Ketika masih awal-awal mondok di Sukorejo, saya pernah ditanya oleh teman-teman, “Lis, di tempatmu ada petis, gak?” Tanpa pikir panjang, saya jawab, “Ada, dong!”
Sambil mengatakan itu, yang terlintas di benak saya mengenai kata petis adalah potongan buah—mangga muda, pepaya muda, nanas, mentimun, bengkuang, semangka—yang disiram sambal gula asem. Persis seperti yang disantap ibu-ibu sambil bergosip saat hari sedang panas-panasnya.

Ternyata, faktanya benar-benar di luar ekspektasi. Yang mereka maksud dengan petis adalah sebuah makanan berwarna coklat terang dan bertekstur lengket–seperti gulali–plus berbau amis. Serius, ini petis? Saat itu saya heran. Semakin lama, kejadian serupa semakin sering saya alami. Di lingkungan yang terdiri dari beragam bahasa, suku, dan budaya, ini bukan sekali-dua kali kami berdebat soal makanan.
Di lain kesempatan, yang diperselisihkan beda lagi. Kali ini, teman saya yang baru saja pulang kampung membawa oleh-oleh khas Sulawesi; baje’,makanan legit berbahan dasar beras ketan dan dibungkus dengan daun.
Alih-alih makan dengan tenang, teman-teman malah sibuk berceloteh. “Ini namanya wajik,” kata orang Jawa. “Di tempatku ini namanya pulut manis,” sahut orang Sumatera. Tak mau kalah, saya ikut menimpali, “Kalau di Jawa Barat ini namanya wajit. Tapi, intinya sama saja, ‘kan?”
Lama-lama, saya sampai pada suatu kesimpulan: kuliner Nusantara juga mengenal konsep lafal musytarak dan muradif. Tanpa sadar, keseharian kita sudah sangat akrab dengan teori-teori ushul fikih yang dipelajari di perkuliahan itu.
Adakalanya satu nama makanan memiliki makna yang berbeda di tiap-tiap daerah. Itu yang saya namakan ‘makanan musytarak’. Contoh gampangnya adalah petis.
Sebaliknya, ada berbagai penamaan untuk satu jenis makanan yang sama. Saya ambil contoh, martabak manis di daerah Jawa Timur dan sekitarnya disebut terang bulan. Sementara di Jambi namanya adalah apem balik. Hal yang sama juga berlaku pada kue cucur, keremes, dan lainnya. Tidak salah, ‘kan, kalau saya menyebutnya ‘makanan muradif’?