Cerita Kecil dari 6th jejaring duniasantri

Rel berdecit, kereta dari Stasiun Jombang perlahan berderak, bersiap meninggalkan landasan. Tapi, bagaimana dengan kenangan? Apakah ia juga siap diberangkatkan?

Pukul 22.55, Stasiun Jombang sepi. Hanya beberapa penumpang menanti kereta terakhir menuju Yogyakarta. Aku termangu, pikiranku menyeberang jauh ke masa silam—ke masa para masyayikh. Tepat di stasiun ini, pertemuan-pertemuan penting terjadi: pesan rahasia, langkah strategis untuk merebut kedaulatan. Sejarah tak hanya tersimpan dalam buku, tetapi juga di derak rel dan hembusan angin malam.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Malam ini, aku berada di sini bukan untuk berjuang merebut kemerdekaan, melainkan sebagai bagian dari perayaan 6 tahun jejaring duniasantri. Acara bertema “Zikir Kemerdekaan: Aktualisasi Pemikiran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan Refleksi Kebangsaan” ini digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, selama empat hari penuh.

Selama itu, aku menyaksikan dedikasi luar biasa. Panitia bekerja tanpa lelah. Kang Zastrouw, pendiri dan pembina, membuka pintu komunikasi seluas-luasnya saat Mukhlisin, ketua jejaring duniasantri, bertanya tentang segala hal, tak terkecuali soal pendanaan. Mukhlisin menghabiskan hampir 24 jam waktunya untuk mengurus jejaring duniasantri. Di sisinya, Koh Daniel datang langsung menemui Nyai Atiq, sekretaris jejaring duniasantri sekaligus ketua panitia. Mereka membagi waktu antara pekerjaan pribadi dan pengorbanan total demi acara ini.

Sepanjang acara, aku mengamati tim Mbak Rara dan Alfi dari Media Group Tebuireng. Mereka begitu total melayani para tamu undangan, memperlakukan kami semua dengan istimewa, dengan antusiasme yang jujur.

Kereta Sancaka tiba, siap membawaku dan para penumpang menuju tujuan masing-masing. Begitu aku duduk di salah satu kursi, sebuah pesan WhatsApp masuk. Pesan singkat itu dari Rara, ketua panitia lokal:

“Bapak, terima kasih nggih. Mohon maaf jika dalam penjamuan dari kami selama di Tebuireng kurang sempurna. Semoga lain waktu ada kesempatan silaturahmi lebih baik lagi.”

Aku tidak segera membalas. Tiap kata dalam pesan itu membuat bulu kudukku merinding. Ya, ia telah bekerja keras. Aku tahu, tidak mudah menyelenggarakan acara sebesar ini. Mbak Rara dan timnya berhasil, bahkan membuat kami tercengang. Mereka adalah cerminan semangat Hadratussyekh Hasyim Asy’ari—spirit yang terus tertanam pada generasi santrinya.

jejaring duniasantri dan Media Group Tebuireng adalah dua tubuh dalam satu rumah besar Ahlusunnah Waljama’ah, dengan satu tujuan: menanamkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Agar generasi santri terus menjadi pembelajar, pencari ilmu, dan pembagi manfaat, tanpa memandang perbedaan ras, agama, atau golongan.

Malam itu, di dalam gerbong, aku teringat pertemuan singkat KH Wahid Hasyim dan Syaifuddin Zuhri menjelang kemerdekaan. Mereka sering bertemu di stasiun, berdiskusi dan merencanakan pendidikan alternatif untuk umat Islam—sembari merumuskan cara agar rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan. Itulah sepenggal kisah dari novel Guruku Orang-orang dari Pesantren karya Syaifuddin Zuhri.

Perayaan 6 tahun jejaring duniasantri ini adalah bagian dari sebuah perjalanan tak terduga. Semua bermula dari ide sederhana Atiqotul Fitriyah.

“Pak, ulang tahun keenam JDS kita gelar di Tebuireng, ya?”

Mukhlisin menjawabnya dengan tantangan, “Boleh, asal ketua panitianya Atiqotul Fitriyah.”

Aku tak tahu bagaimana ekspresi Atiq saat itu, tapi aku sendiri tak bisa mengelak saat Mukhlisin tiba-tiba mengajakku bertemu. “Kita kumpul untuk nyiapin acara di Tebuireng,” katanya.

“Oke. Jam 10,” jawabku singkat.

Dalam pertemuan itu, Mukhlisin bercerita keberhasilan dan hal-hal yang terjadi selama pelatihan Kelas Menulis Jurnalistik dan Penulisan Kreatif di Pondok Pesantren Cipasung, 29-30 Juni 2025, termasuk agenda Atiqoh yang hendak merayakan 6 tahun JDS di Tebuireng Jombang.

Seperti biasa, ketika kami bertemu, kami tak selalu membicarakan inti persoalan. Kami lebih suka mengawali pembicaraan tentang ini dan itu, termasuk tentang orang-orang yang kami jumpai, baik perempuan maupun laki-laki.

Secara struktural, aku memang bukan bagian dari JDS. Banyak teman bertanya, “Kamu ngapain ngurusin JDS, padahal enggak di dalam struktur?”

Satu-satunya alasanku ikut serta adalah pesan singkat dari guru saya, KH Zainal Arifin Thoha, seorang santri Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Beliau selalu berpesan, “Lebih baik berbuat walau sedikit daripada berangan-angan ingin berbuat lebih,” dan, “Jangan pernah lelah berbagi tenaga, khususnya, berbagi ilmu.”

Kereta memasuki Stasiun Tugu, Yogyakarta. Pukul 02.00. Tapi pikiranku, tidak. Ia masih berada di Tebuireng, memikirkan hal-hal kecil, jejak-jejak yang ditinggalkan, sebuah kebahagiaan yang samar tapi nyata

Multi-Page

One Reply to “Cerita Kecil dari 6th jejaring duniasantri”

Tinggalkan Balasan