Siapa yang tak kenal dengan sosok Gus Mus, panggilan KH A Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Selain sebagai seorang kiai, KH A Mustofa Bisri juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Gus Mus banyak menulis puisi dan juga cerpen.
Dalam buku cerpennya yang berjudul Konvensi ini, kita dibawa untuk mengingat kembali karya-karya Gus Mus yang selalu menyampaikan amanah atau pesan dalam suatu karya dengan secara tersirat, dan tidak secara langsung atau secara tersurat.
Yang perlu kita sadari, bahwa setiap karya yang diciptakan Gus Mus, terkadang memiliki suatu makna pesan moral, bak itu karya yang berupa puisi ataupun cerpen. Karena itu, karya Gus Mus sering menjadi buah bibir di kalangan pembaca. Di antaranya cerpen yang berjudul Gus Jakfar dan Lukisan Kaligrafi. Kedua cerpen ini ditulis dengan gaya realisme berlatar pesantren yang tidak luput dari unsur mistisme keagamaan dan kepercayaan kalangan pesantren.
Gus Mus dalam menulis cerpen memang adakalanya sengaja “tidak mengakhiri sebuah cerita”, atau bisa dikatakan dengan sebutan “akhiran menggantung”. Ini bukan karena Gus Mus tidak bisa mengakhiri atau menyelesaikan ceritanya, atau karena kehabisan ide dalam menentukan ending pada sebuah ceritanya (deus ex machia). Itu dikarenakan Gus Mus memang ingin pembaca juga harus berpikir, seolah-olah pembaca masuk ke cerita dan juga mau ikut berpikir bagaimana akhir cerita tersebut (jawaban solusi pada sebuah cerita).
Dalam buku Konvensi setebal 131 halaman ini, pembaca secara tidak langsung akan terasa “terbius”. Meskipun buku ini memanglah tidak terlalu tebal untuk ukuran sebuah buku, tapi bisa dikatakan cukup untuk kumpulan cerpen. Yang menarik dari buku ini, bila ditinjau dari kacamata keilmuan pesantren, terdapat beberapa cerpen yang mempunyai pesan/hikmah yang menukil dari beberapa kitab kuning kajian pesantren.
Seperti pada cerpen yang berjudul “Rizal dan Mbah Hambali”. Dalam cerpen ini Gus Mus menukil ungkapan menarik dari ulama sufi Syaikh Ibn A’thaillah As-Sakandari yang berbunyi: “Kesungguhanmu dalam memperjuangkan sesuatu yang dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikkan padamnya mata hati darimu.”