hal yang normal dan wajar. Orang-orang tidak lagi merasa malu untuk melakukannya, lalu ikut menyebarkannya juga di akun pribadi mereka.
Tayangan televisi dan konten media sosial memiliki peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu hal. Keduanya mampu membuat sebuah standar kenormalan yang dikehendaki untuk berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, baik-buruknya penilaian masyarakat terhadap sesuatu bisa jadi dipengaruhi oleh konten-konten yang sudah, sedang, atau hendak kita produksi dan bagikan.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip sebuah kalimat yang dinisbahkan kepada mantan Kanselir Jerman Joseph Goebbels: “Ulangilah kebohongan sesering mungkin, maka dia akan menjadi kebenaran.”
Catatan: Terimakasih saya ucapkan pada H. Muh. Mahsun, S.IP. atas unggahannya di X (https://x.com/h_mahsun/status/579783263721385984) yang mengingatkan saya akan edisi dan nama majalah yang memuat tulisan Gus Yusuf. Tanpa unggahan tersebut, saya hanya mampu menyebutkan bahwa tulisan tersebut dimuat di salah satu majalah NU karena keterbatasan ingatan saya.