Pesantren dan kitab kuningnya bagaikan jasad dan ruh yang tidak dapat dipisahkan. Jika masjid, ruang kelas, dan bilik asrama merupakan wujud fisik pesantren, maka kitab kuning merupakan ruhnya yang dapat menentukan mati dan hidupnya pesantren.
Pesantren dan pemikirannya tidak hadir dari ruang hampa. Ia hadir melalui panjangnya dialektika keilmuan yang sudah mengiringi kehidupan para santri yang tidak lepas dengan peranan kitab kuningnya.
Kitab kuning dan seisinya, oleh beberapa kalangan dapat diterima bahkan dipelajari dengan lebih mendalam lagi. Namun, kita tidak dapat menolak fakta, ada beberapa golongan yang menolak kitab kuning, bahkan memberikan stigma kolot kepada kaum pesantren yang selama ini menggeluti kitab kuning.
Dan ironisnya, mereka yang memberikan anggapan demikian tidaklah begitu paham akan isi kitab kuning di pesantren. Bahkan menyentuh pun mereka tidak. Dengan ketidakpahamannya, mereka mencari beberapa lompatan dengan membaca buku terjemahan sebagai tandingannya.
Perlu untuk mereka ketahui bahwa Muhammad Abduh, sosok mujaddid abad kedua, justru menganjurkan muridnya untuk mendalami al-Muwafaqat-nya al-Syathibi.
Atau, Rasyid Ridha yang menganut paham Wahabi itu adalah penulis Tafsir al-Manar yang justru banyak merujuk pada Tafsir ibnu Katsir (Nasuha, 2015). Mereka berdua, Abduh dan Rasyid Ridha, dalam karya-karyanya tidak lepas dari sentuhan kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren.
Dalam faktanya, kalangan pesantren dan pemikiran kritisnya yang dilatarbelakangi kitab kuning dapat berdialektika dengan kalangan nonpesantren. Masing-masing saling berkombinasi dengan keahliannya.
Hal tersebut dapat kita lihat dalam beberapa forum diskusi di pesantren yang biasa dikenal dengan Bahstul Masa’il. Mereka tidak hanya berbekal teks rujukan yang bersumber dari kitab-kitab klasik, namun dihadirkan juga para pakar, baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, bahkan politik untuk membeberkan realita masalah yang akan dibahas.
Lebih dari itu, teks klasik yang mereka jadikan rujukan, bukan sekadar teks yang utuh tanpa adanya rekonstruksi pemikiran yang dapat kurang relevan untuk menjawab problematika masa kini. Mereka menarik dari teks ke konteks, dari langit ke bumi. Mereka merujuk dari cara qouli ke cara metodelogi (manhaji). Bahkan bukan hanya masalah ibadah yang mereka kaji, melainkan masalah-masalah sosial sampai menyentuh problematika negara-bangsa.