Untuk kedua kalinya, alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur, kembali mengaji bersama kitab Riyadhus Shalihin. Pengajian dilaksanakan Jumat (9/4/2021) yang diampu KH A Hanif Hasan berlangsung di Masjid Nila Al-Rasyid, Bangkal, Sumenep. KH A Hanif Hasan adalah pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah.
Ngaji kitab Riyadhus Shalihin diikuti dihadiri oleh alumni Pesantren Annuqayah dan simpatisan, baik putri maupun putra. Dalam pengantarnya, Kiai Hanif menyinggung masalah ajal dan keakhiratan, yang menjadi tujuan utama dalam hidup.
“Walal akhiratu khairu wa abqa,” demikian disampaikan Kiai Hanif, yang artinya bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Kiai Hanif juga mengutip ayat lainnya, Allah berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashshash: 77).
Ayat ini menekankan perlunya keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Tetapi, yang jauh lebih utama untuk mendahulukan kepentingan akhirat, karena kehidupan ini kekal atau untuk selama-lamanya.
Selain masalah keakhiratan dan kematian, Kiai Hanif juga menjelaskan tentang takwa. Dijelaskan, dalam bahasa agama (Islam), takwa adalah “Imtitsalu awamirillah wajtinabu manhiyyatih.” Artinya, melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi (meninggalkan) semua larangan-Nya). Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan terkait takwa dengan firman-Nya, “Fainna khairazzadit taqwa.” Artinya, sesungguhnya sebaik-baik bekal (yang akan dibawa mati) adalah takwa).
Ummu Qais
Kiai Hanif juga menguraikan, di awal bab kitab Riyadhus Shalihin, pengarang kitab, Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi, menjelaskan tentang niat dan keikhlasan. Pada hadis yang pertama disebutkan, —Dari Umar bin Khattab RA, berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Segala Amal perbuatan hendaklah dengan niat, dan seseorang hanya mendapatkan balasan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (balasan) hijrahnya itu sesuai apa yang diniatkan nya.”— (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah penjelasan disebutkan sebab turunnya hadis (asbabul wurud) ini, yaitu berkaitan dengan seorang wanita salehah yang bernama Ummu Qais. Sebagai seorang wanita yang beriman, Ummu Qais ikut serta dalam dakwah Nabi dengan hijrah.
Namun, sebelum Ummu Qais —yang ditamsilkan sebagai wanita cantik— ini ikut serta dalam rombongan hijrah, dengan niat karena Allah, ada seorang laki-laki yang melamar untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Tetapi Ummu Qais tidak serta merta menerima lamaran lelaki tersebut (yang tidak disebutkan namanya oleh Umar bin Khattab karena khawatir dianggap aib), tetapi wanita Mekah ini memberikan syarat untuk ikut serta dalam berhijrah.
Karena cinta telah menutupi seluruh jiwa lelaki itu, yang kemudian terkenal dengan sebutan Si Hijratu Ummu Qais, meski dengan niatan bukan karena Allah, tapi karena ingin menikahi Ummu Qais, akhirnya ia ikut juga dalam rombongan hijrah. Sesampainya di Madinah, ia pun melamar dan menikahi Ummu Qais sesuai dengan keinginannya. Sesuai dengan apa yang disabdakan Nabi Muhammad, maka yang berhijrah karena wanita, ia akan mendapatkan keinginannya itu.
Kualitas Niat
Terkait dengan hadis yang menjelaskan tentang niat, beberapa ulama menjelaskan hubungannya dengan kualitas niat. Imam Abu Daud menjelaskan bahwa kedudukan niat adalah setengah dari amal ibadah. Menurut Imam Abu Daud, amal ibadah dibagi menjadi dua bagian, yaitu secara lahiriyah dan batiniyah. Sedangkan, niat merupakan amal ibadah secara batiniyah. Maka menurutnya, niat merupakan setengah dari amal pelaksanaan ibadah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa niat merupakan sepertiga dari seluruh amal ibadah. Menurut kedua ulama ini, amal ibadah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu niat, ucapan, dan perbuatan. Maka niat menduduki sepertiga dalam suatu perbuatan amal ibadah.
Itulah beberapa pokok materi yang disampaikan pada kesempatan Ngaji Kitab Riyadhus Shalihin oleh KH Hanif Hasan pada pertemuan kedua ini. Di akhir kegiatan, kami (beberapa) masih sempat berbincang santai dengan Kiai Hanif, yang setelah sekian lama tidak bersua menjadi bagian dari pengobat rindu. Semoga silaturrahmi ini menjadi keberkahan hidup, baik di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam!