Transformasi Dunia Santri

Sebentar lagi, kita akan memperingati Hari Santri 2025 dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”. Semestinya, ini tak hanya menjadi seremoni rutinan belaka. Ia perlu dibaca sebagai panggilan strategis. Bahwa santri, dengan akar tradisi yang kuat, dituntut tak sekadar menjaga kemerdekaan dalam makna historis, melainkan juga ditantang menjadi aktor aktif dalam membentuk lanskap masa depan — dari lokal hingga global.

Namun, menjelang Hari Santri tahun ini, muncul suatu ironi. Sebuah laporan media televisi nasional menyajikan potret pesantren yang dinilai bias, tendensius, bahkan insinuatif. Tak tanggung-tanggung, pesantren sebesar Lirboyo ikut terseret. Bagi banyak santri, ini tentu bukan soal enteng. Serangan semacam ini terasa menyentuh jantung identitas. Tapi pertanyaannya: bagaimana seharusnya kita merespons?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Bukan rahasia lagi, ada ketegangan panjang antara dua kutub pemikiran dalam Islam Indonesia: tradisional, dan puritan. Yang satu tumbuh dari kultur pesantren dengan praktik-praktik keagamaan berbasis tradisi lokal. Yang lain tampil dengan klaim kemurnian agama, dan sering mengkritik apa yang dianggap sebagai “tambahan” dalam ibadah. Ketegangan ini telah lama menjadi medan kontestasi yang terus bergulir, termasuk di media massa.

Liputan Trans7 tersebut tak bisa dibaca sebagai insiden lepas. Ia muncul di tengah konteks ideologis yang lebih besar. Jika ditelusuri, banyak program keagamaan di media tersebut sejak lama menyuarakan kecenderungan tertentu. Beberapa figur di balik layar bahkan diketahui bagian dari gerakan “hijrah” dengan pemahaman Islam yang cenderung puritan.

Maka, jika pada akhirnya mereka menampilkan pesantren dengan framing negatif, itu bukan semata kesalahan teknis. Ia adalah bagian dari narasi ideologis. Namun, meresponsnya dengan hanya marah dan tuduhan konspiratif tak akan menyelesaikan masalah.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, narasi tidak bisa dilawan dengan fobia. Ia hanya bisa dikalahkan dengan narasi tandingan yang lebih kuat, lebih meyakinkan, dan lebih tersebar.

Dan saya pikir, inilah PR bagi dunia santri hari ini. Jika santri tidak hadir di ruang-ruang produksi narasi — seperti media, dunia digital, budaya populer, hingga teknologi — maka jangan heran bila pesantren terus dimaknai dari luar, bahkan disalahpahami.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan