Seberapa besar potensi gerakan kelompok-kelompok radikal berbasis agama di Indonesia menuai sukses dan mampu mengubah lanskap keagaaman?
Ternyata, jawabannya bergantung pada seberapa kuat otoritas keagamaan mempertahankan pengaruhnya. Otoritas keagamaan yang dimaksud Alexandre Pelletier dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS), dalam penelitiannya ini adalah pengaruh yang dimiliki tokoh dan lembaga keagamaan. Yang dimaksud dengan tokoh keagamaan adalah kiai, mubaligh/dai, ustadz. Sedangkan, yang dimaksud lembaga keagamaan adalah pesantren, majelis (taklim), dan organisasi-organisasi sosoal keagamaan.
Tesis Pelletier, berdasarkan hasil penelitiannya, menegaskan bahwa semakin lemah pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, akan memberi semakin besar peluang bagi radikalisme agama untuk berkembang. Sebaliknya, semakin kuat pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, akan semakin mempersempit ruang bagi radikalisme agama untuk berkembang.
Yang dibaca oleh Pelletier, melalui penelitiannya ini, maraknya gerakan radikalisme agama pasca-Orde Baru sesungguhnya bukan benar-benar dimotivasi oleh pandangan agama atau ideologi politik, melainkan kuatnya perebutan pengaruh pada masyarakat yang struktur lokal otoritas keagamaannya lemah.
Penelitian Pelletier membuktikan, di daerah yang struktur lokal otoritas keagamaannya kuat, kelompok militan tidak bisa mengakar. Sebaliknya, di daerah yang struktur lokal otoritas keagamaannya lemah dan kompetitif, kelompok militan atau gerakan radikalisme agama berkembang pesat.
Pelletier lalu memperbandingkan apa yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Masyarakat muslim di kedua provinsi ini, menurut Pelletier, sebenarnya memiliki pandangan dan sikap keagamaan yang relatif yang sama. Yang membedakan adalah struktur lokal otoritas keagamaannya.
Di Jawa Barat, pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan, kiai atau pesantrennya, tak sekuat di Jawa Timur. Meskipun, dari segi jumlah lebih banyak, nyatanya pesantren di Jawa Barat tidak ada yang sebesar di Jawa Timur. Selain itu, pesantren di Jawa Barat cenderung terfragmentasi, terpecah-pecah dalam skala kecil dan tidak saling terhubung.
Sebaliknya, Jawa Timur lebih banyak memiliki pesantren dalam skala besar yang “terkonsentrasi” dalam jejaring pesantren. Artinya, selain berskala besar, antar-pesantren di Jawa Timur tidak terfragmentasi, melainkan saling terhubung melalui jejaring yang terhubung secara “tradisional” (geneologi pesantren).
Dengan pemetaan seperti itu, hasil penelitian Pelletier dapat dibaca seperti ini: tingkat pesaingan dan perebutan pengaruh struktur lokal otoritas keagamaan di Jawa Timur tak sekuat dan seterbuka seperti di Jawa Barat. Sebab, di Jawa Barat, struktur lokal otoritas keagamaan yang terfragmentasi ini ternyata saling berebut pengaruh sedemikian kuatnya. Untuk memenangkan perebutan pengaruh itulah, maka marak digunakan retorika agama yang lebih agresif, yang kemudian menyuburkan radikalisme agama.
Dengan bahasa lain, gerakan radikalisme agama digelorakan untuk memperkuat status, pengaruh, dan kekuatan struktur lokal otoritas keagamaan yang saling bersaing secara kompetetif. Pelletier pun sampai pada kesimpulan, banyaknya kiai kecil menjelaskan perkembangan pesat kelompok militan di Jawa Barat.
Bagaimana fenomena ini dapat mengubah lanskap keagamaan di Nusantara? Akan ada semacam paradoks demokrasi di sini. Dampak lain dari demokrasi, seperti kita tahu, adalah tergerusnya konsentrasi pengaruh pada tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga tradisional. Dan “kekuatan partikelir” yang akan bersaing pengaruh. Namun, ketika ini terjadi, terbuka peluang masuknya radikalisme agama yang dibawa oleh gerakan ideologi transnasional.
Karena itu, sebagai rekomendasi dari penelitiannya, Pelletier meminta semua pihak, terutama pemerintah, harus hati-hati dalam menyikapi fenomena ini. Ruang kompetisi perebutan pengaruh antar- struktur lokal otoritas keagamaan harus dibatasi agar mobilisasi radikalisme agama bisa dikendalikan. Karena, ini justru membahayakan bagi masa depan demokrasi di Indonesia.