DI MASALEMBU
Seperti hari-hari yang lainnya, Alina
pasir-pasir pantai Masalembu
menggambar telapak kakimu yang sunyi
menyunting terumbu dan ikan-ikan
di mana malam pecah di atas kepala
; ingatan yang tak terbendung pedihnya

malam dan dadaku adalah jiwa yang basah
bagi deru angin dan jangkar tua para nelayan
“bawa aku, bawa aku dari keluk dadaku yang purba,” katamu
sementara Masalembu,
masih mengerami cahaya yang asing
dan kau tau, Alina
setelah ini dan seterusnya
dunia makin gemar melahirkan kesedihan
mari pulang sayang,
pulang kembali ke dada ibu yang lapang
Pamekasan, 2022.
MASYGUL
Serupa hutan, seluruh kata terbakar
mengasap ke dadaku
menjadi gersang, akar-akar berpeluh
menyusur ke batas pagi, siang, dan malam
kekasih, hari ini hujan takkan bertandang ke dadaku
maupun ke hutan yang terbakar itu
sebab ia masih mengigau pada sisa kantuk di waktu pagi
menakar rindu yang naif
juga memeras ingatan yang purba
kesedihan ini kekasih,
adalah bekas kesepian yang gerimis ke hulu bumi
maka pertemuan hanyalah luka yang tertunda
; terasing dan terpinggirkan
lalu pada sisa rindu yang sekarat ini
kita sama-sama mengenang denga sadar
; sebelum maut benar-benar datang
Pamekasan, 2020.
DI DAPUR
:Lina Alifiya Robby
Di dapur,
bayangmu adalah bayang ibu
yang menjaga dadaku tetap menyala
hidup kita memang masih setengah matang, sayang
kau kadang memasak kesedihan
seperti yang dijual koran dan televisi
“ini suapan penghabisan,” katamu
setelah ini perut kita kembali kemarau
; benar-benar kemarau
Lalu, kedua lenganmu menjelma lengan ibu