Dalam bahasa Arab, Islam jalan tengah disebut dengan Islam wasathiyah. Islam wasathiyah merupakan model beragama yang mengedepankan titik pijak pertengahan “sentrisme” dan tidak bias ke salah satu pihak (ekstrem kanan maupun ekstrem kiri). Sikap beragama seperti ini akan membuat seorang Muslim menjadi pribadi yang moderat, proporsional, dan menjunjung tinggi perdamaian.
Melalui buku Relevansi Islam Wasathiyah, Azyumardi Azra secara eksplisit menegaskan, Islam wasathiyah (justly balanced attitude) merupakan satu-satunya model beragama yang menjadi masa depan cerah agama Islam. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sabda Nabi Muhammad Saw, posisi wasathiyah adalah sebaik-baiknya perkara (khoirul umuri ausathuha) (hlm. x).
Dengan menjalankan ajaran agama yang selaras karakter wasathiyah seperti ini; tawasuth (tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (adil), tasamuh (toleransi), islah (reformis), ta’awun (tolong-menolong/gotong royong), syura/ musyawarah (konsultasi), muwathanah (cinta tanah air), musawa (egaliter), dan qudwah (teladan), visionernya akan tercipta suatu peradaban dan kemanusiaan yang sejati (beradab, berkemajaun, dan lebih harmonis).
Sir Azra lebih lanjut menjelaskan bahwa Islam jalan tengah sebagai peneduh kedamaian dan kemaslahatan kemudian mencapai signifikansinya ketika Indonesia mampu menerapkan konsep tersebut. Indonesia yang dipadati dengan jumlah Muslim terbesar di dunia terkenal sebagai negara yang moderat dan menerima segala bentuk perbedaan dalam menjalani kehidupan bersama. Budaya tepo seliro, saling menghormati, dan menjunjung tinggi persatuan menjadi ciri khas dari negara Indonesia yang telah di legacy sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Tradisi Islam wasathiyah di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Titik tumbuhnya dimulai dengan proses Islamisasi yang dilakukan bukan dengan jalan aneksasi wilayah, akan tetapi berbasis fiqhud dakwah. Wali Songo adalah ulama yang berperan sentral pertama kali dalam memperkenalkan ajaran Islam.