Warsih mendekap erat bendera Merah Putih yang barusan diambil dari lemari kayu cokelat di kamar ayah. Pelan, Warsih mencium bendera yang berbau apak itu. Entah telah berapa puluh tahun usia bendera dengan ukuran 90 kali 60 sentimeter itu.
Yang jelas, bendera tersebut adalah peninggalan kakek-nenek yang kata ayah bernilai sejarah dan tak bisa digantikan dengan bendera-bendera lain yang lebih mahal dan bagus kualitas kainnya.
Bendera yang warna putihnya sudah agak menguning dan warna merahnya mulai memudar itu konon pernah ikut menjadi saksi sejarah kemerdekaan negeri ini. Almarhumah ibunya Warsih dulu pernah bertutur, ketika kemerdekaan Republik Indonesia ditetapkan, bendera tersebut dijahit sendiri oleh nenek. Setelah bendera usai dijahit, nenek menyerahkannya kepada kakek untuk dikibarkan di depan rumah sebagai wujud syukur atas kemerdekaan yang berhasil diraih oleh para pejuang.
“Kenapa Nenek nggak beli bendera yang sudah jadi saja, Bu?” tanya Warsih kala itu.
“Emm… Mungkin Nenek nggak mampu beli, makanya menjahit dengan kedua tangannya sendiri,” Ibu tampak ragu dengan jawabannya membuat kening di wajahku berkerut.
“Bukan nggak mampu, Bu,” ucap ayah yang tiba-tiba sudah berada di belakang ibu. Lantas ayah pun bercerita panjang lebar. Jadi, kakeklah yang menyuruh pada nenek agar menjahit bendera sendiri. Kata kakek, segala sesuatu yang dibuat dengan jerih payah sendiri itu lebih berkesan ketimbang membeli sesuatu yang sudah jadi. Kalau kedua tangan dan kaki kita berhasil mengusir penjajah dari negeri ini, kenapa hanya menjahit selembar kain saja nggak bisa? Begitu alasan kakek.
Alasan itulah yang menerbitkan ide di benak Warsih. Dia ingin sekali-kali mengamalkan pesan kakek; menjahit bendera sendiri. Rencananya dia akan membeli jarum, benang, dan kain dua warna; merah dan putih. Nantinya, bendera tersebut akan dipasang di depan rumah untuk memperingati kemerdekaan RI yang ketujuh puluh enam.
***
Dengan telaten Warsih memapah ayah menuju kamar mandi. Setahun terakhir ini ayah memang sering sakit-sakitan. Kata dokter, ayah mengalami gejala stroke ringan. Hal inilah yang menjadi penyebab tubuh ayah sering ngedrop. Kadang dua hari terlihat bugar, tapi hari berikutnya tiba-tiba meriang, sekujur tubuh terasa kesemutan dan keseimbangannya menurun. Karenanya, Warsih berusaha agar bisa menjaga ayah setiap waktu.
Kisah yang mengalir apa adanya, narasinya juga ok. Mantap,,,
Terima kasih atas apresiasinya, Mas.