Syekh Mutamakkin (1): Keteguhan Pencari Ilmu

463 kali dibaca

Bulan Muharram terasa istimewa bagi saya, baik secara pribadi maupun sebagai santri Kajen. Karena di samping penelitian berbulan-bulan saya tentang Syekh Ahmad Mutamakkin membuahkan hasil berupa sebuah novel berjudul Sulur Perjuangan, juga karena bulan tersebut adalah hari raya bagi penduduk Kajen, Pati, Jawa Tengah.

Di bulan ini, baik ribuan santri maupun penduduk akan menyelenggarakan haul besar Syekh Ahmad Mutamakkin. Jalanan padat. Hilir-mudik orang memenuhi sudut-sudut desa. Karnaval. Dan tentu beragam acara yang diselenggarakan selama hampir seminggu.

Advertisements

Ada satu fakta menarik, bahwa ulama-ulama besar seperti Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Baha’ Nursalim, Kiai Qoyyum Manshur, Kiai Abdullah Zein Salam, dan ulama besar lain ternyata lahir dari nasabnya.

Mungkin ini fakta yang jarangkali diketahui banyak orang. Namun di balik fakta ini, ternyata sosok tersebut pernah hampir dibakar hidup-hidup di tengah alun-alun Kartasura. Saat itu, Raja yang bertakhta adalah Hamangkurat IV, yang kemudian digantikan oleh sang putra yang bergelar Pakubuwana II.

Siapa Syekh Mutamakkin?

Dalam tulisan bagian ini, saya lebih memfokuskan pada pengenalan sosok Syekh Ahmad Mutamakkin dari nasab dan perjalanan dakwah serta keilmuannya. 

Syekh Ahmad Mutamakkin adalah seorang pembabat Desa Kajen, sebuah Desa yang terletak di Kabupaten Pati, yang kini mempunyai lebih dari 50 pondok pesantren. 

Dipercayai bahwa sang syekh adalah keturunan Raja muslim Jawa Jaka Tingkir, cicit Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Ayahnya, Sumohadinegoro, adalah Pangeran Winong bin Pangeran Benawa II bin Pangeran Benawa I (R. Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pambayun binti Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir.

Ratu Pambayun adalah saudara perempuan Raden Patah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah, Raja Demak.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan