Salah satu air yang dianggap punya khasiat adalah air zamzam. Zamzam secara harfiah adalah banyak atau melimpah ruah, adalah air yang dianggap suci oleh umat Islam. Zamzam merupakan sumur atau sumber mata air yang terdapat di sekitar Masjidil Haram, di arah tenggara Kakbah. Sumur ini berkedalaman 42 meter dan airnya (zamzam) seringkali dijadikan oleh-oleh bagi orang-orang yang melaksanakan haji maupun umroh.
Air zamzam dianggap suci dan memiliki nilai berkah karena ada hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya air di muka bumi ini ialah air zam zam.” (HR Ahmad).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, “Air zam zam itu berkhasiat sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika engkau meminumnya dengan niat meminta kesembuhan maka Allah akan menyembuhkanmu, dan jika engkau meminumnya dengan niat agar dahagamu hilang maka Allah akan menghilangkan dahagamu. Ia adalah galian jibril dan siraman Allah kepada Ismail.” (H.R Ibnu Abbas dan Al Hakim).
Terlepas dari air zamzam yang sudah banyak diteliti secara ilmiah dan medis, bagi seorang santri (mungkin sebagian saja) air jeding kiai (pengasuh pesantren) adalah salah satu air yang punya khasiat untuk suatu “penyakit” tertentu.
Pengalaman saya ketika masih aktif belajar di pondok (Annuqayah, Sumenep, Madura), ada seorang teman yang tidak kerasan (ta’ perna) di pondok. Sebut saja namanya Achmad Mukhlas, tetangga jauh saya yang baru beberapa hari mondok. Kondisi tidak kerasan itu membuatnya selalu ingin pulang dan menangis sesenggukan di kamarnya.
Maka muncullah ide atau gagasan dari kawan sekamar untuk mencarikan obat atas ketidak-kerasanan Mukhlas tersebut. Dan sudah sangat masyhur bahwa salah satu obat mujarab atas kasus tersebut adalah air jeding pengasuh.
Entah bagaimana caranya, teman sekamar Mukhlas pun mendapatkan air yang dimaksud. Tanpa diberitahukan kepada yang “sakit”, setelah makan secara bersama-sama, air jeding kiai itu diberikan. Tujuannya agar santri yang tidak kerasan menjadi kerasan dan semakin betah belajar di pondok.
Anehnya, entah sugesti dari mana, minun air jeding kiai menjadi obat sakti atas kondisi ketidakbetahan seorang santri ketika belajar di pondok. Begitu pun dengan Mukhlas, teman saya yang semula tidak kerasan, dengan berkah air jeding kiai, kemudian menjadi kerasan dan betah bertahun-tahun hidup dan belajar di pesantren.
Hal berkah air jeding kiai ini perlu penelitian dan observasi lebih lanjut. Apakah hal tersebut hanya sebuah sugesti, atau di dalam air itu terdapat unsur tertentu yang menjadikan seorang santri menjadi betah dan kerasan. Untuk dikaitkan dengan aspek medis diperlukan penelitian yang lebih saksama dan bersifat ilmiah. Agar tidak disalahgunakan dan dimaknai sebagai sesuatu yang melampaui wewenang Yang Mahakuasa.
Begitu pun halnya dengan anak teman saya, Abd Ghani, yang anak laki-lakinya juga mondok di Latee, Annuqayah. Santri baru ini merasa sangat tidak kerasan dan selalu terbayang-bayang dengan sosok ibunya. Hal ini membuatnya ingin pulang, padahal dia ingin sekali tetap belajar di pondok. Karena hal tersebut, kemudian temannya yang termasuk pengurus pondok menelepon teman saya, Abd Ghani, menjelaskan kondisi anaknya yang tidak kerasan.
“Anak Bapak tidak kerasan,” begitu mula-mula pengurus pondok itu memberitahukan.
“Ya, suruh sabar saja dalu,” jawab Abd Ghani dengan sikap sewajar mungkin meskipun sebenarnya panik.
“Tapi tas dan baju-bajunya sudah disiapkan untuk dibawa pulang.”
“Wah, gimana ya,” teman saya berhenti sejenak. “Coba ambilkan air jeding kiai dan suruh minum,” demikian Abd Ghani memberikan alternatif. Berharap hal tersebut membuat anaknya sembuh dari homesick.
“Baik, Pak,” akhirnya pengurus pondok menyetujui.
Keesokan harinya berita gembira datang dari anak teman saya tersebut. Anaknya tiba-tiba merasa kerasan, betah, dan senang belajar di pondok. Sesuatu di luar nalar, bukan? Tetapi demikianlah kenyataannya. Meskipun “obat” ini tidak selalu mujarab, akan tetapi dalam kondisi tertentu bisa dijadikan alternatif.
Saat ini anak teman saya tersebut (saya tidak tahu namanya) mendapat biasiswa ke Mesir karena hafal Al-Quran. Setelah keluar dari Pesantren Annuqayah, masih menurut teman saya, anak tersebut berkesempatan belajar di Mesir karena sudah hafal 20 juz Al-Quran. Dari semula yang tidak kerasan di pondok, dengan berkah air jeding kiai, akhirnya mendapatkan apa yang dicita-citakan. Semoga dia sukses di negeri orang.
Begitulah kisah berkah air dari jeding kiai. Sebenarnya, terkait dengan air barokah ini tidak sedikit para kiai dengan nilai taqarru-nya kepada Allah dapat membacakan doa ke dalam air, kemudian air tersebut dapat dijadikan sebagai obat dengan penyakit tertentu. Namun, yang perlu dipahami bahwa air berkah hanya sebuah wasilah, karena hakikat kesembuhan itu datangnya dari Allah semata. Wallahu A’lam!