“Ibadah itu bukan hanya untuk dijalankan secara fisik, melainkan secara batin. Begitu juga pahami dan resapi apa yang dibaca saat salat, apa filosofinya sujud, apa makna thawaf, dan lain-lain. Ingat, ibadah itu rayuan, seperti kamu ke kekasihmu: tulus!” tulis Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam buku terbarunya, Seni Merayu Tuhan (hlm. 27).
Saat beribadah, ibadah apa pun bentuknya, kita perlu merayu Tuhan. Contoh, ketika salat, kita merayu Tuhan dengan kekhusyukan. Sebab, salat bukanlah sekadar gerakan rukuk, sujud, dan lain-lain. Kalau hanya sekadar gerakan-gerakan seperti itu, Habib Husein menyebutnya ‘yoga bersyariah’.
Firman Allah dalam surah al-Ma’un ayat 4-5, “Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat! (Yaitu) yang lalai terhadap salatnya.” Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa maksud lalai adalah mereka yang mengerjakan salat namun tidak khusyuk. Menegakkan salat, jika diperinci, tegak artinya bukan hanya sebatas menunaikan lalu gugur kewajiban, tetapi harus berupaya untuk khusyuk, sebab khuyuk merupakan kunci salat.
Selain khusyuk, merayu Tuhan dalam ibadah salat adalah dengan menjaga adab. Mau bertemu dengan camat, bupati, atau gubernur saja, kita nervous minta ampun. Seharusnya sikap kita lebih dari itu saat hendak menghadap Allah. Kita seyogianya juga lebih rapi dan lebih harum saat menghadap Allah, bukan hanya ketika mau bertemu atasan.
Ini bukanlah soal cara pandang Allah kepada kita, tapi bagaimana adab kita sebagai hamba-Nya. Ketemu makhluk Allah saja kita rela bersusah payah berdandan, kadang sampai perlu beli baju baru, tapi begitu ketemu Empunya alam raya ini, kita malah terkesan meremehkan (hlm. 23).
Dalam ibadah-ibadah lain pun kita butuh merayu Tuhan. Ketika berhaji, misalnya, kita rayu Tuhan dengan meresapi makna setiap rukun, lalu berusaha merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik. Jika tidak mampu demikian, Habib Husein menamainya ‘traveling bersyariah’ yang sekadar berjalan-jalan ke Makkah dan saat pulang bangga dengan titel haji yang disandangnya.
Demikian pula zakat, butuh merayu Tuhan dalam bentuk ikhlas. Ikhlas bermakna bersih, yang maksudnya bersih dari pamrih atau dari perasaan ingin disanjung orang lain. Zakat dilakukan murni dengan motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika berzakat tanpa keikhlasan, Habib Husein memberinya nama ‘pajak bersyariah’.
Terdapat kisah menarik yang dikutip Habib Husein yang menggambarkan betapa indahnya perilaku ikhlas. Ketika Sayyidina Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad, wafat, terdapat tanda hitam di pundaknya seperti seorang kuli pikul. Tanda hitam ini menjadi jawaban dari misteri tentang siapa orang yang setiap malam membagikan sedekah diam-diam kepada orang-orang miskin yang tak seorang pun di antara mereka yang tahu (hlm. 25).
Sayyidina Ali Zainal Abidin menjadikan malam sebagai kesempatan bersedekah dengan ikhlas, perbuatan baik yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sementara di antara kita menjadikan malam sebagai momentum untuk mencuri, bermaksiat, dan lain-lain. Ketika orang lain berusaha keras menyembunyikan keburukannya, Sayyidina Ali Zainal Abidin justru menyembunyikan kebaikannya. Subhanallah…
Kesimpulannya; ibadah adalah rayuan. Dalam ibadah salat, kita rayu Tuhan dengan kekhusyukan. Saat berhaji, kita rayu Tuhan dengan kemabruran. Ketika berzakat, kita rayu Tuhan dengan keikhlasan. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Bagian awal pada buku setebal 228 ini, banyak membahas Seni Merayu Tuhan. Di antaranya Merayu Tuhan dengan Senyuman, Merayu Tuhan ala Orang Madura, Sembilan Rayuan untuk Tuhan, Tuhan Itu Dirayu Bukan Didekte, dan lain sebagainya. Sedangkan pada bagian akhir, buku terbitan Mizan ini, mengulas tentang dakwah keagamaan. Salah satunya yang menarik untuk dikupas adalah Tak Jadi Wali Kutub, Minimal Wali Youtube.
Di kawasan Hadramaut terdapat pohon yang memiliki bau mematikan. Pohon itu bernama al-liban. Sehingga, siapa pun yang datang atau hadir ke sana (hadhr) lalu mencium bau pohon itu, maka ia akan mati (maut). Begitulah legenda di balik nama Hadramaut. Namun, Imam Ahmad kemudian berhasil mengubah kawasan itu menjadi salah satu pusat peradaban Islam yang hingga sekarang banyak orang berminat untuk belajar di sana.
Para nabi dan wali membangun wilayah tempat mereka dilahirkan atau bermukim dengan cara batin. Sehingga yang semula masyarakatnya tidak aman menjadi aman karena iman, dari gelap menjadi terang hatinya, dan dari tidak beradab menjadi peradaban.
Karena memang secara bahasa Arab, tutur Habib Husein, kata ‘wali’ satu akar kata dengan ‘wilayah’. Sehingga wali berarti penguasa suatu wilayah. Kalau kekuasaannya bersifat lahir, dia disebut wali kota. Adapun jika penguasaannya bersifat batin, maka dia disebut wali Allah. Dan puncak dari seluruh wali Allah biasa disebut ‘Wali Kutub’, yakni yang menjadi kutub rujukan bagi seluruh wali Allah di seluruh wilayah (hlm. 210).
Maka, kita tidak harus bercita-cita ingin menjadi wali kota dengan membangun sebuah kota. Kita bisa juga bercita-cita menjadi wali secara batin yang membangun kota tempat kita lahir dan bermukim secara batin. Sejak ada kita di sana, pastikan wilayah itu jadi lebih baik. Kita bisa memulai dari wilayah terkecil, yaitu diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan seterusnya.
Dan kini, dari catatan beberapa riset menyebutkan bahwa lebih dari separuh muslim Indonesia belajar agama dari media sosial, khususnya para generasi milenial atau Gen Z. Oleh karena itu, Habib Husein berharap pada zaman digital ini kita berpeluang menjadi Wali Youtube, yang mendatangi subcribers dengan konten-konten sehat dan mencerahkan, yang bisa mengubah mereka dari kegelapan menuju keterangbenderangan. Sebagaimana kutipan berikut:
Lantaran orang seperti saya ini mustahil jadi Wali Kutub, paling tidak saya bercita-cita jadi “Wali Youtube”, yakni menyebarkan keimanan, keislaman, kedamaian, kemanusiaan, dan nilai-nilai luhur lainnya melalui Youtube dan media digital secara umum (hlm. 212).***
DATA BUKU
Judul Buku : Seni Merayu Tuhan
Penulis : Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Maret 2022
Tebal : 228 halaman
ISBN : 978-602-441-255-5