Jika proses islamisasi di Pulau Jawa erat kaitannya dengan strategi dakwah dari Wali Songo, maka hal serupa tak jauh berbeda dengan masuknya Islam ke bagian timur Nusantara, tepatnya Pulau Lombok, yang pada akhirnya dikenal dengan Pulau Seribu Masjid.
Singkatnya, agama Islam masuk di Pulau Lombok kira-kira abad ke-15 M, diperkenalkan oleh Sunan Prapen (Sayyid Maulana Muhammad Fadlullah), putra Sunan Giri (salah satu Wali Songo). Maka setelah kedatangannya, masyarakat Lombok yang beretnis Sasak yang tadinya beragama Hindu-Jawa, beralih ke agama Islam. Julukan sebagai Pulau Seribu Masjid tentu hanya sebuah frasa yang bersifat metafora, bernada hiperbolis. Frasa itu melukiskan tak terhingganya jumlah masjid sebagai penanda kuatnya Islam berakar di masyarakat Sasak.
Menurut history standing, keragaman yang menghiasi masyarakat Sasak di Pulau Lombok membuat penyebar Islam di Lombok sedikit menemukan kesulitan, bahkan menurut dr Jamaluddin dalam bukunya Sejarah Islam Lombok; Abad ke-16 hingga Abad ke-20, Sunan Prapen dalam dakwahnya pernah ditolak oleh Raja Lombok. Namun akhirnya Sunan Prapen mampu mengislamkan Kerajaan Lombok. Setelah itu, agama Islam pun disebarkan ke daerah-daerah kedatuan (kerajaan) yang berada di bawah Kerajaan Lombok. Seperti Kedatuan Pejanggik, Langko, Parwa, dan Suradadi.
Dari abad ke-15 sampai abad ke 19, semua penjuru di Pulau Lombok sudah terjamah oleh agama Islam. Kiai atau juru dakwah di Pulau Lombok, yang dipanggil dengan Tuan Guru Haji (TGH), terus berdakwah dengan mendirikan pesantren dari Lombok bagian utara hingga selatan. Misalnya, pada awal abad ke-19 telah berdiri Pondok Pesantren Al Manshuryah Ta’limushibyan yang menjadi salah satu pelopor penyebaran Islam di Lombok bagian selatan. Hingga kini, pondok besar ini tetap menjadi pelopor dan menjadi destinasi intelektual bagi santri untuk menggali agama Islam.
Pondok Pesantren Almanshuryah Ta’limushibyan yang terletak di Jalan Tuan Guru Saleh Hambali, Desa Bonder, Kecamatan Praya Barat, Kabupten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini dirintis oleh salah satu ulama besar di Lombok Selatan bernama TGH Abbas yang lahir sekitar abad ke-18. Beliau adalah putra sulung keturunan bangsawan bernama Serasih. Serasih sendiri adalah putra dari Jayang Sari yang berarti beliau adalah keturunan keempat dari Jayang Rana, seorang bangsawan di tanah Sasak juga.
TGH Abbas setelah pulang menuntut ilmu di Mekkah, dan berguru dengan berbagai ulama terkemuka di sana, beliau kemudian mendirikan sebuah langgar kecil yang digunakan sebagai keperluan keagamaan masyarakat sekitar, seperti tempat menunaikan salat jumat, tahlilan, dan bermusyawarah. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat ini dijadikan sebagai penerangan dan penentuan waktu salat.
Perjuangan TGH Abbas kemudian dilanjutkan oleh putra beliu bernama TGH Manshur Abbas yang lahir pada 1912 dengan nama kecil Lalu Badrun alias Haramain. TGH Manshur Abbas sudah dititipkan oleh ayahandanya di pesantren asuhan TGH Sholeh Hambali bengkel yang terletak di Desa Bengkel, Lombok Barat sejak berumur enam tahun, yakni 1918 hingga 1935. TGH Saleh Hambali sendiri adalah sahabat TGH Abbas sekaligus ulama kharismatik dan berpengaruh di Pulau Lombok.
Setelah mendapatkan baiat dari gurunya untuk menyebarkan serta memperkenalkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, maka mulailah TGH Manshur bersama ayahnya berkeliling ke beberapa desa di daerah Lombok selatan. Dakwah ini terus dilakukan, hingga ketika tahun 1953, TGH Manshur Abbas mendapatkan restu oleh gurunya (TGH Saleh Hambali Bengkel) untuk memperkenalkan jamiyah Nahdlatul Ulama di daerah tersebut.
Sebagai implementasi dari keberhasilan beliau menyebarkan Islam an Nahdliyah dan melanjutkan perjuangan TGH Abbas, maka beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah yang diberi nama MI Almanshuryah Ta’limushibyan yang di mana, nama Almanshuryah dinisbatkan kepada beliau sendiri, TGH Manshur Abbas.
Pondok pesantren ini adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Lombok selatan pada saat itu. Keberhasilan Pondok Pesantren Almanshuryah pada saat itu, bisa dilihat dari masyarakat yang tersebar di 27 desa dan 4 kecamatan yang mulai mengenal dan menuntut ilmu di pondok pesantren ini serta menitipkan anak didik mereka untuk memperdalam ilmu agama.
Pondok Pesantren Almanshuryah Ta’limushibyan yang sejak awal didedikasikan untuk memperbaiki tata ibadah atau keagamaan dan sosial masyarakat melalui sprititual approach ini, berhasil menjadi ikon perjuangan pembangunan lebih 30 tempat ibadah di 27 desa yang berada di Lombok bagian selatan.
Pesantren ini menemukan titik kejayaan ketika putra TGH Manshur Abbas, yakni TGH. Ahmad Taqiuddin Manshur mengambil tampuk kepemimpinan. TGH Ahmad Taqiuddin mampu mengembangkan pesantren yang semula hanya memiliki Madrasah Ibtidaiyah menjadi pesantren besar dan memiliki lembaga pendidikan dari TK hingga Perguruan Tinggi.
Mengingat kebutuhan yang mendesak dan potensi yang perkembangan semakin pesat, maka pada 1983, TGH Ahmad Taqiuddin Manshur mencetuskan berdirinya Madrasah Tsanawiah Al Ma’arif NU Taklimushibyan. Kemudian pada 1987 berdiri Madrasah Aliyah diikuti dengan berdirinya SMA, SMK, SMP, yang semua diserahkan pengelolaannya ke LP Maarif NU, berupa dua bangunan masjid, perpustakaan ATQIA tiga lantai, serta Kampus 2 Universitas Nahdlatul Ulama(UNU NTB) pun berada di pesantren ini.
Lembaga-lembaga pendidikan tersebut berjalan sesuai peraturan pemerintah dan diakui oleh negara sebagai salah satu pendidikan yang memiliki legitimasi sebagai sarana pendidikan yang representatif di daerah selatan. Adapun, sarana prasana serta berbagai persyaratan telah memenuhi standar sebagaimana yang diatur oleh pemerintah melalui Departemen Agama maupun Dinas Pendidikan Nasional. Sehingga sampai detik ini, alumni Pondok Pesantren Almanshuryah telah mencapai ribuan. .
Pada 1992, sentuhan dan pengabdian TGH Manshur Abbas untuk Islam di Lombok selatan pun berakhir. Bertepatan pada 2 Januari 1992 beliau wafat pada usia 82 yang pada saat itu beliau masih berstatus sebagai a’wan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU NTB). TGH Manshur Abbas meninggalkan 2 orang istri dan 10 orang putra putri. Meskipun ditinggal oleh pengasuh pertama, Pondok Pesantren Almanshuryah di bawah kepemimpinan TGH Ahmad Taqiuddin Manshur secara bertahap, terus melakukan perbaikan sumber daya dan fasilitas yang memadai. Sehingga tidak aneh jika masyarakat Pulau Lombok khususnya Lombok Selatan dan luar pulau banyak yang menjadikan pondok yang berdiri di atas tanah seluas 50.000 m2 ini sebagai tujuan menuntut ilmu.
Pengaruh yang kuat dari TGH Ahmad Taqiuddin Manshur yang pada saat itu menjadi Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) membuat pondok ini memiliki relasi yang kuat di tingkat nasioanal. Seringkali pondok ini dijadikan tempat penyelengaraan acara tingkat nasional seperti, Pra-Muktamar NU ke-33, RAKERNAS NU, Musyawarah Alim Ulama, peresmian Bank Wakaf Mikro ATQIA yang dihadiri oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin dan masih banyak acara nasional lainnya.
Pada Rabu, 10 Oktober 2018, Pondok Pesantren Almanshuryah kembali berduka setelah TGH Ahmad Taqiuddin, Pengasuh Kedua Pondok Pesantren Almanshuryah yang sekaligus menjadi Ketua PWNU ini, mengembuskan napas terakhir pada umur 65 tahun. Beliau meninggalkan nama baik sebagai sosok yang istiqomah serta ikhlas dalam berjuang untuk masyarakat dan NU baik melalui lembaga pendidikan maupun pesantren. Di samping itu, beliau meninggalkan 2 istri dan 4 orang putra putri. Kepemimpinan pondok pesantren pun dipegang oleh istri beliu, yakni Dr Baiq Mulianah yang sekaligus menjadi Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU NTB).
Kini, total santri Pondok Pesantren Almanshuryah Ta’limushibyan sudah mencapai sekitar 3000 santri, baik yang pulang pergi maupun bermukim di pesantren, karena tidak semua santri mondok di kompleks pesantren. Banyak santri yang berasal dari sekitar pondok tetap tinggal di rumah masing-masing.
Perkembangan Pondok Pesantren Almanshuryah Ta’limushibyan dari tahun ke tahun dari semua lini terus berkembang pesat. Ini dibuktikan dari sistem pendidikan yang mumpuni, fasilitas yang memadai, maupun alumni pesantren yang semakin menunjukkan eksistensi awal pendirian, yakni sebagai pilar syiar Islam di Pulau Lombok dan harapan para pendiri Pondok Pesantren Almanshuryah.