Burung Camar di Pundak Ibu

63 views

Angin sengaja membangunkanku dengan menciptakan bising pada kaca jendela yang terbuka. Aku agak kesal bangun sepagi ini; aku ingin menikmati pagi dalam mimpi. Setelah berhasil menutup kaca jendela rapat-rapat, aku hendak kembali tidur. Tapi perutku menjerit dan mengajakku melangkah ke arah dapur. Terpaksa, harus kutunda tidur pagi ini.

Sebelum sampai ke dapur, kulihat ibu mematung menghadap pekarangan. Ia menyadari langkah kakiku, lantas berbalik ke arahku. Mata ibu menyipit, bibirnya kering dan gemetar. Aku tidak mengerti, mengapa muka ibu sepucat itu. Mungkin ia gugup atau mungkin juga tidak. Kalau memang ibu gugup, barangkali ia gugup pada seekor camar yang tersengguk-sengguk di pundaknya.

Advertisements

Aku tak hendak mengatakan, pundak ibu serupa dahan pepohonan. Ia seolah tak merasakan apa pun saat burung itu mulai mematuki kulitnya. Aku heran, tapi ibu tak mengizinkanku untuk berlama-lama keheranan. Ibu menodongkan jari telunjuknya, menyuruhku untuk kembali ke kamar lalu tidur. Kuturuti perintah ibu. Di kamar, begitu lama aku terbaring tanpa memejamkan mata. Aku salah, aku tidak bisa tidur dalam keadaan perut lapar.

Lama memikirkan ibu dan makanan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali bangun. Persetan dengan perintah ibu. Perutku keroncongan, dan ia menagih beberapa makanan masakan ibu. Pelan-pelan kuberjalan, berharap ibu tak melihatku. Tapi lagi-lagi aku salah, bukan ibu yang tak melihatku, melainkan aku yang tak melihat ibu. Baru saja aku terbaring beberapa menit, ibu sudah menghilang.

***

Ini salahku yang selalu bertanya perihal burung camar pada bapak. Tidak, ini salah Bu Guru yang telah memberikan tugas sulit perihal burung camar padaku. Ia memberiku waktu satu minggu padaku untuk tahu seluk-beluk perihal burung camar. Aku tak pernah melihat burung itu, sebab itulah kubantai bapak dengan pertanyaan-pertanyaan tentang burung.

Kasihan bapak, ia kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Ibu pernah cerita, bahwa bapak atau ibu tak pernah mencicipi manis asam sekolah. Jadi pantas saja jikalau bapak tak menemukan jawaban atas pertanyaanku. Hanya orang-orang bersekolah yang dapat menjawab tugas sekolah, begitu kata temanku.

Tapi aku tak mau mengerti bapak, terus kuajukan pertanyaan tentang burung camar, meski bapak sudah bilang, “Bapak hanya buruh pabrik. Bapak tak tahu tentang ilmu perburungan. Bapak hanya tahu cara bekerja.”

Aku tak mau tahu. Aku menangis bahkan mengamuk hanya untuk mendapat sebuah jawaban. Hingga akhirnya aku menyerah, kuberi bapak dispensasi, asal bapak mengajakku liburan ke kebun binatang. Agar aku tahu bagaimana burung camar dan tugas sekolahku menjadi rampung.

“Aduh, Nak,” ibu menghampiri sembari menggosok-gosok kepalaku. “Kamu tahu gaji bapakmu ini berapa?”

Aku menggeleng.

“Untuk menyekolahkan kamu saja, bapak-ibu harus mondar-mandir cari pinjaman, apalagi harus masuk kebun binatang. Tiket kebun binatang itu mahal, bapakmu tak punya uang. Sudahlah, berhenti menangis dan jangan minta yang aneh-aneh lagi.”

Aku diam. Mungkin benar kata ibu, bapak tak punya uang. Ia hanya buruh pabrik dengan gaji tak seberapa. Tapi entah mengapa bapak memegang pundakku, ia memandangku dengan mata seteduh pepohonan. Ia bilang, tenang saja. Sepertinya bapak menimbang-nimbang permintaanku itu.

Kurasa, dari sanalah seekor burung camar mulai hinggap di genteng rumahku. Burung itu enggan terbang, ia bersemayam di sana, dan sepasang matanya tak mau lepas dari daratan. Ia mengamati kami. Kuajak teman-teman ke pekarangan rumah, kutunjukkan mereka pada burung tersebut, dan teman-teman yang sudah pernah singgah di kebun binatang, membenarkan bahwa burung itu adalah burung camar. Maka bergegas kuambil buku dan pensil, kucatat penafsiranku perihal burung camar.

Dengan begitu, tugas sekolahku telah rampung. Kukumpulkan tugas ini dengan menarik sebelah ujung bibirku. Tapi kata Bu Guru, jawabanku salah. Aku kaget, mulutku menganga dan urat-urat leherku menegang. Bu Guru bilang, burung camar adalah burung pengembara, bukan burung pengamat seperti yang telah kutulis dalam buku. Aku bingung, jawaban siapa yang benar, aku atau guruku?

Padahal burung itu benar-benar burung pengamat. Buktinya, burung itu enggan terbang menjauhi genteng rumahku. Ia bertengger di sana, menatapku, menatap bapak, melirik ibuku. Tapi sudahlah, lebih baik aku mengalah, tak baik berdebat dengan guru sendiri.

Dan kendati tugas sekolahku telah rampung —Bu Guru tak lagi mempertanyakan soal burung camar— namun aku masih menyimpan penasaran pada burung itu. Burung itu bukan hanya burung pengamat, melainkan juga burung pembawa petaka. Terbukti, baru beberapa minggu ia hinggap di genteng rumah, kulihat bapak pulang dengan babak belur.

Kepulangan bapak dengan luka memar, membuat ibu marah padaku. Padahal aku tak mengapa-apai bapak, dan kuduga, burung itu pelakunya. Tapi ibu bilang, akulah yang salah, sebab kenakalan dan permintaan anehku yang membuat bapak babak belur. Kuingat-ingat lagi, aku hanya meminta satu permintaan, yaitu liburan ke kebun binatang.

Tak sampai di situ, kian hari keadaan bapak semakin parah. Tiap pulang kerja, bisa dipastikan ada luka baru yang muncul di muka bapak. Lama-lama nyaris muka bapak tak dapat kukenali lagi.

Hari-hari itu menjadi hari sibuk bagi bapak. Teman-teman buruh bapak kerap memenuhi ruang tamu. Mereka bercakap-cakap dengan nada penuh gejolak. Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang kumengerti hanya satu kata: “Gaji.”

Hingga datang waktu di mana burung camar mulai terbang, mengitari tubuh bapak, dan hinggap di pundaknya. Kuingat waktu itu, tepat saat bapak hendak berangkat kerja. Burung itu begitu luluh di pundak bapak; si burung camar menemani perjalanan bapak ke pabrik. Dan pada hari itu pula, adalah hari terakhirku melihat bapak. Bapak tak kembali, dan mungkin takkan pernah kembali.

Seminggu setelah itu, hal serupa juga menimpa ibu. Burung camar itu datang lagi, hinggap di pundak ibu, dan ibu pun lenyap dari muka bumi. Aku hanya dapat menangis sampai paman datang menjemput. Aku dibawa paman dan semenjak itu pula aku tinggal bersama paman.

Paman tak pernah mau membuka mulut, ke mana bapak dan ibu pergi, sehingga aku pun mengambil kesimpulan sendiri. Saat ditanya teman-teman perihal keberadaan bapak dan ibu, maka kujawab, “Bapak dan ibu diculik oleh burung camar.”

Mereka tertawa. Mereka tak percaya dengan jawabanku. Katanya, mana mungkin burung sekecil itu dapat mengangkat tubuh bapak dan ibuku. Kujawab lagi, mungkin burung camar dapat menjelma menjadi burung raksasa. Mereka tertawa lagi, menganggap semua adalah lelucon belaka. Mereka menyebutku gila, dan kata gila memancing orang gila untuk mendekat.

Teman-temanku lari kocar-kacir saat orang gila itu datang. Sementara aku mematung, kakiku serupa paku dipalu ke dalam tanah. Aku nyaris menjerit dan menangis, bahkan aku sudah kencing di celana. Orang gila itu mendekat semakin dekat, menatapku dengan tajam. Mata kami bersitatap, di mata orang gila itu kutemukan sebuah ketulusan.

Orang gila itu bilang, “Negeri ini dikuasai oleh kaum berduit dan tak ada jalan untuk menentang!” kata si gila. Ia memang gila. Dari semua perkataannya, tak ada satu pun kata yang dapat kumengerti. Entah, mungkin karena itu bahasa orang gila atau jangan-jangan sebab aku tak tahu cara bercakap dengan orang gila. Sudahlah, aku tak peduli. Sampai detik ini, aku masih memiliki kesimpulan; ibu dan bapak diculik oleh burung camar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan