Menelisik Ladang Subur Radikalisme (2-Habis)

40 views

Seberapa besar potensi gerakan kelompok-kelompok radikal berbasis agama di Indonesia menuai sukses dan mampu mengubah lanskap keagaaman?

Ternyata, jawabannya bergantung pada seberapa kuat otoritas keagamaan mempertahankan pengaruhnya. Otoritas keagamaan yang dimaksud Alexandre Pelletier dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS), dalam penelitiannya ini adalah pengaruh yang dimiliki tokoh dan lembaga keagamaan. Yang dimaksud dengan tokoh keagamaan adalah kiai, mubaligh/dai, ustadz. Sedangkan, yang dimaksud lembaga keagamaan adalah pesantren, majelis (taklim), dan organisasi-organisasi sosoal keagamaan.

Advertisements

Tesis Pelletier, berdasarkan hasil penelitiannya, menegaskan bahwa semakin lemah pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, akan memberi semakin besar peluang bagi radikalisme agama untuk berkembang. Sebaliknya, semakin kuat pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, akan semakin mempersempit ruang bagi radikalisme agama untuk berkembang.

Yang dibaca oleh Pelletier, melalui penelitiannya ini, maraknya gerakan radikalisme agama pasca-Orde Baru sesungguhnya bukan benar-benar dimotivasi oleh pandangan agama atau ideologi politik, melainkan kuatnya perebutan pengaruh pada masyarakat yang struktur lokal otoritas keagamaannya lemah.

Penelitian Pelletier membuktikan, di daerah yang struktur lokal otoritas keagamaannya kuat, kelompok militan tidak bisa mengakar. Sebaliknya, di daerah yang struktur lokal otoritas keagamaannya lemah dan kompetitif, kelompok militan atau gerakan radikalisme agama berkembang pesat.

Pelletier lalu memperbandingkan apa yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Masyarakat muslim di kedua provinsi ini, menurut Pelletier, sebenarnya memiliki pandangan dan sikap keagamaan yang relatif yang sama. Yang membedakan adalah struktur lokal otoritas keagamaannya.

Di Jawa Barat, pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, kiai atau pesantrennya, tak sekuat di Jawa Timur. Meskipun, dari segi jumlah lebih banyak, nyatanya pesantren di Jawa Barat tidak ada yang sebesar di Jawa Timur. Selain itu, pesantren di Jawa Barat cenderung terfragmentasi, terpecah-pecah dalam skala kecil dan tidak saling terhubung.

Sebaliknya, Jawa Timur lebih banyak memiliki pesantren dalam skala besar yang “terkonsentrasi” dalam jejaring pesantren. Artinya, selain berskala besar, antar-pesantren di Jawa Timur tidak terfragmentasi, melainkan saling terhubung melalui jejaring yang terhubung secara “tradisional” (geneologi pesantren).

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan