Coba sebutkan bapaknya bapakmu siapa? Kakeknya bapakmu siapa? Bapaknya kakekmu siapa? Kakeknya kakekmu siapa?
Saya pernah kena “skakmat” saat ditanya perihal ini. Menjadi gagap, dan lama-lama saya berpikir: bagaimana kalau nanti anak saya bertanya perihal leluhurnya, dan saya tidak bisa menjawabnya?
Masih bisa diatasi, ditanyakan kembali, jika orangtua saya masih ada. Syukur-syukur kakek panjang umur. Kalau sudah wafat, mati obor sudah!
Ini bermula dari rasa ingin tahu saya ketika mesantren di Pondok al-Qur’an Miftahul Khoirot, Karawang, Jawa Barat. Saat itu sedang cuti kuliah. Mengisi cuti dengan menghafal firman-firman Allah yang merupakan wasilah dari nenek saya, yang ternyata masih ada ikatan keluarga dengan keluarga pondok tersebut.
Awalnya saya sharing dengan sesama santri. Usut punya usut, cerita yang saya dapatkan mengenai pendiri pondok yang biasa dipanggil Abah, sedikit demi sedikit terbukalah satu per satu hal yang sama sekali belum pernah saya dengar. Kala itu nalar saya belum dapat menangkap semua yang diceritakan, namun perlahan semua menjadi tergambar jelas.
Mengenal silsilah orang tua bukanlah hal yang mudah. Terbilang sulit, karena berbicara tentang validasi data, di samping harus mutawattir, juga harus tsiqoh (kuat secara ingatan ketika disampaikan). Menghafal silsilah tidak beda jauh dengan menghafal rawi dalam hadits, mesti ada ketersambungan satu dengan yang lain. Jika salah satu terputus, maka akan menjadi cacat.
Mengetahui silsilah leluhur penting dilakukan, selain untuk mengetahui dari mana, dari siapa kita berasal, juga dapat mengantarkan kita menjadi ahli sejarah. Mengapa? Karena setiap tingkat yang kita temui dalam urutan silsilah tidak akan lepas dari 6 unsur, yakti 5W+1H. Setelah itu akan menjadi cerita panjang. Jika kita lebih kritis lalu menulis, dapat menjadi buku yang cukup tebal.
Sebagaimana hadits yang pernah saya dengan, “Siapa saja yang hafal 40 silsilah Nabi Muhammad Saw, maka ia akan masuk surge.”