Tidak ada yang menyangkal bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia telah menunjukkan kontribusinya dalam dinamika perjalanan bangsa ini, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Mulai dari sejarah, ciri khas atau metode pembelajaran, jaringan intelektual, hingga lulusan-lulusannya, menjadi bukti nyata betapa sebetulnya pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Itu artinya, pesantren mempunyai akar sejarah kuat yang barangkali tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan.
Akhir-akhir ini, dunia pesantren dibuat gempar oleh sejumlah oknum yang (sepertinya) memiliki niat buruk untuk menjatuhkan marwah pesantren. Salah satu yang ditilik adalah praktik feodalisme.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Tulisan ini tentu bukan lantas untuk mencari pembenaran terhadap pesantren, lebih-lebih sampai menafikan kasus sebagian pesantren yang secara fakta memang terjadi, tentu tidak.
Tulisan ini berusaha mengimbangi dan menawarkan sudut pandang yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan untuk tidak mudah mengklaim/melabeli pesantren terlalu jauh sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah oknum akhir-akhir ini.
Klaim Feodalisme Pesantren
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme secara definisi bermakna sebuah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan, atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan bukan pada prestasi kerja.
Mungkin definisi tersebut terlalu baku untuk diterapkan. Karena yang terjadi, saya menemukan feodalisme yang didefinisikan secara berbeda.
Definisi ini bisa dilihat dalam postingan feed Instagram @saddamsyaikh yang baru-baru ini viral. Saddam menyorot beberapa praktik yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Salah satunya, ketika Saddam menyayangkan praktik feodalisme pesantren sebagai sistem pewarisan otoritas pesantren berbasis keturunan (genealogis) dan fanatisme yang menafikan aspek kemampuan.
Setidaknya ada beberapa poin yang bisa digarisbawahi, untuk lebih jelasnya sebagaimana berikut:
“GUS SI ANAK KYAI. Selain itu, sistem pewarisan otoritas di pesantren-pesantren tersebut juga berbasis genealogis (keturunan). Tentulah kita sudah sangat akrab dengan istilah “Gus”. Gus inilah yang akan melanjutkan otoritas keagamaan sang kyai di pesantren tersebut. Sistem pewarisan otoritas berbasis keturunan ini memberikan “Gus” hak istimewa secara instan. Penyematan gelar “Gus” pada anak kyai mengandung makna bahwa kesakralan kyai tidak hanya tertumpu pada kapasitas agamanya, tetapi juga pada sosoknya sendiri, sehingga keturunannya juga mewarisi kesakralan itu terlepas dari kualifikasi kapasitasnya. Dalam hal ini, “Gus” mendapatkan kehormatan berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kemampuan. Ketika kehormatan tidak lagi dilandaskan pada kemampuan, maka ketaatan yang muncul juga hanya akan dilandaskan pada fanatisme. Di sinilah letak feodalismenya.”
Melihat argumentasi yang dibangun, sekilas bisa dikatakan bahwa feodalisme masih menyimpan paradoks. Oleh karena itu, kesepakatan dalam hal definisi adalah satu hal yang krusial dilakukan, agar diskusi seputar feodalisme pesantren bisa terukur secara jelas, pun juga agar tidak terjadi kecacatan berpikir dalam membangun argumen sebagaimana disinggung oleh Muhammad Nuruddin melalui bukunya, Logical Fallacy. Hal ini penting, untuk melihat sejauh mana praktik feodalisme pesantren itu secara jernih dan objektif atau jangan-jangan hanya sebatas klaim propaganda.
Boleh jadi, definisi yang dimaksud di atas bisa dispekulasikan pada penekanan sistem sosial pesantren itu sendiri untuk tidak mengaitkan aspek-aspek keterikatan pesantren dengan yang lain seperti pemerintah (Kemenag). Mungkin saja. Meskipun pada satu definisi tertentu, feodalisme diartikan sebagai sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Dengan demikian, feodalisme pada Abad Pertengahan di Eropa terjadi antara tuan tanah dan rakyatnya dalam lingkup kerajaan, sedangan dalam lingkup pesantren terjadi antara kiai dan santri.
Namun, sampai di sini saya masih masygul (kurang sepakat) untuk melihat pesantren sebagai sebuah sistem, lebih-lebih sistem pengkultusan sebagaimana yang diyakini sejumlah oknum.
Dalam pandangan saya pribadi, berbicara sistem juga pada dasarnya berbicara hierarki dari elemen-elemen yang saling menguntungkan dari para penguasa yang mampu memonitoring (mengatur) kebijakan-kebijakan untuk mengontrol alam bawah.
Sebut saja presiden dan sembilan naga, misalnya. Presiden membuat kebijakan donatur dan sasaran relasinya adalah sembilan naga, dengan syarat kebijakan itu masih menguntungkan bagi mereka (sembilan naga). Barangkali itu menjadi contoh sederhana untuk melihat bagaimana sebuah sistem dirancang dan bekerja.
(Mitos) Feodalisme dan Dinasti Pesantren
Feodalisme, sebagaimana kita telusuri, mempunyai dinamika sejarah yang panjang di bangsa ini. Bahkan menurut banyak pihak, feodalisme sampai sekarang masih menjadi budaya yang mencekam sendi pendidikan kita. Feodalisme pula yang menjadikan pendidikan kita tidak menyentuh arah kemajuan.
Lantas bagaimana dengan pendidikan yang ada di pesantren?
Sejumlah oknum menganggap tempat sistem atau fenomena pengkultusan (ghuluw) kepada sosok tertinggi pesantren—dalam hal ini adalah kiai—masih berkembang biak. Anggapan itu juga tidak terlepas dari argumen yang dibangun oleh D.A. Rinkes terkait mistifikasi agama, dan Logika Mistika ala Tan Malaka, sehingga simbol-simbol agama terutama kiai juga menjelma menjadi simbol mistik dan seringkali menghipnotis umatnya dengan jaminan-jaminan akhirat (@saddamsyaikh, 2024).
Sekilas, melihat sistem sosial (bahkan sistem pengkultusan sebagaimana disinggung di atas), tentu menjadi satu kesimpulan yang berlebihan dan tergesa-gesa. Karena sekali lagi, benarkah feodalisme pesantren berakar dari sikap fanatisme belaka santri kepada sosok kiainya? Kalau pun iya, argumen ini bisa kita uji setidaknya dengan melihat salah satu elemen pesantren, yakni dalam soal pengangkatan pengurus pesantren.
Benarkah pengurus pesantren diangkat tanpa kualifikasi? Buktinya tidak. Apakah kualifikasi pengurus pesantren diukur sejauh mana mereka pro pada rajanya (dalam hal ini kiai)? Tentu juga tidak. Lantas di mana letak feodalisme pesantren yang sebenarnya terjadi?
Dua gambaran di atas setidaknya cukup dijadikan bahan pertimbangan agar tidak melabeli pesantren terlalu jauh. Namun bukan berarti hal itu diyakini sebagai satu sistem yang memang “dirancang”. Artinya, salah untuk mengatakan bahwa pesantren buruk dan tidak menyentuh arah kemajuan, hanya gara-gara ditinjau dari kasus atau fenomena kecil, yang itu pun berupa penyimpangan.
Selain itu, pewarisan otoritas keagamaan di banyak pesantren memang boleh diakui sebagai model dinasti. Hanya saja, patut dipertanyakan ketika banyak oknum justru melihat hal itu sebagai fanatisme belaka yang bermuara pada letak feodalisme yang sebenarnya. Atas dasar tersebut, saya rasa, perlu diperjelas dan dipikirkan secara matang soal upaya membangun fanatisme melalui dinasti (dalam konteks pesantren).
Dinasti dalam konteks pesantren tidak sama dengan dinasti dalam konteks negara/kerajaan. Dengan demikian, sangat tidak logis jika pesantren harus disamakan. Sebab, asal-usul negara juga tidak terlepas dari budaya manusia untuk berkelompok di suatu wilayah tertentu yang kemudian mereka sepakati bersama. Itu salah satunya. Makanya tak heran, kalau sejarah perang merebut wilayah terjadi karena teritorial suatu wilayah adalah satu unsur urgen dalam terbangunnya sebuah negara.
Lantas, benarkah pesantren itu berdiri sebab ada kesepakatan antara para santri dan kiai untuk membangun sebuah lembaga (sistem) bernama pesantren?
Tentu tidak. Santri di pesantren pada hakikatnya adalah tamu kiai. Santri tidak mempunyai hak untuk menempati pesantren tanpa seizin kiai. Sebab pesantren adalah milik kiai, dan santri adalah tamunya. Berbeda dengan rakyat dalam konteks dinasti sekalipun, di mana rakyat punya hak atas wilayah itu dan mereka tentu bukan sebagai tamu. Itulah logikanya.
Belum lagi ketika berbicara santri pintar yang kemudian diambil menantu, hingga pada akhirnya juga mewarisi otoritas pesantren itu sendiri. Realitas ini banyak ditemukan di berbagai pesantren, bahkan juga tak jarang menciptakan dinasti-dinasti yang lain. Dalam artian, generasi antar ke generasi penerus pesantren, tidak lantas semuanya bernasab lurus pada pendiri pesantren (generasi awal). Secara otomatis, realitas ini sekilas mematahkan anggapan pesantren sebagai sistem (yang dirancang) untuk berdinasti.
Animo Masyarakat dan Pesantren Hari Ini
Ketika tulisan ini digarap, sengaja judul tulisan ini saya posting melalui story WhatsApp, dengan harap ada yang mau berkomentar atau memberikan sudut pandang baru. Selang beberapa menit, ada seorang teman perempuan yang merespons dan melontarkan pertanyaan, “Apakah pesantren itu egaliter?” Kemudian dia melanjutkan, “Dulu aku sempat setengah tahun di pesantren. Menurutku, tidak begitu egaliter bahkan bias gender antara laki-laki dan perempuan keliatan banget.”
Sampai di sini, sekali lagi, feodalisme pesantren masih paradoks dan bias tafsir. Mulai dari definisi dan pijakan kasus yang berbeda, sehingga antara definisi satu dengan yang lainnya saling bertentangan dalam mengambil kesimpulan. Toh sebetulnya, berbicara pesantren egaliter atau tidak, bias gender atau tidak, kita tidak bisa menafikan realitas bahwa rasisme, gender, superioritas kelas di lembaga mana pun pasti ada. Inilah letak kegagalan paham yang sebenarnya terjadi, masyarakat lebih dulu melakukan pra-anggapan bahwa pesantren akan lebih baik. Padahal bisa kita saksikan, anak yang kelewat nakal saja oleh orang tuanya akan diancam “nakal terus, lama-lama saya akan mondokin kamu!”
Ada semacam animo masyarakat bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus “bengkel moral”. Bahkan dari kalangan nir-adab sekalipun (mulai pemabuk, tato, hingga pezina), semuanya diterima dengan lapang dada di pesantren sebagai santri/tamu. Barangkali hanya pesantren yang masih menaruh huznuzan (prasangka baik) bahwa mereka yang nir-adab akan menjadi insan bersih dan tercerahkan. Masihkah pesantren dikatakan tidak egaliter?
Walhasil, terlepas dari fenomena kecil dan definisi yang kabur, feodalisme pesantren menjadi tanda tanya besar. Benarkah lembaga pendidikan bernama pesantren memang feodal, atau hanya sebagai klaim yang dimanfaatkan oleh oknum yang mencoba menjatuhkan marwah pesantren dengan logika propagandanya (?).
Entahlah, namun yang pasti, masyarakat pesantren memang sudah waktunya untuk berbenah. Jangan sampai, masyarakat pesantren (kiai, santri, alumni, dll) menafikan kasus-kasus pesantren yang terjadi setidaknya dalam lima tahun terakhir ini. Pun juga jangan sampai merespons klaim feodalisme pesantren yang viral di jagat maya dengan respons yang justru dapat menjatuhkan marwah pesantren itu sendiri, nauzubillah.
Sebagai penutup tulisan ini, saya akan menampilkan perkataan Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki yang juga pernah dikutip oleh Gus Abdurrahman Al-Kautsar:
وَلَدُ الشَّيْخِ شَيْخٌ فِيْ الْإِحْتِرَامِ وَالتَّبْجِيْلِ لَافِيْ الْعِلْمِ وَالْمَشِيْخَةِ، هَذَا إِذَا كَانَ عَلَى مِنْوَالِهِ وَمَنْهَجِهِ، وَإِلَّا فَلاَ
”Putra seorang guru tetap dianggap guru dalam hal penghormatan, tetapi bukan dalam urusan ilmu atau ke-guru-an, itu pun jika ia mengikuti jejak ayahandanya, akan tetapi jika tidak, maka ia tidak pantas untuk dihormati”. (Muhammad ibn Alawi Al-Maliki, Istikhraj al-Laali wa al-Almas, hal 55)