#BoikotTrans7 dan Pergulatan Agama di Ruang Publik

Kasus tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang dipersepsikan menyinggung Pesantren Lirboyo dan memicu gelombang protes, boikot, sampai tuntutan hukum menyingkap secara dramatis persinggungan antara media massa, identitas keagamaan, dan ruang publik modern. Kasus semacam ini menjadi titik rawan karena simbol keagamaan sangat sensitif, eksposur media sangat besar, dan respons publik cepat menjadi viral.

Untuk memahami dinamika ini secara lebih tajam, teori Jurgen Habermas tentang ruang publik dan agama sangat relevan. Khususnya, gagasannya bahwa kita hidup dalam masyarakat post-sekuler, yaitu masyarakat di mana agama tetap berpengaruh dan mesti “menerjemahkan” wacana ke dalam bahasa publik agar tetap legitimated.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Habermas awalnya mengembangkan gagasan ruang publik sebagai arena. Dalam arena itu, individu-individu dalam suatu masyarakat sipil bertukar argumen rasional, bebas dari tekanan negara atau ekonomi untuk menghasilkan opini publik yang dapat mempengaruhi kebijakan. Ruang publik ini idealnya bersifat egaliter (setara), terbuka, dan normatif. Dan,  argumen yang digunakan bukan berdasarkan kekuasaan atau identitas dominan, melainkan, rasionalitas dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan bersama. Dalam realita sekarang, ruang publik sering tidak ideal, media dan kepentingan ekonomi-politik mempengaruhi akses dan dominasi wacana.

Ketika memasuki ranah agama, Habermas mengakui bahwa argumen religius tetap memiliki tempat namun dengan syarat harus “diterjemahkan” ke dalam istilah yang bisa dipahami oleh wacana publik agar dapat diuji lewat rasionalitas bersama, bukan hanya diklaim atas dasar doktrin internal. Sehingga, agama dan warga sekuler dapat berdialog dalam ruang publik post-sekuler secara saling belajar dan saling berbagi norma kemanusiaan bersama, terutama soal perlindungan martabat manusia, keadilan, dan hak asasi. Dalam hal ini, agama tidak keluar dari arena publik, melainkan menyesuaikan diri agar tidak menjadi “faksi yang tertutup” yang eksklusif dan tidak komunikatif.

Dengan landasan itu, saya menganalisis mengenai apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam ruang publik, bagaimana klaim-klaim keagamaan dan media beradu, dan bagaimana dialog yang lebih sehat bisa diusahakan.

Pertama, konflik simbolik ketika representasi media menabrak identitas keagamaan. Dalam tayangan yang kemudian viral, pada potongan video dan narasi, misalnya.

Pada scene ulama turun dari mobil atau santri menyalami disertai voice over atau pengolahan editing yang dianggap melecehkan simbol-simbol keagamaan. Banyak pihak menilai bahwa tayangan tersebut tidak kontekstual, tidak meminta klarifikasi ke lembaga pesantren terkait, dan menyajikan stereotip negatif.

Sehingga, dari sudut komunitas pesantren, tayangan itu menjadi pelanggaran terhadap “marwah” kiai, simbol keilmuan, dan kehormatan santri.

Respons publik yang muncul berupa tagar #BoikotTrans7, kecaman organisasi keagamaan (GP Ansor Jawa Timur, LBH Ansor), desakan DPR–PKB dan politikus agar ada permintaan maaf dan pertanggungjawaban hukum — adalah cara massa merawat komunitas simbolik dan mencegah normalisasi pelecehan terhadap agama. Respons itu adalah mekanisme korektif publik yang muncul dari masyarakat sipil ke media agar media tetap dalam koridor etika simbolik.

Respons massa ini sendiri bisa menjadi “dominan wacana” yang menekan ruang bagi dialog rasional karena tekanan emosional sering memaksa media meminta maaf sebelum ada klarifikasi atau analisis yang matang. Di sisi lain, media punya tanggung jawab besar dalam menjaga kebebasan pers, tetapi juga menjaga sensitivitas terhadap keragaman budaya-agama.

Persoalannya, bagaimana media bisa menyeimbangkan kepentingan infotainment dan kepentingan publik normatif?

Dalam kasus ini, tampak bahwa logika sensasional mungkin lebih dominan. Potongan yang viral, narasi provokatif, framing dramatis dan kurang memberikan ruang pemirsa untuk memahami konteks pesantren adalah contohnya. Apabila media menolak melakukan dialog atau klarifikasi dan terus mempertahankan framing aslinya, maka media memposisikan dirinya dalam ruang publik yang agresif, dan konflik simbolik bisa melebar menjadi polarisasi sosial.

Kedua, persoalan translasi agama ke wacana publik dan komunikasi iman ke dalam bahasa publik. Komunitas agama (pesantren, ormas Islam) memiliki dasar moral dan simbol-keagamaan yang kuat, tetapi dalam konteks ruang publik bersama yang heterogen, mereka harus menyampaikan argumen protes dalam bahasa yang dapat diterima oleh warga yang tidak beragama atau beragama lain.

Artinya, selain menyatakan “kita tersinggung”, mereka perlu menjabarkan aspek moral universal: bahwa penghormatan terhadap simbol keagamaan adalah bagian dari penghormatan terhadap hak-hak minoritas, martabat manusia, kebebasan beragama, dan pluralisme. Ketika respons publik hanya berupa boikot emosional, maka dialog melenceng ke pertarungan identitas, bukan ke dialog tentang norma bersama.

Dalam kasus Trans7, pernyataan dari ormas seperti GP Ansor yang menekankan bahwa media harus menjadi “sarana pendidikan publik, bukan provokasi terhadap lembaga keagamaan” adalah bentuk usaha menerjemahkan protes simbolik ke dalam wacana publik yang bisa dipahami lebih luas.

Politisi PKB yang menyebut bahwa “kebebasan pers tak boleh dipakai untuk melecehkan simbol agama” juga memasukkan klaim moral ke ranah hak kebebasan agar media mempertanggungjawabkan etika-nya.

Bagaimanapun, agar tuntutan tersebut memperoleh legitimasi publik yang solid, ormas dan komunitas agama idealnya turut membuka diri terhadap kritik, klarifikasi, dan dialog terbuka dengan media dan publik agar tidak hanya menyuarakan kata “boikot” tetapi sekaligus membangun ruang diskusi pertanggungjawaban media.

Ketiga, dominasi media dan asimetri wacana dan ruang publik yang tidak seimbang. Dalam struktur ruang publik modern, media massa (terutama televisi) memiliki kapasitas dominan: akses luas, narasi yang bisa dibentuk lebih dahulu, kemampuan framing, dan kekuatan menjangkau publik. Ini menghasilkan asimetri wacana, saat media lebih dahulu menyajikan tayangan, publik (termasuk pesantren) baru bereaksi setelah konten disebar. Dalam kasus Trans7, potongan video itu sudah viral terlebih dahulu, baru setelah itu pesantren dan ormas merespon. Media punya keuntungan posisi pertama dalam bentuk simbol visual yang melekat dalam ingatan publik.

Asimetri ini menyulitkan komunitas agama kecil atau terpinggir untuk menyusun kontra-narasi dengan efektif dan rasional sebelum efek simbolik sudah tertanam. Padahal, dalam teori Habermas, ruang publik seharusnya memberi kesempatan yang adil bagi tiap pihak untuk berbicara dan melakukan kritik. Jika media terlalu cepat menyebarkan materi kontroversial tanpa pengecekan dan dialog, maka ruang publik “rasional” terganggu oleh dominasi simbolik media.

Keempat, negara dan lembaga regulator sebagai mediator dan penjaga norma publik. Dalam sistem ideal menurut Habermas, negara atau lembaga publik tidak memaksakan otoritas ideologi tertentu, tetapi bersikap netral terhadap doktrin agama manapun—yakni negara harus menjaga kebebasan beragama dan kebebasan berkomunikasi. Negara dan regulator media (seperti Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI, Dewan Pers) memiliki peran penting sebagai lembaga yang menjaga agar ruang publik tetap adil, tidak disalahgunakan oleh media atau kelompok tertentu sebagai alat provokasi simbolik.

Dalam kasus Trans7, banyak yang mendesak agar KPI dan Dewan Pers melakukan tindakan terhadap stasiun tersebut agar tidak terjadi pelanggaran etika simbolik terhadap agama. Jika regulator mampu bertindak cepat dan adil misalnya memanggil redaksi, meminta klarifikasi terbuka, memberikan sanksi bila perlu maka mekanisme korektif formal berpotensi meredam konflik identitas yang berkembang secara emosional di media sosial.

Kelima, potensi demokrasi deliberatif di ruang publik keagamaan. Jika semua pihak, media, komunitas agama, publik non-agama, regulator berkomitmen pada komunikasi deliberatif (diskusi rasional, argumentatif, saling mendengarkan), konflik semacam Trans7 bisa dijadikan titik temu untuk penguatan norma publik bersama. Media bisa mengundang tokoh pondok pesantren untuk dialog terbuka menjelaskan maksud dari potongan video, membuka ruang klarifikasi dan menunjukkan rekaman penuh agar publik bisa menilai sendiri. Komunitas agama bisa menjabarkan protesnya dengan alasan umum (bukan sekadar identitas tersinggung), dan membuka ruang kritik terhadap media agar tidak melakukan generalisasi stereotip. Regulator media bisa memfasilitasi forum publik atau mediasi agar dialog tidak hanya di ruang media sosial yang emosional.

Dalam kerangka Habermas, ini adalah model masyarakat komunikatif, yaitu warga berbeda latar, berbeda agama atau non-agama berinteraksi di ranah publik melalui wacana rasional dan saling menghormati.

Jika ditelusuri, Habermas percaya bahwa masyarakat post-sekuler bisa memanfaatkan kontribusi moral agama (misalnya ajakan keadilan, martabat, solidaritas) selama argumen itu diterjemahkan ke dalam bahasa publik agar bisa diuji bersama.  Namun tantangannya nyata, ketika emosi kolektif sudah menyulut tagar boikot, adu simbol dan tekanan massa, ruang untuk dialog rasional menyempit. Publik cenderung membagi diri ke blok dan media pun bisa memilih untuk menutup diri atau mempertahankan narasi lamanya, memperkuat polarisasi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan