Khazanah tafsir Nusantara terus mengalami perkembangan yang dinamis dan menarik untuk dikaji. Perkembangan dan dinamikanya terus berkontribusi terhadap kemajuan produk budaya di Indonesia.
Munculnya berbagai produk tafsir dengan pelbagai bahasa semakin memperkaya khazanah literatur Nusantara dan melestarikan budaya serta tradisi. Salah satunya adalah Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl yang merupakan tafsir lokal berbahasa Jawa karangan Kiai Pesisir Jawa KH Miṣbah Muṣṭafa.
Lokalitas dan Karakteristik Al-Iklīl
Penafsiran bukanlah sebatas suatu upaya memahami dan mempelajari teks Al-Qur`an, melainkan juga berkenaan dengan realitas masyarakat. Sebagai suatu produk budaya, maka tafsir bersinggungan dengan tradisi, kultur, realitas, dan kondisi sosial suatu masyarakat di suatu waktu. Dan kehadiran tafsir memang merupakan kebutuhan suatu masyarakat. Karena itu, bahasa tafsir disesuaikan dengan bahasa daerah di mana tafsir tersebut dilahirkan. Atau dalam bahasa Anthony H Johns disebut dengan “vernakularisasi”.
Hal ini juga terjadi di Nusantara. Banyak bahasa yang digunakan untuk menafsirkan Al-Quran di Indonesia, seperti Bugis, Melayu, Sunda, dan Jawa. Selain itu, akibat dari geososial budaya juga muncul tiga tradisi, salah satunya tradisi pesisir yang kelak melahirkan tafsir dengan tradisi pegon dan makna gandhul beraksara Jawa. Salah satu tafsir tradisi pesisir Jawa adalah tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karangan KH Miṣbah Muṣtafa.
Latar belakang penulisan tafsir ini adalah untuk mengingatkan masyarakat yang mengesampingkan akhirat supaya kembali kepada pedoman Al-Qur`an. Dalam penulisan tafsir ini, Kiai Misbah menggunakan bahasa aksara Jawa pegon dan makna gandhul serta menggunakan metode taḥlili dan tartib mushafi.
Dalam al-Iklīl mengandung beberapa corak, yaitu corak al-adaby al-ijtima’iy, fiqhi, dan tasawuf. Dalam penulisannya, Kiai Misbah selalu mencantumkan asbāb al-nuzūl, munasabah, dan menjelaskan berbagai makna kata, hadis-hadis atau riwayat Nabi, sahabat, serta tabiin.