Membedah (Mitos) Feodalisme Pesantren

39 views

Tidak ada yang menyangkal bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia telah menunjukkan kontribusinya dalam dinamika perjalanan bangsa ini, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Mulai dari sejarah, ciri khas atau metode pembelajaran, jaringan intelektual, hingga lulusan-lulusannya, menjadi bukti nyata betapa sebetulnya pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Itu artinya, pesantren mempunyai akar sejarah kuat yang barangkali tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan.

Akhir-akhir ini, dunia pesantren dibuat gempar oleh sejumlah oknum yang (sepertinya) memiliki niat buruk untuk menjatuhkan marwah pesantren. Salah satu yang ditilik adalah praktik feodalisme.

Advertisements

Tulisan ini tentu bukan lantas untuk mencari pembenaran terhadap pesantren, lebih-lebih sampai menafikan kasus sebagian pesantren yang secara fakta memang terjadi, tentu tidak.

Tulisan ini berusaha mengimbangi dan menawarkan sudut pandang yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan untuk tidak mudah mengklaim/melabeli pesantren terlalu jauh sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah oknum akhir-akhir ini.

Klaim Feodalisme Pesantren

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme secara definisi bermakna sebuah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan, atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan bukan pada prestasi kerja.

Mungkin definisi tersebut terlalu baku untuk diterapkan. Karena yang terjadi, saya menemukan feodalisme yang didefinisikan secara berbeda.

Definisi ini bisa dilihat dalam postingan feed Instagram @saddamsyaikh yang baru-baru ini viral. Saddam menyorot beberapa praktik yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Salah satunya, ketika Saddam menyayangkan praktik feodalisme pesantren sebagai sistem pewarisan otoritas pesantren berbasis keturunan (genealogis) dan fanatisme yang menafikan aspek kemampuan.

Setidaknya ada beberapa poin yang bisa digarisbawahi, untuk lebih jelasnya sebagaimana berikut:

“GUS SI ANAK KYAI. Selain itu, sistem pewarisan otoritas di pesantren-pesantren tersebut juga berbasis genealogis (keturunan). Tentulah kita sudah sangat akrab dengan istilah “Gus”. Gus inilah yang akan melanjutkan otoritas keagamaan sang kyai di pesantren tersebut. Sistem pewarisan otoritas berbasis keturunan ini memberikan “Gus” hak istimewa secara instan. Penyematan gelar “Gus” pada anak kyai mengandung makna bahwa kesakralan kyai tidak hanya tertumpu pada kapasitas agamanya, tetapi juga pada sosoknya sendiri, sehingga keturunannya juga mewarisi kesakralan itu terlepas dari kualifikasi kapasitasnya. Dalam hal ini, “Gus” mendapatkan kehormatan berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kemampuan. Ketika kehormatan tidak lagi dilandaskan pada kemampuan, maka ketaatan yang muncul juga hanya akan dilandaskan pada fanatisme. Di sinilah letak feodalismenya.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan