(TIDAK) ADA SAMPAH PUISI YANG BERSERAKAN
*Narasi Puisi untuk Pak Chairil Anwar.
Narasi I
Semakin mekar namamu di 28 April. Menaungi ribuan puisi di bumi pertiwi yang tidak boleh kerdil.
Pak,
Mata puisimu setajam kenang menusuk hati sang empunya. Bait-baitnya melukai ego pemiliknya.
Mengalirlah kata demi kata
mengisahkan
Bahwa pahit tak selalu cerita kopi dengan ampasnya.
Mulut puisimu membuka tabir persepsi
Bermuncullah narasi demi narasi, bahwa manis tak selalu tentang gula.
Telah kau rekam segala jejak abjad yang maknanya mampu sesederhana alasan.
Atau serumit kebenaran.
Pak,
Pada almanak semesta, namamu telah terhitung
Sebagai pendatang paling antah dan penjelajah
yang bertualang tanpa resah.
Narasi II
Semesta kemudian mengerti,
tak ada sisa puisi yang sia-sia, atau berserakan menjadi onggokan sampah.
Bukankah puisi tidak pernah berbohong? Ia selalu sanggup masuk, menetap, dan mencintai (nurani) setiap pribadi.
Terima Kasih
; Telah penuh sayang, kau dekap segala puisi.
Narasi III
Andaikata siagamu mencintai puisi tertanam pada setiap jiwa di bumi pertiwi,
niscaya tak perlu ada resah bertandang di kolong-kolong jembatan.
Atau cemas, nasib bangsa dihuni koruptor yang menggila bahkan dalam situasi pandemi.
Andaikata luhur dan tumbuh subur kebajikan nurani, yang menjadi tombak penyokong lahirnya puisi sejati,
maka tak perlu ada bimbang semesta rusak oleh tingkah-tingkah biadab penguasa.
Pak,
bukankah puisi adalah sumber lahirnya nilai-nilai budi?
Bukankah dengan puisi, kita dapat melihat kebajikan yang bertebaran?