Mondok ke Sukorejo sebenarnya tidak pernah masuk dalam rencana hidup saya. Namun, meski harus terpental lebih 800 kilometer dari rumah, saya tidak pernah menyesalinya. Sukorejo memberi saya banyak pengalaman berharga. Bukan hanya soal keilmuan. Ia juga mengajak saya untuk berwisata kuliner khas Nusantara dengan cara yang tak biasa.
Loh, kok bisa? Ya, bisa, lah.

Kalau dulu nenek moyang kita berburu makanan untuk bertahan hidup, sekarang kita berburu makanan untuk kepentingan gaya hidup. Perlahan tapi pasti, posisi makanan mulai mengalami perluasan makna. Yang awalnya semata-mata kebutuhan primer (dlarury), sekarang mulai merambah ke ranah tersier (tahsiny).
Buktinya, kini fungsi makan bukan hanya untuk menuntaskan rasa lapar, melainkan untuk memanjakan lidah, mengikuti tren atau bahkan menegaskan status sosial. Karena itulah, konten-konten seperti food vlogging, cooking live, berburu street food dan semacamnya semakin diminati. Berbagai hashtag viral juga tak lepas dari makanan. Sebut saja #Foodstagram, #EatLocal, #Yummy atau #FoodPhotography. Tidak heran, food vlogging dan influencer makanan berkembang pesat beberapa tahun terakhir.
Sebagai seorang santri yang terikat aturan pesantren, saya—dan mungkin teman-teman santri lainnya, di manapun berada—tidak bisa leluasa ikut tren seperti anak-anak muda di luar sana. Mau ngonten? HP-nya saja gak pegang. Mau ikut food tour? Mana bisa. Perizinan ketat. Waktu liburan juga singkat. Tidak mungkin dihabiskan hanya untuk menjelajah kuliner dari satu tempat ke tempat lainnya. Apalagi ditambah dengan dompet santri yang pas-pasan, semuanya semakin terasa sulit digapai.
Namun, orang bijak memandang gelas yang terisi setengah sebagai gelas setengah berisi, bukan setengah kosong. Mereka mampu melihat kelebihan dalam kekurangan; melihat peluang dalam keterbatasan.
Belakangan, saya baru sadar, lingkaran pertemanan saya di Sukorejo ternyata sangat bermanfaat. Kalau saat SD saya hanya berteman dengan orang-orang sedesa, saat MTs sekecamatan, dan saat SMA berkembang menjadi seprovinsi, maka saya perlu banyak-banyak bersyukur, di bangku perkuliahan, teman-teman saya berasal dari hampir seluruh penjuru Nusantara.
Berkat merekalah, saya bisa—bahkan cukup sering—menjelajah kuliner Nusantara. Seperti saya katakan di awal, dengan cara yang tak biasa.
Wisata Kuliner Nusantara, Nol Biaya
Sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo atau lebih terkenal dengan sebutan Pesantren Sukorejo banyak menarik minat masyarakat. Tercatat, tahun 2024 ini total jumlah santri sudah mencapai 24.713. Tentu saja, mereka berasal dari berbagai daerah dan latar belakang. Dan provinsi Jawa Timur, sebagai tuan rumah, sudah pasti menempati posisi teratas sebagai pemasok santri terbanyak untuk Sukorejo.
Setiap bulan, rata-rata santri yang berasal dari Jawa Timur akan tikanan (dijenguk oleh keluarga), atau sekurang-kurangnya dikirim lewat IKSASS masing-masing daerah. Bahkan ada juga beberapa IKSASS di luar Jawa Timur yang memfasilitasi kiriman bulanan tersebut. Contohnya Bali dan Lombok. Karena masing-masing punya letak geografis dan kondisi sosial yang berbeda, tentu saja makanan khas yang dibawa pun beragam.
Tak heran, momen kiriman—lebih-lebih Maulid dan Haul—sangat dinanti oleh para santri, terutama orang-orang jauh seperti saya. Meski sebenarnya sedih karena tidak dijenguk keluarga, tapi saya cukup senang bisa menyicipi berbagai makanan khas daerah lain. Misalnya, cok koncok bawean, petis madura, tape bondowoso, pie susu bali, suwar-suwir serta prol tape jember, dan masih banyak lagi. Ah, jangan lupakan sambal lombok yang pedasnya nendang di lidah itu.
Ini baru Jawa Timur dan sekitarnya. Khusus santri dari daerah yang jauh, mereka akan membawa makanan khas daerah masing-masing ketika momen balekan atau ketika ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan kiriman paket. Dari tradisi inilah, saya berkenalan dengan kecap asin merek Mikado yang dibawa orang Jambi, sagu lemak-nya Riau, dan baje’-nya Sulawesi.
Tentu saja, saya sadar, semua makanan khas tersebut tidak akan sama persis seperti menyantap atau berwisata langsung ke daerah asalnya. Ada suasana, nuansa, dan mungkin citarasa khas yang tak mungkin dibungkus kardus dan dibawa ke pesantren. Meski demikian, setidaknya, ini sudah sangat lumayan, daripada tidak sama sekali. Belum tentu saya bisa mencicipi kuliner khas daerah sevariatif ini andai tidak memutuskan jadi anak rantau.
Dan, yang paling penting, semua makanan itu gratis. Tidak dipungut biaya sepeser pun. Tak pernah ada ceritanya wali santri yang menagih uang sebagai ganti makanan yang mereka bawa. Yang ada, mereka akan merasa senang memberi makan spesies-spesies yang selalu lapar seperti santri. Serius! Saya berani bertaruh untuk yang satu ini.
Inilah salah satu nilai plus menjadi santri yang tidak bisa ditiru anak muda di luar sana. Bisa wisata kuliner Nusantara tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun!
Gimana? Gak nyesel, ‘kan, jadi santri?
Perut Kenyang, Otak Berkembang
Jika ditekuni lebih serius, santri juga punya modal untuk menjadi food vlogger. Bukan seperti food vlogger masa kini yang cuma menyantap makanan dan menggambarkan deskripsi rasa—itu pun rata-rata hanya menggunakan kata ‘enak’, ‘rasanya kuat’, dan penggambaran lain yang terlalu sederhana. Melainkan, santri berbakat untuk menjadi food vlogger seperti di permulaan munculnya profesi tersebut, kurang lebih 20 tahun lalu.
Sebut saja sosok Bondan Winarno dengan tagline ‘Maknyuss’ atau Benu Buloe yang memiliki tagline ‘Lazizzz’. Mereka sudah menjadi food vlogger sejak pertengahan dekade 2000-an lewat program di Trans TV. Tentunya, dengan cara analisa yang jauh lebih dalam.
Bayangkan saja, dari sebuah makanan sederhana, Bondan Winarno bisa menjelaskan cita rasa, bumbu yang sekiranya digunakan, sejarah makanan tersebut, hingga menyambungkannya ke beberapa makanan lain.
Cara analisa inilah yang membuat sosoknya tidak hanya dikenal dengan kelihaian berbicara di depan kamera tentang cita rasa makanan, tetapi juga dihormati berkat pengetahuan yang luas sekaligus mendalam.
Nah, di pesantren, selain perut, wawasan kita juga diisi. Tak jarang kita menyantap suatu makanan sambil berbincang mengenai tutorial pembuatan, bahan dan bumbu yang dipakai, hingga adat yang berkaitan dengan makanan itu. Kalau Taman Kanak-Kanak punya jargon bermain sambil belajar, mungkin santri juga perlu bikin jargon, makan sambil belajar. Hebatnya, saat tak ada makanan yang terhidang pun kadang kita tetap belajar, berdiskusi soal makanan.
Memang, sampai serandom itulah obrolan kami.
(bersambung)