Bahasa merupakan simbol bagi manusia yang diciptakan untuk maksud tertentu sebagai alat komunikasi dan membantu mobilitas kehidupannya dalam berinteraksi. Bahasa dalam pengaplikasiannya dilakukan dengan dua cara, yaitu berupa tulisan dan lisan. Bahasa berupa tulisan merupakan bentuk transfer kata-kata yang diolah menjadi tulisan via pencil or pen, semisal karya cerpen,opini, esai, dan lain sebagainya. Sedangkan, bahasa berupa lisan merupakan bentuk transfer kata-kata yang diimplementasikan dalam corak penyampaian atau pembicaraan via mouth to ear semisal, ceramah, pidato, diskusi, orasi, dan lain sebagainya.
Secara universal, bahasa baik berupa lisan maupun tulisan memiliki keterkaitan dan berhubungan satu sama lain. Hubungannya adalah, jika ditelisik secara historis dengan pertanyaan mengenai siapakah yang ada terlebih dahulu antara bahasa berupa tulisan atau lisan. Maka jawabannya adalah bisa jadi kedua-duanya dapat muncul yang pertama dan yang terakhir.
Bahasa baik secara lisan atau tulisan meskipun lahir dari satu jalur, namun mempunyai beberapa pedoman supaya maksud tertentu yang ingin disampaikan menjadi mudah dimengerti satu sama lain. Bahasa secara tulisan mempunyai pedoman yang berpedoman pada gramatical atau tata susunan bahasa. Sedangkan, bahasa berupa lisan mempunyai pedoman berupa hukum berpikir atau logika (manthiq).
Bahasa secara tulisan atau dikenal dengan gramatical berhubungan dengan bagaimana menyusun kalimat atau menempatkan kata tersebut menjadi subjek, predikat, objek, atau keterangan. Bahasa secara lisan (logika atau manthiq) berhubungan dengan bagaimana membuat proposisi atau pernyataan, pengambilan kesimpulan, dan berargumentasi secara tepat.
Gramatical bahasa dan logika atau manhtiq mempunyai dampak yang begitu signifikan terhadap kualitas manusia. Sebab dalam ilmu linguistik, gramatical bahasa dan manthi (logika) meskipun berbeda cakupan, namun masih mempunyai satu kesatuan yang membantu dalam perkembangan bahasa seseorang.
Dr Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama (Sebuah Kajian Hermeneutika), mengatakan bahwa kualitas manusia ditentukan dengan kualitas bahasa (tepat, benar, dan sistematis) yang dimilikinya. Secara eksplisit dapat dipahami bahwa jika kita ingin menjadi manusia yang berkualitas, maka cara berbahasa kita harus tepat, benar, dan sistematis. Artinya, peran bahasa dalam eksistensinya sangat urgen terhadap perkembangan kepribadian manusia.
Bahasa dalam pengaplikasiannya dapat baik atau buruk tergantung dari kondisi emosionalitas yang dialami oleh seseorang. Sebagaimana dijelaskan Dr Komaruddin Hidayat, baik atau buruknya bahasa seseorang ditentukan oleh kondisi emosionalitas atau kepribadian atau perasaan seseorang. Ketika emosionalitas seseorang sedang baik, maka baik pula bahasanya. Begitu juga jikalau emosionalitas seseorang sedang buruk atau terjadi yang tidak mengenakkan jiwanya, maka akan buruk juga bahasanya. Antara bahasa dan emosionalitas memiliki keterkaitan dalam menentukan baik atau buruknya bahasa seseorang.
Melakukan kegiatan berbahasa ternyata tidak semudah yang kita asumsikan seperti mengeluarkan bahasa atau kalimat kepada seseorang secara spontanitas atau ceplas-ceplos adanya. Karena implikasinya adalah bahasa yang kita keluarkan tidak dimengerti dan proses komunikasi yang kita lakukan menjadi sulit terjadi dan amburadul.
Hal yang diperlukan dalam kegiatan berbahasa supaya bahasa yang kita hasilkan baik dan benar dan dapat menjadikan diri kita berkualitas adalah emosionalitas, memiliki gambaran akan kata tersebut, dan pemahaman kita tentag arti atau definisi kata tersebut. Ketiga hal tersbut yang harus dipahami dan dimengerti oleh setiap manusia supaya peradaban yang berkualitas dapat kembali terbangun.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wittgesnten bahwa “Die Grenzer meiner die grenzen meiner Welt. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, artinya “Batas bahasaku merupakan ambang batas duniaku.” Sehingga hal ini sangat terang sekali posisi pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dalam membangun peradaban. Sebab dari itu pula manusia merupakan makhluk istimewa dari makhluk lain dengan keistimewaan akal yang dimilikinya.
Hal lain juga disampaikan oleh Filsuf Ernst Cassiser tentang teori manusia sebagai animal symbolic, bahwa keunikan manusia sebenarnya bukan pada kemampuan berpikirnya, akan tetapi dengan kemampuan berpikirnya yang rasional itu sehingga manusia mampu menggunakan simbol sebagai wujud nyata kemampuan manusia dalam berbahasa.
Secara umum bagi saya pribadi, kata-kata atau berbahasa merupakan suatu hal mudah dilakukan namun sulit untuk memahaminya. Tapi tidak ada yang sulit di dunia ini ketika kita sudah berusaha dan belajar dan mencoba mencari tahu tentangnya. Nothing is imposibble. Jangan takut salah dalam mencoba membuktikan dan takutlah salah jika Anda telah membodohi kebenaran.