Framing Trans7 terhadap pesantren, yang menuai kecaman luas karena dianggap melecehkan martabat kiai dan tradisi santri, adalah fenomena sosiologis yang jauh lebih kompleks dari sekadar kesalahan jurnalistik.
Peristiwa ini merupakan benturan keras antara dua konstruksi realitas yang berbeda, yaitu logika media modern-sekuler melawan logika institusi agama tradisional. Kasus ini bisa kita tinjau secara mendalam melalui Teori Konstruksi Sosial atas Realitas ala Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang disandingkan dengan Teori Konflik.

Jika kita meninjau persoalan framing Trans7 terhadap pesantren dari teori tersebut, maka inti permasalahan bukanlah soal fakta, melainkan soal makna yang dilekatkan pada fakta. Praktik santri yang “ngesot” demi mencium tangan kiai dan pemberian “amplop” adalah fakta yang diamati. Namun, makna atas fakta itulah yang memicu konflik.
Di dalam komunitas pesantren, makna dari perilaku tersebut sudah kokoh melalui proses internalisasi dan kristalisasi yang panjang. Khidmah (pengabdian) dan ta’dzim (penghormatan) adalah pilar spiritual paling prominen dalam konstelasi dunia pesantren. Santri meng-eksternalisasi pandangan bahwa kiai adalah pewaris nabi (waratsatul anbiya’), pusat, dan sumber ilmu.
Oleh karena itu, berjalan jongkok atau membungkuk adalah wujud adab di hadapan guru, dan pemberian amplop dimaknai sebagai upaya meraih berkah atau bantuan sukarela untuk operasional pesantren, bukan suap atau upah. Para santri memberi amplop kepadanya kiainya atas dasar memuliakan, cinta, dan penghormatan yang tinggi. Realitas ini adalah dunia luhur yang sakral dan non-ekonomis.
Media massa, yang beroperasi di bawah ideologi modernitas, rasionalitas, dan logika pasar, memiliki lensa yang berbeda dalam melihat realitas ini. Mereka melakukan objektivasi terhadap realitas pesantren dengan kerangka pikir yang didominasi oleh semangat anti-feodalisme dan market-driven journalism.
Trans7, melalui programnya Xpose Uncensored, mengambil visual hormat dan amplop tersebut dan menyajikannya kepada khalayak yang lebih luas. Melalui framing yang tendensius, praktik khidmah di-frame sebagai perbudakan atau perilaku irasional, sementara penerimaan amplop di-frame sebagai eksploitasi kemewahan atau motif ekonomi tersembunyi.