Alangkah lemahnya seseorang yang hanya berbuat atas hasrat dan kehendak pribadinya, tanpa sekalipun mampu menaklukkan keinginannya itu. Bukankah melepas-bebaskan nafsu yang liar lagi buas menyebabkan manusia tidak ada bedanya dengan binatang? Di sinilah letak kerapuhan pandangan Barat. Faktanya, kebebasan yang selama ini selalu didengungkan justru membuat hidup semakin hampa dan tidak bermakna.
Oleh karenanya, hampir semua yang baik selalu identik dengan ketidaksenangan, dan tentu saja termasuk serangkaian kegiatan (di) pesantren. Maka, bisa bertahan hingga liburan tiba artinya sanggup menaklukkan segenap ketidaksenangan dan berbagai kejenuhan. Mampu sampai di ujung bentang jarak dan waktu yang terasa begitu jauh dan panjang berarti ia telah berhasil dikalahkan. Dan akhirnya, liburan segera tiba.
Namun sayangnya, liburan acapkali diartikan sekadar ajang untuk melepas penat, melipur jenuh, dan meluruhkan segenap kesah dan lelah selama di pesantren. Tidak lebih. Tentunya dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, setelah sekian lama bergelut dengan bermacam aktivitas pesantren, sembari terbelenggu undang-undangnya. Tidak salah jika liburan selalu disambut dengan riang. Sungguhpun waktunya yang singkat dan tidak sepadan dengan lama kala beraktivitas kembali, “Berlibur tetap lebih baik daripada tidak,” ucap salah seorang teman.
Pola pikir inilah barangkali yang memicu tindakan-tindakan yang semua berasaskan prinsip “mumpung”, ya mumpung masih liburan. Mumpung masih liburan, semua seolah halal dilakukan.
Pendangkalan makna ini pula yang medasari semangat berlomba-lomba melepas semua habitus selama di pesantren nan masih tetap dengan alasan yang sama: mumpung masih liburan. Semakin berbeda dengan sewaktu berada di pesantren seakan semakin berhasil menjalani hari-hari libur dengan benar. Semua lini perilaku kala berlibur dirasa kurang bila tidak menjurus pada instagramable dan berbagai kesenangan yang tidak bisa digapai sewaktu di pesantren.
Entah sejak kapan cara pandang –yang sekilas tampak remeh– ini bermula. Ia berimplikasi mirip –kalau tidak mau dikatakan persis– dengan apa yang selama ini menjadi pandangan Filsafat Barat: hidup adalah tentang melakukan apa pun yang diinginkan. Ironis memang. Paradigma Barat yang sedemikian sering digugat dengan ganas secara teoretis hingga terkadang memantik polemik panjang, ternyata dengan senyap mampu menyelinap di tengah kentalnya ajaran keislaman pesantren.