Jawa, sebuah peradaban yang kental dengan kepercayaan pada dzat yang gaib, kepercayaan yang diwariskan secara turun menurun oleh para leluhur dan dijaga secara adat dengan implementasi pada kehidupan sehari-hari. Sehingga, peradaban ini mampu dirasakan oleh para keturunan secara langsung dalam lingkup yang lebih global.
Peradaban Jawa mengutamakan kemanusiaan daripada keberagaman. Masyarakat Jawa selalu mampu menjaga ketentraman sesama manusia, bahkan makhluk hidup lainnya. Ini dibuktikan dengan eksistensi masyarakat Jawa yang mampu menjaga alam daerah tempat tinggalnya, bukan hanya mengambil kemanfaatan darinya, melainkan juga menjaga kelestariannya.
Dalam buku Serat Dewa Ruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa yang disusun Yuhdi Aw ini, dijelaskan bahwa dalam peradaban Jawa, tradisi keilmuan biasanya diturunkan secara langsung maupun diabadikan dalam bentuk literasi. Beberapa keilmuan yang diturunkan dalam bentuk literasi dapat dijumpai hingga saat ini seperti serat, suluk, maupun bentuk-bentuk tulisan kuno lainnya.
Salah satu serat yang terkenal adalah Serat Dewa Ruci, yang mengisahkan perjalanan seorang manusia sehingga menemui ilmu sejati atau yang biasa disebut manunggaling kawula gusti. Banyak versi karangan Serat Dewa Ruci, namun yang akan saya resensi kali ini adalah Serat Dewa Ruci karangan Yasadipura I, yang merupakan keturunan dari seorang pujangga keraton terkenal, yakni Raden Ranggawarstito yang nasabnya menyambung hingga Sultan Hadiwijaya atau yang terkenal dengan julukan Joko Tingkir.
Dikisahkan, berawal dari perselisihan dalam persaudaraan antara Kurawa dan Pandawa, di mana Kurawa berjumlah 100 orang bersaudara yang dipimpin oleh sosok yang licik bernama Duryudana, sedangkan pandawa hanya berjumlah 5 bersaudara yang terdiri dari Yudhistira sebagai kakak tertua, Werkudara sebagai lakon dalam Serat Dewa Ruci, Arjuna, Nakula, dan Sadewa yang merupakan saudara kembar tiri dari ketiga saudara yang lain.
Yudhistira, Werkudara, dan Arjuna merupakan anak dari Dewi Kunthi, Sedangkan, Nakula dan Sadewa anak dari Dewi Arimbi. Pandawa Lima dan Kurawa memiliki satu bapak yang sama, yakni Raden Pandhu yang merupakan raja dari Kerajaan Astina. Semua anak dari Raden Pandhu memiliki guru yang sama, yakni Resi Drona yang notabene tokoh protagonis, namun menjadi antagonis yang nantinya akan dijabarkan dalam kisah.
Werkudoro atau biasa dikenal Arya Sena, merupakan nama sematan yang diambil dari kisah kelahirannya. Saat Werkudoro dilahirkan, seluruh tubuhnya terbungkus dalam cangkang yang sangat keras, yang tidak dapat dipecah oleh benda apa pun, sampai akhirnya didatangkan seekor gajah bernama Sena, di mana tubuhnya telah dimasuki oleh Bathara Bayu atau Dewa Angin yang memiliki kekuatan sakti mandraguna.
Sang gajah Sena yang telah dimasuki oleh Bathara Bayu itu pun menginjakkan kakinya pada bayi Werkudoro yang terlapisi oleh cangkang keras hingga pecahlah cangkang tersebut. Namun, saat itu pula jasad gajah Sena itu lenyap merasuk ke dalam bayi Werkudoro sehingga bayi tersebut langsung dapat berjalan layaknya anak kecil. Berangkat dari peristiwa inilah, nama lain Werkudoro menjadi Arya Sena.
Arya Sena yang tubuhnya telah dimasuki oleh Bathara Bayu itu pun menjadi sakti sejak kecil. Namun, Arya Sena tidak melulu menjadi sombong dengan apa yang dimilikinya. Arya Sena tetap berguru kepada Resi Drona layaknya saudara yang lain. Sang Resi Drona mengetahui bahwa Arya Sena memiliki kekuatan lebih dari saudaranya yang lain, sehingga si Resi menaruh perhatian lebih pada Arya Sena. Di samping memiliki kelebihan berupa kesaktian, Arya Sena juga memiliki rasa tawaduk dan rasa hormat yang tinggi pada sang guru. Apa pun titah dari guru, maka akan dilaksanakan oleh Arya Sena, meskipun nyawa sebagai bayarannya. Karena sifat inilah Arya Sena memiliki sifat ambisius dengan perintah sang guru, apa pun yang menghalangi akan tetap dilawan karena saking hormatnya pada sang guru.
Sementara Duryudana, pemimpin dari Kurawa yang memiliki sifat licik, memanfaatkan sifat Werkudoro ini dengan harapan Werkudoro mampu menghilang dari bumi, sehingga kekuatan Pandawa berkurang. Siasat ini dilakukannya dengan sangat cerdik, yakni dengan memanggil Resi Drona di mana Werkudoro akan melakukan semua apa yang menjadi titah dari Resi Drona. Si Resi pun tidak mempu menolak, karena telah berikrar akan mengabdikan diri selamanya pada pemimpin Kerajaan Astina.
Dipanggilah Werkudoro oleh Resi Drona dan diberi tugas mencari tirta prawita sari –yang sebenarnya tidak ada di muka bumi ini. Alasanya, agar mampu mencapai ilmu sejati yang telah dinanti oleh Werkudoro. Resi Drona berkata bahwasannya air tersebut terdapat dalam gua dalam hutan di Gunung Tibrasoro dan Hutan Reksomuko.
Si Resi tidak mengatakan bahwa di dalam gua tersebut terdapat dua raksasa yang diharapkan mampu membunuh Werkudoro. Namun, dengan kesaktian dan keteguhan hati Werkudoro yang luar biasa, dua raksasa yang bernama Rukmala dan Rukmuka tersebut dibanting hingga akhirnya mati. Apa yang dicari oleh Werkudoro nihil. Werkudoro tidak menemukan tirta prawita sari yang dicari dan kembali ke Resi Drona untuk meminta petunjuk lagi mengenai keberadaan tirta prawita sari.
Sampai di hadapan Sang Resi, Werkudoro menceritakan apa yang telah dilakukannya selama mencari tirta prawita sari demi mendapat kesejatian hidup yang hasilnya nihil. Yang didapat bukan air keabadian yang dicari, malahan berhadapan dengan dua raksasa. Sang Resi Drona pun memberi petunjuk lagi yang lebih berat, yakni agar Werkudoro mencari tirta prawita sari ke tengah samudra tanpa menggunakan media apa pun, padahal Werkudoro tidak bisa berenang.
Berbekal keyakinan dan kepasrahan kepada dewata, Werkudoro pun melaksanakan titah tersebut tanpa pandang situasi maupun kondisi. Saudaranya mengingatkan bahwa dirinya telah ditipu oleh Resi Drona, namun Werkudoro tetap bersikukuh melaksanakan tugas demi mendapatkan ilmu sejati yang berwujud tirta prawita sari.
Wekudoro melesat dengan diiringi badai dan angin yang dahsyat di belakangnya karena Bathara Bayu yang bersemayam dalam dirinya ikut membantu dalam pencarian tirta prawita sari ini. Sehingga, para binatang dan pepohonan tunduk ketakutan dan memberi hormat kepada Werkudoro. Namun, di balik ketakutan tersebut, para makhluk ini berusaha memberi peringatan agar Werkudoro kembali saja, karena ini hanya tipu daya dari Resi Drona agar dirinya binasa.
Setelah melewati hutan, sampailah Werkudoro di pantai. Ombak didepannya seakan mengaung kepada Werkudoro mengingatkan agar mengurungkan tugas ini, namun di hati Werkudoro sudah tertanam tekad bulat. “Lebih baik mati daripada kembali tidak membawa apa-apa.”
Dengan keyakinannya Werkudoro masuk ke dalam samudra dengan disambut sesosok naga ular bernama Amburnawa yang memiliki tubuh sebesar anakan gunung. Dililitlah badan Werkudoro oleh naga ular tersebut hingga Werkudoro hampir mati, Werkudoro ingat akan salah satu pusaka kesaktiannya, yakni kuku pancanaka, maka dibunuhlah naga ular tersebut, hingga darahnya membuat merah air di sekitar tempat pertarungan.
Setelah kematian naga ular, datangah sesosok makhluk yang mirip dengan dirinya, hanya saja badannya berukuran sangat kecil, bahkan hanya seukuran jari kelingking Werkudoro. Makhluk inilah yang bernama Dewa Ruci, seorang dewa yang menjelma menjadi anak kecil. Dewa Ruci menyuruh Werkudoro agar masuk kedalam dirinya melalui telinga kirinya. Memang tidak masuk akal, bahkan Werkudoro pun ragu akan hal ini, karena masih menggunakan akalnya. Dewa Ruci pun mengingatkan agar tidak memakai akal dalam melakukan apa yang diperintahkannya, hingga Werkudoro pun mampu memantapkan hatinya dan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga kirinya, namun apa yang didapat hanyalah sebuah kekosongan. Tiada mata angin utara, selatan, timur, barat, arah atas bawah pun juga tidak ada. Dewa Ruci pun menjelaskan kepada Werkudoro, bahwa tirta prawita sari yang dicari itu tiada. Itu hanya simbol untuk ilmu sejati saja. Dan ilmu sejati yang dicari Werkudoro sudah ada di hadapannya, yakni kekosongan. Keadaan di mana tidak ada apa-apa lagi kecuali dirinya. Inilah manunggaling kawula gusti yang selama ini dicari oleh Werkudoro sendiri.
Dari runtutan kisah ini, kita dapat beberapa kesimpulan, yakni ada delapan tahapan seseorang dalam perjalanan menuju manunggaling kawula gusti. Pertama, rilo atau dalam Bahasa Arab disebut ridho, yakni keadaan di mana tidak memiliki hasrat kecuali tujuan awal dan akhirnya hanya untuk Allah.
Kedua, legowo, yaitu toleransi terhadap segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, tidak memberati apa pun, kehilangan juga tidak apa-apa asal tidak kehilangan Allah, punya apa saja tidak apa-apa asal Allah-nya tidak hilang.
Ketiga, nerimo, yaitu senantiasa menerima hasil, tidak menyesal, tidak menuntut apa-apa terhadap apa yang didapati dirinya. Keempat, anuraga, yaitu tidak boleh sombong, tidak boleh angkuh, tidak boleh merasa benar.
Kelima, eleng, yaitu selalu ingat kepada Allah dalam keadaan apa pun, mau melakukan apasaja senantiasa ingat kepada Allah. Keenam, santoso, yaitu selalu berada dalam koridor kebenaran, konsisten dalam melakukan kebenaran. Ketujuh, gembiro, yaitu keadaan di mana harus selalu bahagia atau ceria dalam menjalankan tirakat untuk mencapai manunggaling kawula gusti. Dan, kedelapan, rahayu, yaitu hatinya selalu memiliki keinginan untuk berbuat kebaikan.