Pendidikan kesetaraan gender di lingkungan pondok pesantren kini menjadi sesuatu yang sangat urgen untuk diwujudkan. Sebab, pesantren merupakan basis pengembangan ilmu-ilmu keislaman salaf dan modern memiliki fungsi sebagai agen perubahan dalam pemberdayaan dan pengembangan umat.
Sebagai contoh, sedikit banyak pendidikan kesetaraan gender sudah diimplementasikan di Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo. Praktik pendidikan kesetaraan gender juga sudah menjadi pemandangan sehari-hari di pesantren ini.
Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo ini berada di Perumahan Bank Niaga, Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah.Karena berada di tengah-tengah permukiman kota, santri yang bermukim di sana kebanyakan mahasiswa, karena lokasinya yang dekat dengan kampus Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
Pondok Pesantren Be-songo ini didirikan dan diasuh oleh Prof Dr KH Imam Taufiq dan Nyai Dr Arikhah yang merupakan putri dari KH Ahmad Basyir, muassis PP Darul Falah Jekulo Kudus yang masyhur di masyarakat dengan amalan Dalail Khoirot.
Pesantren Be-songo berdiri sejak tahun 2008. Pesantren ini bermula dari rumah kos Blok B-9 yang menampung mahasiswa. Pendirian pesantren ini dilatari kepedulian Abah Imam dan Umi Arikhah terhadap pemuda, khususnya mahasiswa, yang aktivitas keseharian mereka kurang sesuai dengan ajaran agama, semisal, pergaulan yang cenderung bebas, berfoya-foya hingga kurangnya etika dan tata krama dengan masyarakat sekitar. Atas dasar itulah, tumbuh semangat untuk memperbaiki citra moralitas mahasiswa Islam dengan menghadirkan model pendidikan pesantren di tengah masyarakat perumahan yang heterogen.
Dari tahun ke tahun perkembangannya melaju dengan cepat, baik dari jumlah santri, fisik bangunan, maupun kegiatan santri yang secara lambat laun semakin bertambah dan semakin padat. Hingga pada tahun 2013 Pesantren Be-songo mendapatkan amanah mengelola Pendidikan Kader Ulama (PKU) dari Direktorat Jendral Pendidikan Diniyah dan Pesantren Kementerian Agama RI.
Saat ini Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo semakin mengalami peningkatan jumlah santri yang mukim, terbagi menjadi 6 asrama putri dan 4 asrama putra yang tersebar di tengah-tengah warga perumahan Bank Niaga.
Sejalan dengan visinya “Berakhlak Mulia dengan Kompetensi Keagamaan dan Kecakapan Hidup yang Andal”, kurikulum kepesantrenan di Be-songo tidak hanya menitikberatkan pada ilmu-ilmu keislaman salaf dengan tradisi maknani kitab kuning, tetapi juga dikombinasikan dengan keilmuan modern yang tujuannya mendukung studi santri di kampus. Seperti, ilmu dan praktik jurnalistik, manajemen, resolusi konflik, kebahasaan, dan sebagainya.
Pengasuh juga menekankan konsep kesetaraan (al-musawa), keadilan (al-’adilah), dan hak asasi perempuan (al-harakah al-insaniyah) dalam pengajaran. Dan pola pengajaran pada tiap kelas bukan saja khas pesantren salaf, sebut saja bandongan (ustaz atau ustazah membaca kitab sementara para santri menyimak dan memaknainya) juga sorogan (santri membaca kitab di depan guru), melainkan juga dengan forum diskusi atau halaqah dan bahtsul kutub sehingga dapat menambah daya kritis dan ketajaman analisis para santri.
Tidak lupa ilmu life-skills juga diajarkan di Pesantren Be-songo ini. Tujuannya sebagai bekal bagi para santri baik putra maupun putri pada kehidupannya di masyarakat kelak. Yang menarik di sini, santriwan dan santriwati harus ikut andil semua dan bisa melakukan tiap skills seperti kerajinan tangan, memasak, menjahit, membuat baki lamaran, sulam pita, sablon juga kimia rumah tangga.
“Ilmu itu tidak berjenis kelamin, tidak ada ilmu wedok (perempuan) atau lanang (laki-laki). Maka dari itu semua santri, baik santriwan maupun santriwati harus bisa segala macam keterampilan, selagi dia mau belajar,” begitu tutur Umi Arikah. Semua program keterampilan diikuti oleh semua santri sesuai dengan jadwal dan kelas masing-masing dan dilaksanakan pada setiap hari Sabtu dan Ahad, yaitu saat kegiatan akademik kampus libur.
Pengarustamaan gender dalam pendidikan pesantren juga dilaksankan dengan forum kajian keadilan gender Islam dan kesehatan reproduksi, terkhusus lagi kaitannya dengan ilmu Fiqih Nisa’ yang tidak hanya diberikan kepada santri putri, namun santri putra juga dianjurkan untuk mengikuti kelas tersebut. Seperti halnya kurikulum kampus, pola pembelajaran kelas gender ini dengan menggunakan metode presentasi dan diskusi, harapannya adalah para santri dapat lebih memahami dan menerapkan dari apa yang disampaikan dalam forum.
Pembelajaran kesetaraan gender kepada santri juga diteladankan langsung oleh pengasuh, yaitu Abah Imam dan Umi Arikhah. Mereka bersinergi dalam menjalankan roda kepemimpinan pesantren. Pembelajaran tentang relasi yang setara juga didukung dengan upaya pemberdayaan perempuan, salah satunya adalah yang berhak menjadi ketua pondok bukan hanya dari kalangan santri putra, namun santri perempuan juga bisa mengambil andil untuk menjadi lurah pondok.
Berbagai jajaran kepengurusan lainnya juga banyak dijabat oleh santri perempuan. Ini untuk menghapus subordinasi dan stigmatisasi yang berkembang di masyarakat khususnya kaum muslim bahwa pada laki-laki yang pantas menjadi pemimpin serta kedudukannya lebih mulia daripada perempuan.