TERUNTUK RIN
Katamu keong emas adalah daging paling agung yang penah ada;
sambil dibumbui sedikit gelak tawamu yang paling renyah
Dibakar pada arang kepelikan yang tak pernah padam
Kemudian aku bersumpah tiada musim yang layu akan senyumanmu
Rin,
Lihatlah hamparan padi kita yang mulai menguning;
selaksa debar dadaku yang kian benderang
Tidakkah kau ingat terakhir kali kita menyemainya?
Apa yang paling dewasa dari siang, Rin?
Langit yang bersih tanpa awan,
ataukah rawa suram dari lembah kepedihan hatiku?
;pulanglah, kan kusiapkan keong emas paling mulia
Yogyakarta, 2022.
TERUNTUK DU
Di bawah pohon Akasia yang teduh
Kepala melompongku hanya tersisa dua harap
Satu pada pertemuan kita yang agung,
satu lagi pada kerlingmu yang kian menyapu bersih segala yang nihil akan hadirmu
Gigil pada langit Cape Town telah penuh dipeluk purnama
Tapi kau masih kedinginan, Du
Meringkuk pada sudut akalku yang telanjang
Legam bahumu masih terus kedinginan;
bercumbu denganku yang gigil tanpa dekapan
Kelak jika sudah genap tahun Jimawal
Kuharap kau masih duduk di pematang sawah kita
Menyemai padi dengan peraduan sepasang burung pipit
Lalu sepoi angin memelukmu dengan lihai
Yogyakarta,2022.
TERUNTUK IBUMU
;ibumu, Du.
Saban pagi hitam yang entah ada atau tanpa kokok ayam
Ibumu telah lincah merayu Tuhan
Merapal segala harap pada putra kesayangan
Menerobos celah gentingmu
Melangit dengan sayap-sayap kokoh
Teruntuk ibumu,
Yang kenyang pada sebukit kelaparan
Yang lega pada selaut kehausan
Aku menitip angan yang larut pada gumpalan angin
Menghantam biliknya yang hangat
Merengek pada kaki-kakinya yang kaku
Teruntuk ibumu, Du