Syekh Mutamakkin (1): Keteguhan Pencari Ilmu

464 kali dibaca

Bulan Muharram terasa istimewa bagi saya, baik secara pribadi maupun sebagai santri Kajen. Karena di samping penelitian berbulan-bulan saya tentang Syekh Ahmad Mutamakkin membuahkan hasil berupa sebuah novel berjudul Sulur Perjuangan, juga karena bulan tersebut adalah hari raya bagi penduduk Kajen, Pati, Jawa Tengah.

Di bulan ini, baik ribuan santri maupun penduduk akan menyelenggarakan haul besar Syekh Ahmad Mutamakkin. Jalanan padat. Hilir-mudik orang memenuhi sudut-sudut desa. Karnaval. Dan tentu beragam acara yang diselenggarakan selama hampir seminggu.

Advertisements

Ada satu fakta menarik, bahwa ulama-ulama besar seperti Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Baha’ Nursalim, Kiai Qoyyum Manshur, Kiai Abdullah Zein Salam, dan ulama besar lain ternyata lahir dari nasabnya.

Mungkin ini fakta yang jarangkali diketahui banyak orang. Namun di balik fakta ini, ternyata sosok tersebut pernah hampir dibakar hidup-hidup di tengah alun-alun Kartasura. Saat itu, Raja yang bertakhta adalah Hamangkurat IV, yang kemudian digantikan oleh sang putra yang bergelar Pakubuwana II.

Siapa Syekh Mutamakkin?

Dalam tulisan bagian ini, saya lebih memfokuskan pada pengenalan sosok Syekh Ahmad Mutamakkin dari nasab dan perjalanan dakwah serta keilmuannya. 

Syekh Ahmad Mutamakkin adalah seorang pembabat Desa Kajen, sebuah Desa yang terletak di Kabupaten Pati, yang kini mempunyai lebih dari 50 pondok pesantren. 

Dipercayai bahwa sang syekh adalah keturunan Raja muslim Jawa Jaka Tingkir, cicit Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Ayahnya, Sumohadinegoro, adalah Pangeran Winong bin Pangeran Benawa II bin Pangeran Benawa I (R. Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pambayun binti Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir.

Ratu Pambayun adalah saudara perempuan Raden Patah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah, Raja Demak.

Sedangkan, dari garis Ibu, keturunan dari Sunan Bejagung, Tuban, Jawa Timur melalui Sayid Ali Akbar yang berputra Sayid Ali Ashgar. Sayyid ini mempunyai putra bernama Raden Tanu, dan Raden Tanu mempunyai seorang putri yang menjadi ibunda Syekh Mutamakkin.

Dikutip dari buku Manaqib Syekh Ahmad Mutamakkin karya Milal Bizawie, Syekh Ahmad Mutamakkin memiliki nasab yang tersambung sampai kepada Nabi Muhammad melewati jalur; Syekh Ahmad Mutamakkin ibn Syekh Abdurrahim Pangeran Winong bin Pangeran Benawa II bin Sunan Benawa I bin Abdurrahman Basyaiban bin Sayyid Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar Basyaiban bin Sayyid Muhammad Asadullah bin Sayyid Husain At Turaby bin Sayyid Aly bin Sayyid Muhammad Al Faqih Al Muqaddam bin Sayyid Aly bin Sayyid Muhammad Shahib al Murbath bin Sayyid Aly Khali’ Qasim bin Sayyid Alwy bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy bin Imam ‘Ubaidullah bin Imam Ahmad Al Muhajir ila Allah ibn Imam ‘Isa an Naqib bin Imam Muhammad an Naqib bin Imam Alwy al Uraidhi bin Imam Ja’far Shodiq bin Imam Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abdidin bin Sayyidina Husain bin Fathimah Az Zahra binti Sayyidina Muhammad SAW. 

Sebelum sampai di Kajen, Syekh Ahmad Mutamakkin hidup di Tuban. Sang ayah adalah Sumohadinegoro yang menjadi seorang Adipati, dan sang paman, Abdurrahman Sambu, yang merupakan sang guru menjadi pendidik awal masa kecil dan remajanya.

Hingga di kemudian hari, waktu mengharuskan dirinya berkelana. Dari Tuban, ia berjalan menuju Gondan, Rembang. Dari situ ia membangun sebuah masjid, dan bertemu dengan Sunan Belitung yang menjadi tokoh agama di sana. Nasib, pada perjumpaannya itu, keduanya sepakat, bahwa salah satu dari mereka harus pergi. Dan Ahmad Mutamakkin mudalah yang mengalah.

Perjalanan ia lanjutkan menuju Banten. Di sana ia bertemu dengan Syekh Yusuf al-Makassari yang telah terlebih dahulu meniti hamparan sahara kawasan Timur Tengah. Darinya, Ahmad Mutamakkin muda diarahkan menuju Yaman, dengan melewati Teluk Persia, hingga akhirnya menuju Haramain untuk berhaji.

Dari sekian titik perjalanan ini, Yaman mungkin menjadi tempat persinggahan Ahmad Mutamakkin muda yang paling berkesan. Di sana, ia berguru kepada Syekh Zein, putra dari Syekh Muhammad Abdul Baqi al-Mizjaji, hingga akhirnya menerima gelar al-Mutamakkin, seorang yang telah memiliki keteguhan hati. Dari situlah nama “Mutamakkin” masyhur dikenal hingga sekarang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan