Wisata Kuliner ala Santri Sukorejo (2): Makanannya Datang Sendiri

9 views

Ketika masih awal-awal mondok di Sukorejo, saya pernah ditanya oleh teman-teman, “Lis, di tempatmu ada petis, gak?” Tanpa pikir panjang, saya jawab, “Ada, dong!”

Sambil mengatakan itu, yang terlintas di benak saya mengenai kata petis adalah potongan buah—mangga muda, pepaya muda, nanas, mentimun, bengkuang, semangka—yang disiram sambal gula asem. Persis seperti yang disantap ibu-ibu sambil bergosip saat hari sedang panas-panasnya.

Advertisements

Ternyata, faktanya benar-benar di luar ekspektasi. Yang mereka maksud dengan petis adalah sebuah makanan berwarna coklat terang dan bertekstur lengket–seperti gulali–plus berbau amis. Serius, ini petis? Saat itu saya heran. Semakin lama, kejadian serupa semakin sering saya alami. Di lingkungan yang terdiri dari beragam bahasa, suku, dan budaya, ini bukan sekali-dua kali kami berdebat soal makanan.

Di lain kesempatan, yang diperselisihkan beda lagi. Kali ini, teman saya yang baru saja pulang kampung membawa oleh-oleh khas Sulawesi; baje’,makanan legit berbahan dasar beras ketan dan dibungkus dengan daun.

Alih-alih makan dengan tenang, teman-teman malah sibuk berceloteh. “Ini namanya wajik,” kata orang Jawa. “Di tempatku ini namanya pulut manis,” sahut orang Sumatera. Tak mau kalah, saya ikut menimpali, “Kalau di Jawa Barat ini namanya wajit. Tapi, intinya sama saja, ‘kan?”

Lama-lama, saya sampai pada suatu kesimpulan: kuliner Nusantara juga mengenal konsep lafal musytarak dan muradif. Tanpa sadar, keseharian kita sudah sangat akrab dengan teori-teori ushul fikih yang dipelajari di perkuliahan itu.

Adakalanya satu nama makanan memiliki makna yang berbeda di tiap-tiap daerah. Itu yang saya namakan ‘makanan musytarak’. Contoh gampangnya adalah petis.

Sebaliknya, ada berbagai penamaan untuk satu jenis makanan yang sama. Saya ambil contoh, martabak manis di daerah Jawa Timur dan sekitarnya disebut terang bulan. Sementara di Jambi namanya adalah apem balik. Hal yang sama juga berlaku pada kue cucur, keremes, dan lainnya. Tidak salah, ‘kan, kalau saya menyebutnya ‘makanan muradif’?

Tak Semua Lidah Bisa Menerima

Memang benar lidah pandai berbohong. Tapi, ia tidak bisa dibohongi. Apa lagi soal rasa. Makanan yang lezat akan tetap dibilang lezat. Sebagaimana santapan yang tidak enak akan tetap dibilang tidak enak. Ia tak bisa diajak kompromi.

Namun, enak menurut Si A belum tentu lezat menurut si B. Lezat menurut Si B belum tentu cocok di lidah Si C. Dengan kata lain, standar enak-tidaknya suatu makanan sangat relatif.  Penilaian setiap orang akan berbeda-beda, tergantung lingkungan di mana ia tinggal. Itu yang saya alami sendiri dan saya amati dari teman-teman.

Kita ambil sebuah contoh. Majalengka, kabupaten asal saya, tidak mempunyai pantai sama sekali. Sehingga, ikan yang saya konsumsi tidak jauh-jauh dari ikan mujair, ikan mas, atau ikan nila.

Berbeda dengan Sukorejo yang masih tergolong daerah pesisir. Kebanyakan, ikan yang dijual di pedagang nasi adalah ikan cakalan, teri, dan sebagainya. Karena lidah saya tidak terbiasa, sampai sekarang pun, saya lebih memilih menu lain daripada ikan laut yang—menurut saya—terlalu amis itu.

Contoh lain, lidah-lidah Indonesia bagian barat—termasuk saya sendiri—tetap kurang bersahabat dengan amisnya petis Madura. Masih mending kalau petis itu disandingkan dengan mangga atau semacamnya. Tapi, kalau dijadikan sambal pendamping makan nasi, kok, kayak kurang pas. “Ya, aneh aja. Gak cocok di lidahku,” kata seorang teman asal Jambi, saat diminta berkomentar soal rasa petis.

Sebaliknya, teman-teman juga banyak yang tidak cocok dengan citarasa kecap asin Palembang yang dibawa Metha. Begitu pun dengan sambel goang khas Sunda. “Kayak makan jamu,” komentar salah satu kawan saat mencolek ulekan cabe dan kencur yang saya buat. Padahal, sambal itu adalah salah satu andalan kami di rumah.

Ternyata, iming-iming gratis saja tidak mempan untuk mengubah selera kuliner seseorang yang sudah mengakar kuat berkat lingkungannya. Meski saya juga tak memungkiri, tetap ada satu-dua orang yang bisa beradaptasi.

Makanya, saya tidak heran mendengar banyak jemaah haji yang tidak berselera makan selama di Tanah Suci. Juga saya tidak kaget di Indonesia banyak bermunculan restoran-restoran asing. Sebab, sekali lagi, lidah tak bisa diajak kompromi. Semenarik apa pun kuliner daerah lain, kalau tidak cocok di lidah, ya sudah, tidak bisa dipaksakan. Lebih baik masak sendiri saja. Seperti yang dilakukan Dimas Suryo dan kawan-kawannya; mendirikan Restoran Tanah Air di Paris.

Eh, itu cuma cerita novel, ding!

Lalu, dari semua uraian panjang lebar tadi, apa yang bisa kita petik? Cukup satu kata; syukur. Kita harus pandai-pandai bersyukur ditakdirkan menjadi santri. Tidak perlu iri sama pelajar-pelajar lain di luar sana. Santri tidak kalah hebat dari mereka, kok.

Soal kuliner, misalnya. Mereka sibuk mendatangi berbagai daerah untuk icip-icip, kita malah makanannya yang datang sendiri. Mereka rela mengocek dompet demi memanjakan lidah, kita bisa mencicicpi berbagai varian makanan dengan biaya nol rupiah. Mereka sibuk bikin konten mukbang, kita juga sanggup makan sampai empat-lima kali sehari kalau sedang musim kiriman, cuma gak diunggah ke medsos saja.

Pada intinya, tidak ada yang menandingi nikmatnya berebut makanan sambil berdempetan membentuk lingkaran ala santri. Tak perlu mempermasalahkan makanan khas mana dan harus bayar berapa. Sikat saja dulu! Atau, kalau gak cocok di lidah, tinggal skip. Gitu aja kok repot?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan