Santri mempunyai karakter dan kebiasaan yang berbeda-beda, beragam. Keragaman itulah yang membuat kiai atau pengurus pondok kadang merasa senang, kesal, kecewa, dongkol, marah, dan sekaligus kangen. Perasaan campur aduk.
Keragaman itu pula dirindukan mungkin oleh semua santri selama pandemi ini, termasuk saya; merindukan kembali saat-saat menjadi santri. Juga kerinduan seorang santri kepada para kiai, pondok pesantren, para ustadz, dan teman-teman sepesantren.
Namun, nampaknya bukan santri saja yang memendam kerinduan. Para kiai, pengurus pondok, dan guru-guru ternyata juga merasakan hal yang sama. Apalagi di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, saat banyak pondok pesantren masih menggunakan metode pengajian jarak jauh atau ngaji online.
Bagi santri yang pondok pesantrennya masih menggunakan pengajian jarak jauh atau ngaji online, pasti merindukan “indahnya” hari-hari saat berada di lingkungan pondok. Kerinduan seperti ini juga sering dirasakan oleh mereka yang sudah menjadi alumni pesantren. Kerinduan-kerinduan itu biasanya hanya bisa mereka tumpahkan ketika sedang acara pondok, kumpul ngopi, atau bereuni.
Ada beberapa hal yang dirindukan oleh para santri ketika lama berada di luar pondok, seperti selama pandemi ini. Pertama, jailin teman. Biasanya, sesame santri sering melakukan hal-hal konyol, seperti menjailin teman sekamar. Salah satu kejailan yang paling sering dilakukan para santri adalah memasangkan lidi yang sudah dibakar kemudian diletakkan di kaki santri yang sedang tertidur dengan sedikit odol agar lebih lekat menempel.
Hal ini sering disebut dengan “nyamuk arab”. Seperti pernah diungkapan oleh salah satu teman saya yang akrab disapa Boyo. “Hal yang paling ane rindukan saat nyantren, yaitu ketika melihat teman jail.”
Kedua, mabar atau makan bareng dalam satu nampan. Makan bareng bersama sekian banyak santri dalam satu nampan yang sama memang menimbulkan keseruan tersendiri. Di pondok pesantren, mabar seperti ini sesungguhnya hal yang biasa.
Puncak keseruannya saat terjadi “adu cepat” melahap nasi dan mengambil lauk agar perut kita lekas kenyang. Sebab, jika kita lamban menyuap nasi dan mengambil lauk, makanan keburu habis perut kita tidak kenyang. Mabar seperti ini akan menjadi salah satu kenangan terindah yang sering dirindukan saat seorang santri sudah lama tidak berada di dalam pondok.
Santri Hiburan Kiai
Tak hanya monopoli santri. Ternyata, kiai, pengurus pondok, atau para guru juga sering merindukan para santri yang sudah lama tidak berada di pesantren atau sudah lulus. Mereka biasanya mengungkapkan hal-hal dirinduan kepada para santri ketika para santri sedang sowan dan silaturrahmi ke rumah kiai atau ke pondok.
Biasanya kerinduan itu sering diungkapkan oleh pengurus pondok dan para kiai saat menyampaikan nasihat kepada santrinya yang telah lulus. Misalnya, pertama, rindu saat mengajar atau memberi pengajian. Salah satu contohnya yang diungkapkan oleh salah satu pengurus Pondok Pesantren Al-Awwabin di Depok, Jawa Barat.
Selama pandemi Covid-19 yang sudah hamper setahun berjalan ini, beliau mengungkapkan kerinduannya saat mengajar ngaji kepada para santrinya. Mengapa demikian? Sebab, kiai dan pengurus pondok merasa terhibur ketika sedang mengajarkan santrinya mengaji kitab kuning. Saat mengajar kitab kuning, seorang kiai atau guru secara langsung dapat melibatkan perasaannya kepada santrinya.
Dengan kata lain, tersebab santrilah kiai ini menjadi terhibur. Santri memang bermacam-macam karakternya, tapi itulah yang justru dirindukan oleh salah satu pengurus Pondok Pesantren Al-Awwabin, Wildan Hadzi mengatakan. “Salah satu hiburan kiai itu santri,” katanya.
Selain mengajar ngaji kitab, yang dirindukan kiai kepada santrinya adalah jiwa pengabdian santri kepada gurunya. Mengepa begitu? Di satu sisi, kiai itu mendidik santrinya agar suatu saat nanti menjadi santri yang beguna.
Adakalanya, mendidiknya dilakukan dengan cara memberikan perintah-perintah kepada santri dengan tujuan agar santri memiliki jiwa pengabdian. Dengan harapan, di kemudian hari para santri tersebut menjadi orang yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Tanpa kita sadari, hal ini merupakan suatu keberkahan guru yang diberikan kepada santrinya.
Lalu saya? Hal yang sering saya lakukan ketika timbul rasa rindu pada kiai, guru, dan teman pesantren adalah bernostalgia, dengan cara seperti melihat foto-foto saat nyantren, foto-foto bersama guru, atau foto saat menjadi bagian dari pengurus pondok. Selain itu, ketika kerinduan begitu dalam, saya mengirimkan surat al-Fatihah kepada kiai dan guru-guru saya. Dan itu membuat perasaan menjadi plong.
Sebenarnya masih banyak lagi momen-momen kerinduan yang masih tersimpan di dalam hati yang menjadi kenangan indah saat di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok. Sahabat-sahabat santri mungkin merasakan hal yang sama?